Tuesday 23 September 2014

Ayah dan Penghuni Pohon-Pohon Tinggi

Standard
Dimuat di Suara Merdeka edisi 14 Desember 2014

Air yang masuk membangunkanku. Awalnya kupikir sedang bermimpi, namun dingin yang tiba-tiba menyentuh tanganku yang menggantung di bibir kasur membuat aku sadar. Aku segera mengidupkan lampu, menuju ruang tamu dan berteriak memanggil ibu. Barang-barang elektronik aku larikan ke lantai dua. Ibu masih linglung di pintu kamarnya.

“Air pasang lagi, Bu!”

Kami berlari naik-turun tangga, menyelamatkan perabot di lantai bawah.

Malam itu aku dan para tetangga dibuat sibuk oleh air pasang. Kemarin, hujan hanya sekali mengetuk atap rumah kami. Bahkan, airnya tak sempat pindah dan bermukim di tempayan-tempayan samping rumah. Tapi, air sungai Kapuas tiba-tiba saja meninggi. Kiriman nikmat Tuhan itu datang berbondong-bondong, menyapa tanpa pertanda.

“Hujan di hulu pasti deras sekali. Sudah dua kali tahun ini,” kataku pada ibu.

“Doakan saja air surut dan ayahmu segera pulang.”

Aku diam. Belakangan, air pasang memang membawa serta ayah pulang. “Kalau ayah merasa punya rumah, ia pasti pulang.” Aku bersuara, kemudian meninggalkan ibu naik ke lantai dua.

Di tepi jendela, mataku leluasa memandang hamparan coklat air sungai Kapuas. Dengan jembatan Kapuas 1 yang gagah mengangkanginya. Gertak[1] tempat kami biasa berlalu-lalang hilang terendam. Beberapa sandal pun ikut hanyut ke tengah sungai. Perlahan, gerimis mulai turun, ribut beramai-ramai bersama angin, mengepak-ngepakkan atap seng tetangga yang lepas pakunya. Langit gulita. Jendela aku tutup, berlindung dari tusukan sejuk.

Aku kembali memikirkan kata-kata ibu. Ayah pergi dari rumah saat aku berusia sepuluh tahun. Tiga bulan setelah kakek wafat. Sebenarnya, sudah lama ayah ingin pergi ke hulu. Ke kampung halamannya. Namun selalu saja dilarang kakek. Entah karena apa. Seperti ada rahasia di antara mereka berdua.

“Itu cerita lalu, lupakan saja. Sekarang kita sudah tinggal di sini,” kata kakek sekali waktu saat bertengkar perihal ayah yang ingin kembali ke hulu.

“Aku mau bertemu ibu,” pekik ayah.

Aku tak tahu apa yang mereka ributkan. Ibu selalu saja diam saat aku tanya tentang ayah dan kakek. Pun, ketika aku menanyakan nenek. Ibu hanya berkata bahwa nenek sudah meninggal. Sementara ayah dan kakek tak pernah menanggapi. Aku bingung kenapa ayah ingin menemuinya.

Yang aku tahu dari keluarga kami: awalnya, kakek dan ayah merantau ke mari. Hanya berdua tanpa keluarga lain. Ayah, anak kakek satu-satunya. Mereka pindah ke Pontianak saat ayah berumur lima tahun. Kemudian kakek bekerja sebagai kuli angkut pelabuhan, dan saat usia belasan ayah sudah mulai membawa sampan untuk mengangkut orang-orang dari seberang ke pusat kota. Ayah dan ibu bertemu di sana, mereka jatuh cinta, menikah dan melahirkan aku seorang. Ibu anak yatim piatu yang besar di panti asuhan. Jadilah kami keluarga pendatang, saudara-saudara kami hanya ada hulu saja.

Kakek orang yang menyenangkan. Entah apa yang membuat ia dan putranya bertengkar. Setiap malam kakek sering mendongeng. Satu yang paling aku ingat, cerita tentang Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie saat pertama kali membuka kota ini. Beliau diganggu kuntilanak. Penghuni pohon-pohon tinggi. Kata kakek, hantu wanita itu senang tertawa atau kadang merintih tiba-tiba. Suaranya selalu membuat bulu kuduk merinding. Rambut panjangnya seperti akar-akar beringin. Wajahnya rusak tak beraturan. Beruntung aku tak pernah melihatnya langsung.

Mengenai kuntilanak, temanku juga pernah bercerita. Ia suka mengganggu ibu yang tengah hamil tua dan menculik bayinya. Selain itu, saat hujan panas tiba, biasanya mereka akan muncul. Duduk di dahan pohon tempat mereka tinggal.

“Pantas ibu melarangku bermain saat hujan panas, nanti dikencingi kuntilanak,” kataku menjelaskan padanya waktu itu.

“Kau hanya perlu menyelipkan rumput muda di telinga sebagai penangkalnya.” Aku ingat betul nasehat temanku. Hingga kini pun, saat hujan panas turun, aku masih melakukannya.

Temanku yang satu itu sudah meninggal lima tahun lalu. Mayatnya tak pernah ditemukan sejak dinyatakan hilang dan berhari-hari dalam pencarian. Kata sebagian orang, itu bulan-bulan puake[2] meminta korban. Jika aku tidak salah, pada malam sebelum ia hilang, aku melihatnya mengayuh sampan ke tepi jembatan Kapuas, sambil menenteng gulungan benang. Kupikir ia pergi memancing. Tapi, kata ibu –mendengar cerita dari para tetangga, ia hilang saat magrib menjelang. Sejak saat itu, ibu semakin sering mengingatkan aku untuk tidak ke tepi sungai saat azan berkumandang. Nanti kau dimakan puake dan hilang, katanya.

Aku tidak serta-merta percaya kata-kata ibu. Pernah sekali waktu, aku mangkir sholat magrib dan duduk di bantaran sungai. Ibu berjalan lebih dulu di depanku menuju surau di ujung gertak. Aku sengaja memperlambat langkah dan pergi ke bawah jembatan Kapuas. Kepulangan matahari membuat tempat itu remang. Hanya lampu-lampu kuning lima watt di sepanjang gertak yang menjadi sumber terang. Tak ada yang aku perbuat. Duduk dan menunggu waktu sholat selesai. Terkadang, kupikir, temanku tak pernah pergi. Siapa tahu ia hanya jalan-jalan dan lupa pulang.

Tiba-tiba sepotong tangan menjewer telingaku.

“Apa yang kau lakukan di sini?” suara ibu memekik.

“Aku hanya mau lihat puake itu!” kataku dengan kepala mengikuti tarikan tangannya.

Bodo bale[3]!”

Ibu menarikku pulang. Sepanjang jalan ia mengoceh. Panjang lebar. Bahkan gertak itu pun masih kurang luas. Ia melanjutkannya di ruang tamu.

“Jangan takabur! Kau pikir kenapa temanmu itu tenggelam? Di hulu sana, banyak pohon ditebang. Banyak tambang yang bikin air jadi coklat seperti sekarang. Belum lagi pabrik di tepi sungai itu. Kemarin, satu kampung di seberang gatal-gatal. Kalau bukan puake yang jadi penjaga. Hancur sungai kita, Nak!”

Aku hanya diam. Tak melawan, juga tak berani menatap wajah ibu. Kupikir, puake sedang ada di hadapanku.
*

Ibu datang menghampiriku. Guratan keriput di pipinya tampak jelas di bawah sinar lampu. Matanya merah. Telapak kakinya pun masih basah. Meninggalkan jejak-jejak hitam di lantai kayu rumah kami. Ibu duduk sebentar di sampingku, kemudian berjalan menuju kamarnya.

Aku kasihan melihat ibu. Terkadang aku juga mengutuk ayah. Ia semakin jarang pulang. Hanya kiriman uangnyalah yang sampai di rumah. Sesekali juga ada oleh-oleh yang ia titipkan pada temannya untuk kami. Dulu, satu dua tahun pertama ia kembali ke hulu, tiap dua bulan sekali ia pulang. Meski hanya dua atau tiga hari saja. Itu pun dengan satu hari yang ia khususkan untuk ke seberang. Ke rumah touke cukong kayu, bos besar tempat ia bekerja.

Ayah hampir tak pernah menanyakan bagaimana sekolahku. Tidak seperti saat kakek masih ada dan ia tinggal di sini bersama kami. Waktu itu, setiap malam ayah menemani aku belajar. “Kau harus pintar dan tak boleh jadi orang tertinggal,” katanya. “Biar ayah ibumu saja yang seperti ini.” Jika sudah begitu, semangatku berlipat-lipat.

Suatu hari aku pernah bertanya pada ibu, saat ayah baru saja kembali pergi. Kedatangannya semakin singkat kali ini. Hanya menginap semalam. Aku bahkan tak sempat bicara padanya. Ia hanya menyapaku dua kali; saat datang dan hendak pergi.

“Kenapa ayah cepat sekali pergi, Bu?”

“Di seberang, truk, parang dan chain saw[4] telah menunggu ayah untuk kembali ke hulu.”

“Memangnya apa pekerjaan ayah?”

“Memburu pembunuh nenek.”

Aku tidak mengerti maksud perkataan ibu. Aku hanya melihat wajahnya merah padam. Matanya penuh kaca. Lidahku mendadak kelu saat mendengar kata-katanya. Mungkin ini alasan kenapa ayah dan kakek tak pernah menanggapi pertanyaanku perihal nenek. Jika nenek benar dibunuh, bukankah itu sudah belasan tahun lamanya. Kenapa baru sekarang ayah mencari? Dan, bukankah sebagian besar daerah hulu adalah hutan dengan pohon-pohon tinggi?

Sekarang umurku sudah belasan dan masih saja tak mengerti yang dikatakan ibu. Yang aku tahu, ayah hanyalah seorang penebang pohon biasa. Bekerja di perusahaan kayu besar milik seorang tionghoa.

Malam itu aku tertidur di dipan samping jendela. Tiba-tiba, aku mendengar suara tawa cekikikan seorang wanita. Semilir angin berputar di tengkukku. Bulu kudukku merinding. Tak lama, suara itu berubah menjadi tangis. Tampak sedih dan dalam. Semua luka di bumi seakan sedang dijabarkan. Aku bergeming. Tak aku gerakkan sedikit pun tubuhku. Lebih tepatnya, aku beku dalam takut. Aku berusaha membaca doa-doa yang aku hapal. Suara itu meninggi rendah. Seperti tertiup angin. Datang dan pergi. Aku tak berani membuka mata. Wajahku kututupi tangan. Tak boleh ada sedikit pun lubang untuk aku melihat. Tak boleh ada sedikit pun celah untuk cahaya masuk. Kemudian suara itu menghilang, berganti denyit langkah kaki seseorang. Ada yang datang menghampiriku.

Mendadak, mataku silau. Seperti ada lampu neon terang tepat di depan bola mata. Remang kemudian datang. Tawa cekikikan wanita itu mengikutinya. Aku melihat ayah sedang menenteng chain saw dan mengarahkannya pada sebuah pohon besar. Di salah satu rantingnya, seseorang bergaun putih panjang dengan rambut hitam menggantung hingga pantat, duduk sambil menggendong bayi. Wajahnya tertutup rambut setengah. Setengahnya lagi hancur. Bola matanya terlalu ke samping. Hanya tertahan di ujung kelopak sebelum jatuh. Pipinya penuh koreng, berwarna rongsokan besi tua. Dari lubang hidungnya menetes darah. Tepat di bibirnya, belatung bergantung.

“Kau harus mati!” teriak ayah. Entah kenapa aku bisa mendengar suaranya. Lantang. Suara mesin chain saw dan cekikikan kuntilanak itu padam.

Aku memekik memanggil ayah. Namun, suaraku tak keluar. Tertahan di ujung lidah. Malah tawa wanita itu yang semakin kencang. Kakinya ia ayun-ayunkan. Kemudian terbang dari atas dahan. Turun menuju ayah. Ayah tak melihat ke atas. Matanya menembak tepat batang pohon itu. Aku berkali-kali memanggilnya. Tetap saja tak bersuara. Sial. Kakiku pun tak bisa melangkah. Memaku tanah. Seperti ada akar pohon yang membelit. Aku mencoba teriak berulang-ulang. Sia-sia. Kuntilanak itu tepat berdiri di depan ayah. Ayah terkejut. Gergaji chain saw berusaha ia hunuskan ke wanita itu. Namun, terjepit di batang pohon. Ayah jatuh terduduk. Bayi di gendongan wanita itu entah kemana. Tangannya menjalar ke depan. Hendak mencekik leher ayah. Aku berteriak sekuat tenaga. Kakiku aku paksa melangkah. Keras. Tak bisa bergerak. Jantungku berdegup cepat. Seluruh tubuhku meronta. Hingga aku tersungkur di tanah.

Aku terbangun. Kemudian duduk. Napasku tergesa. Entah memburu apa. Ibu sudah ada di depanku, berdua dengan ayah.

“Kau baik-baik saja?” tanya ayah. Aku diam, tak menjawab. Segera kurobohkan tubuhku di peluknya.

“Ayahmu kembali pulang disurutnya air pasang, kan?” tanya ibu minta disetujui.

“Tak usah pergi lagi. Biar air tak pernah pasang. Biar tak ada kuntilanak datang,” kataku terisak.

Kulihat ayah dan ibu saling pandang. “Aku pulang untuk tinggal,” kata ayah lantang.**


Pontianak, 7 Juli 2014




[1] Gertak: jalan atau jembatan dari kayu di tepian sungai Kapuas.
[2] Puake: hantu, setan, penjaga sungai, biasa berwujud buaya, ular atau ikan besar.
[3] Bodo bale: bodoh sekali.
[4] Chain Saw: merek mesin gergaji kayu

Thursday 18 September 2014

Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana

Standard
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. 
Seperti saat kita punya kencan dan aku ketiduran. 
Tapi,
hal-hal ribet datang setelah itu. 

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. 
Seperti saat tanganmu menggandengku, dan
aku menemanimu mencari sepatu. 
Tapi, 
tak ada pilihan yang menyederhanakan proses pencarian itu. 

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. 
Seperti saat dengan mudahnya kau bertanya, 
"aku gemuk ya?" 
Tapi, 
jawaban tak mudah keluar dari ujung lidahku. 

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. 
Seperti saat aku bertanya, 
mau makan di mana, dan
tanpa sulit kau jawab terserah. 
Tapi, 
penentuan tempat tak seterserah itu. 

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. 
Tapi, 
aku terlanjur mencintaimu.

Thursday 11 September 2014

Pertanda

Standard

Ini adalah malam ketiga aku terbangun ditengahnya. Dan, kau masih jadi orang pertama yang muncul untuk aku ingat. Tidak, aku tahu betul, namamu tidak dimulai dari abjad A, sehingga secara otomatis jadi yang terdepan di absensi kepala. Pun, kau bukan wanita pertama dalam hidupku, yang lantas harus aku spesialkan dalam tahta tertinggi ingatan. Kau, wanita yang akhirnya menetap, dan hidup dalam dadaku; bersama dukaku.

Kau adalah manis kesekian yang menjadi pahit. Pertemuan kita yang mencipta taman bunga di musim semi perlahan berubah gersang, diterpa kemarau panjang. Aku menyebut kesekian, karena bukan kau  satu-satunya manis yang pernah aku rasa, dan meninggalkan luka diakhir cerita. Setidaknya, kau tidak sendirian menyakitiku. Hanya saja, kau memang yang pertama mampu memberiku sakit sedemikian parah. Ibarat kata, aku seorang lelaki dan kau gula untuk setiap kopi. Tentu kau tahu, aku bukan orang yang menyenangi pahit minuman yang bagi sebagian orang pemancing inspirasi itu. Aku menyenanginya, karena kau ada di sana. Di tiap teguk. Dua sampai tiga cangkir setiap hari. Hingga akhirnya aku mecandumu. Itu hari-hari membahagiakan. Aku menikmatinya, kemudian ingin mati karenanya di saat semua berubah jadi hari yang tanpa kau.

Kupikir semua akan seperti sedia kala. Seperti saat aku berhasil melupakan masa laluku dan menjalani hari bersamamu. Nyatanya tidak, mereka –beberapa teman wanita yang kujadikan kandidat penggantimu, tetap tak mampu melengkapi apa yang telah kau bawa pergi. Malah, ada yang memaksakan kehadiranmu di kencan pertama kami. Parfum, memang mesin waktu. Aku menciumnya dan merasaimu. Padahal, segala bentuk mesin menyebalkan itu sudah aku musnahkan. Sebab, kata orang, cara terbaik melupakan adalah membuang yang tersisa. Meski ada beberapa foto kita yang masih tertinggal dan tanpa sengaja aku temukan semalam.

Sial.

Mungkin memang harus kuakui. Aku merindukanmu. Ah, lagi-lagi aku menyerah pada hati. Jadi, bagaimana kabarmu sekarang?
*

Sama seperti dua malam sebelum ini, kau datang dan pergi tanpa permisi dalam mimpiku. Kau memang selalu begitu. Tentu aku ingat, saat-saat kita menjadi dekat. Waktu itu, entah angin langit mana yang secara tiba-tiba membawa pesan singkatmu ke ponselku.

Udah tidur, Bang?

Pesan singkat yang kemudian membawa kita begadang hingga dini hari. Menjadi awal hari-hari yang saling memberi kabar. Menangkap getar. Menjalinnya menjadi lembar-lembar kata dan gambar dalam bingkai ingatan senyum lebar.

Kata orang, menjalin hubungan dengan seseorang yang punya kesamaan menjamin kelanggengan. Tapi nyatanya tidak. Dan lagi-lagi kau benar. Yang ‘katanya’ itu, seringkali menyesatkan. Kita memang sama-sama senang membaca, hanya saja, setiap cerita selalu memiliki akhir, katamu.  Ah, aku terlalu banyak ingat tentang kau.

Aku sering berpikir, pertemuan pertama kita di perpustakaan waktu itu benar-benar konyol. Bukan konyol sebenarnya, hanya sedikit aneh. Itu kali pertama aku berani bicara pada wanita asing yang menarik perhatianku. Sebelumnya, aku tak pernah melakukan itu. Bila boleh kuterangkan, bukan takut, hanya saja itu bukan gayaku.

“Kumcer Milana? Buku bagus tuh,” kataku tanpa memandang matamu.

“O, ya. Udah baca?”

Kita pun bicara panjang lebar, tapi tak menemukan luas waktu yang mencukupi. Kau tampak terburu-buru. Kita pun mengakhirinya dengan senyum tanpa tahu nama masing-masing.

Selepas itu, sebenarnya aku tidak terlalu memikirkanmu. Aku hanya takjub pada diriku sendiri. Aku baru saja bicara pada seorang wanita asing yang menarik perhatianku, bermodal sebuah buku. Ternyata, artikel manfaat membaca yang aku baca tempo hari itu benar.

Tapi, sepertinya Tuhan berkehendak lain. Atau mungkin kata orang yang kali ini benar, jodoh tak lari kemana. Kita kembali bertemu di toko buku. Aku sudah melihatmu sejak menjejakkan kaki di depan pintu. Kau datang berdua dengan seorang teman wanitamu (belakangan aku tahu, ia adalah kemenakanmu). Tidak, aku tidak langsung menguntitmu. Aku hanya menjaga jarak waktu itu. Mencari posisi yang pas agar kau dapat melihatku. Setidaknya, aku ingin tahu, apakah kau masing ingat aku, begitu pikirku.

Dan, viola.. kau menyapa. Lagi-lagi, isi percakapan kita tak jauh dari buku. Sesekali aku memerhatikan teman yang berada di sampingmu. Agaknya ia kurang nyaman dengan percakapan kita, atau mungkin kehadiranku. Perpisahan kita kali ini membawa bekal senyum lebar. Kita saling mengantongi nama dan nomor telepon. Ah, ranum sekali merah di pipimu waktu itu. Tawamu pun terasa renyah dalam telingaku. Segala hal tentangmu mendekam di kepalaku. Mengendap. Meski belum sempat menginap. Karena semua kembali bertambah, lewat puluhan pesan singkat.
*

“Ada kertas Abang yang keselip di buku kamu?” kataku dari seberang. Di malam saat siang harinya kita bertemu untuk makan bersama, sekaligus menepati janjiku mengembalikan bukumu.

“Bentar. Ndak ada, Bang. Yang ada uang lima ribu,” katamu bingung.

Semoga saja kau tidak menuduhku modus waktu itu. Meski memang kuakui, aku melakukannya. Aku sengaja meminjam bukumu. Aku lupa judulnya. Aku hanya ingat, aku akan mengembalikan buku itu seminggu setelahnya, di sebuah makan siang bersama. Semua terencana. Untuk wanita semenarik kau, otakku selalu mampu berpikir lebih cepat daripada ketika harus memahami cerpen-cerpen Murakami.

Kita bertemu di sebuah gerai makanan cepat saji. Aku sedang ingin mocca float dan kangen kulit ayamnya, katamu. Meski aku paling anti dengan fastfood, akhirnya aku menurut juga. Paling tidak, itu awal yang baik untuk aku tahu apa yang kau suka. Karena untuk hobi, aku sudah tahu satu. 

Entah sadar atau tidak. Di saat kau asik dengan makananmu. Aku seperti terhipnotis. Mataku memaku parasmu. Seakan kau pusat tata surya dan aku berotasi dalam orbitnya. Mata kecilmu terbingkai indah oleh kacamata dengan frame hitam. Mungkin sebenarnya kau tidak benar-benar membutuhkan kacamata untuk melihat. Hanya saja, Tuhan tidak ingin karya terbaiknya cepat rusak. Hingga Ia memberinya figura.

Rambutmu tergerai panjang. Lurus dan hitam. Seperti langit tanpa bintang. Kau menghabiskan makananmu dengan lahap layaknya anak kecil. Sisa saus tersesat di bawah bibirmu. Anehnya aku justru merasa gemas dan lucu.

Uang lima ribu yang terselip di bukumu itu, bukan sebuah kesengajaan. Aku sedang membaca, ketika teman yang aku tunggu datang, hanya uang itu, sisa kembalian minuman yang ada di atas meja dan aku gunakan sebagai pembatas. Aku tidak sedang melancarkan modus kedua. Atau mungkin Tuhan yang sengaja melakukannya? Yang jelas, karenanya, kita kembali bertemu. Sekedar menghabiskan sore sekaligus mengembalikan kepunyaanku, katamu.
*

Maaf, kita putus. Makasih buat enam bulan ini. Makasih buat semuanya.

Pesan itu masih aku simpan dalam folder ponselku. Pesan yang benar-benar singkat, untuk memutuskan cerita yang singkat pula. Aku berharap penulis cerita kita tidak benar-benar menamatkan kisah ini. Semoga Ia hanya sedang tidak punya ide untuk melanjutkannya.

Setelah menerima pesan itu, aku berusaha menghubungimu. Meminta temu. Paling tidak kau beri aku penjelasan, atau satu alasan mengapa memilih berpisah. Sebab, selama ini, aku rasa hubungan kita baik-baik saja. Itu hal yang berat, kamu tak punya salah apa pun, tapi semua memang lebih baik begini, katamu.

Kisah yang singkat, debar yang singkat, rindu yang panjang. Selama dua bulan ini aku mencoba segalanya untuk melupakanmu. Kepala aku kosongkan, tapi hati semakin terisi. Aku ingin kau hilang, tapi rindu selalu datang. Bukannya aku tak berani menanyakan kabar. Hanya saja gengsi ini terlalu besar. Kau yang mencampakkanku. Dan aku tak ingin kau jadi besar kepala karena akulah yang pertama menghubungimu.

Seminggu lalu kau mengembalikan buku yang kau pinjam dariku lewat temanmu. Aku bahkan sudah lupa kau pernah meminjam buku itu. Mungkin kau memang tak ingin lagi melihat wajahku. Hingga untuk mengembalikannya saja, kau minta bantuan seorang teman. Sejak hari itu, aku berjanji pada diriku sendiri; tak akan ada kau lagi di hati.

Sialnya, aku kembali terbangun malam ini. Itu gara-gara kau yang hadir lagi dalam mimpiku. Tidak. Aku tidak akan melakukannya. Menghubungimu, sama saja dengan menghancurkan benteng yang telah berbulan-bulan aku bangun lewat satu sentuhan. Walau sudah tiga malam kau datang tiba-tiba. Sebentar, bukankah buku ini yang kemarin kau pinjam?

Buku dengan kover warna merah mencolok itu tiba-tiba menarik mataku. Bidadari yang Mengembara, tertulis tegas di depan. Aku membuka lembar demi lembar. Semua cerpen di buku ini sudah aku baca. Entah kenapa, jemariku sangat ingin membolak-balikkannya. Sampai di pertengahan buku, aku terdiam. Tuanku Imam Bonjol menatapku dalam.

Aku segera mengambil ponsel di meja tepi ranjang. Tanpa pikir panjang, aku menulis sebuah pesan dan mengirimkannya.

Kamu udah tidur?***


Pontianak, 11 September 2014