Sunday 23 November 2014

Pada Sebuah Cermin

Standard
Sekarang kau tak bisa lagi menghindar. Ia sudah berada tepat di hadapanmu. Semua gerak-gerikmu dalam penglihatannya. Bahkan, jika sehelai bulu hidung kesayanganmu mendadak offside keluar goanya pun, ia pasti tahu. Kau sudah tak mungkin ke mana-mana.

Alasan kedatangannya hanya untuk satu hal. Selalu itu, sejak dua tahun lalu; perkara janji yang urung kau tepati. Kau bisa memandang dari sorot matanya yang penuh harap. Seperti seorang bocah yang melihat coklat di tangan ibunya. Apa kau ingin membunuhnya lagi? Bibir yang ada di hadapanmu memang tak pernah mengatakan apa yang ia inginkan. Tapi dalam hatinya, suara itu lantang.

Tentu kau ingat, sebuah pesan singkat dari seorang wanita yang akhirnya membuat orang di hadapanmu kembali datang.

“Memang lebih baik jika kau tak hadir. Aku tak ingin dicekoki pertanyaan-pertanyaan tentang dirimu yang pasti membuatku malu.”

Ia merasakannya, sama sepertimu. Apa kau  ingin membunuhnya lagi?

Ia menunduk saat kau menunduk. Ia tak sedikit pun memejamkan matanya saat kau menatapnya tajam. Ia menantangmu. Sekali lagi.

“Cepat sarjana!” katanya.

Kau bergeming.

“Urus skripsimu!” seru kalian kompak.


Sunday 16 November 2014

Menunggu

Standard
Aku baru saja keluar. Di dalam, air bah tumpah dari ceruk mata empat kepala. Sesuatu yang aneh bin langka. Biasanya, keluarga pasien yang akan melakukannya. Entah kenapa kini mereka yang justru ambil bagian. Dua orang dokter saling memeluk sambil sesenggukan. Erat sekali. Seperti sepasang kekasih yang sudah ratusan purnama tak bertemu. Atau mungkin seperti Malin Kundang yang diberi waktu sedikit lebih lama oleh kutukan ibunya untuk mengadu. Seorang asisten perawat berdiri mematung. Layaknya sosok yang ia tatap. Seorang lainnya menggenggam tangannya kuat-kuat.

Meski sudah lima tahun aku mengabdi, pemandangan ini tetap saja terasa ganjil. Tidak, bukan berarti kami –dokter dan perawat di sini—bisa menyampaikan kabar buruk dengan perasaan biasa saja. Malah menurutku, tugas kami lebih berat daripada Jibril yang diutus Tuhan membawa wahyu. Aku tidak bohong. Tak pernah ada cara baik untuk menyampaikan berita kematian.

Sebenarnya, semua ini ada hubungannya dengan dinding-dinding rumah sakit yang seringkali bercat putih. Warna itu dipilih semata-mata agar tempat ini terlihat seperti surga. Terang. Bercahaya. Tak ada tempat lebih baik untuk menunda mati selain tempat ini.

“Sebelum ke surga, lebih baik kau singgah ke tempat yang seperti surga,” kata temanku saat kami baru pulang dari rumah bordir.

“Sehari-hari kita sudah di sana,” jawabku.

“Rumah sakit? Itu neraka!”

“Suatu malam aku pernah melihat beberapa teman kita merentangkan sayap dan terbang menuju kamar pasien. Mereka bercahaya. Tak mungkin itu terjadi di neraka!”

“Kau terlalu banyak minum.”

Jika kau berpikir seperti temanku juga, kau salah besar. Sejak aku keluar dan jalan-jalan sekarang, aku kembali melihat sayap di punggung mereka. Memang tidak semuanya. Beberapa di antaranya berekor bahkan bertanduk. Tapi tak jauh lebih banyak dari mereka yang bersayap dan terbang ke kamar-kamar pasien.

Saat aku menuju ke luar, hendak mencari udara segar, di ujung lorong, aku berjumpa seorang renta yang sedang duduk di kursi dekat tangga darurat. Wajahnya kusut. Rambut putihnya menjalar dari dalam kopiah hitam yang ia kenakan. Baju batik korpri dan sarung kotak-kotak biru hitamnya, seperti tak pernah menyentuh setrikaan. Baunya benar-benar tak tertolong dan bisa saja merontokkan paru-paru jika aku terlalu dalam menarik napas.

“Maaf, Kek, sedang apa di sini?” tanyaku ramah.

“Menunggu,” ucapnya singkat.

“Keluarga?”

“Bukan.”

“Lantas?”

“Seseorang yang akan mengajakku pulang.”

“Keluarga?”

“Bukan.”

“Kapan ia datang?”

“Aku tak tahu.”

“Sudah berapa lama Kakek menunggu?”

“Dua puluh tahun.”

Aku tercengang. Selama ini, aku tak pernah melihatnya di sini. Sudah hampir setahun aku menjadi dokter jaga di lantai ini. Mungkin ia pasien baru yang mengalami depresi, batinku.

“Apa kau lihat malaikat-malaikat itu?” katanya sambil menunjuk ke arah dua orang perawat yang baru saja keluar kamar pasien.

“Ya, aku melihatnya,” jawabku terbata. Ternyata, bukan cuma aku yang melihatnya, pikirku. Aku merasa bertemu seorang teman.

“Kau yakin mereka malaikat? Kau pernah bertemu malaikat?”

“Mereka!”

“Tempat ini adalah surga,” katanya. Aku heran, tiba-tiba saja kakek berkata demikian. “Terkadang Izrail juga datang ke mari. Beberapa orang yang kutemui mengatakannya. Izrail yang mengajak mereka keluar. Tak jarang ada pula yang langsung diajaknya pulang. Ke rumah Tuhan, katanya.”

Aku mendengarkan setiap ucapan kakek itu dengan takzim. Paling tidak, ia sudah dua kali membenarkan keyakinanku selama ini; perkara malaikat bersayap dan surga.

“Kenapa ada yang tak langsung pulang?”

“Mereka masih punya utang di sini.”

“Maksudmu?”

 “Urusan mereka belum selesai.”

“Ah, ….”

Saat kakek itu membuka mulutnya, dan akan mengeluarkan dalil-dalil keyakinanya, suara tangis yang ramai dan langkah kaki yang cepat mengambil semua perhatianku. Seseorang yang tadi sempat kulihat di ruang operasi –lelaki yang wajahnya rusak penuh luka bakar seperti besi karatan—dibawa terbang dua orang malaikat menyusuri lorong menuju pintu belakang. Dari depan pintu masuk, ibu dan istriku berlari ke arahnya.

Aku masih diam. Pandanganku tetap memaku mereka. Kakek itu tak lagi aku pedulikan. Ibu menyetop kedua malaikat itu, sambil berteriak menyebut namaku. Sementara istriku langsung memeluk lelaki yang terbaring di hadapannya. Malaikat itu melarang dua orang manusia yang sedang histeris untuk membuka kain yang menutupi wajah lelaki itu. Nanti saja, setelah dibersihkan, katanya sendu.

Aku tetap bergeming. Sementara ibu dan istriku terus-menerus meneriakkan namaku. Ketika aku hendak menghampiri mereka, yang hanya berjarak beberapa langkah di depanku, kakek itu menarik tanganku dan kembali bersuara.

“Mari kutemani kau menunggu,” katanya sambil tersenyum.***



Pontianak, 16 November 2014

Sunday 2 November 2014

Perihal Jodoh

Standard
“Ceritakan padaku perihal jodoh,” kata gadis itu sambil memainkan jari tangan kekasihnya di bangku taman kota.

Maka, diceritakanlah padanya sebuah kisah yang sudah lama hidup dalam tubuhnya: sewaktu mereka pertama kali bertemu, sang lelaki tak melepaskan pandangannya barang sedetik pada perempuan itu. Mereka hanya berjarak kurang lebih lima meter. Dibatasi jejeran teman-temannya yang sedang membaca kolom-kolom di mading sekolah. Tentu itu bukan rentang yang jauh untuk menikmati degub jantung yang melaju dan waktu yang berjalan lambat. Lamat-lamat, tanpa lelaki itu sadari, ia melangkah menghampiri perempuan yang sejak tadi mengalihkan netranya.

“Namaku Asa, Angkasa Dirga. Kelas XI B,” katanya sambil menyodorkan tangan kanannya dan senyum yang merekah. Perempuan yang ada di depannya bingung. Badannya mematung. Bergeming. Lelaki di hadapannya kembali tersenyum dan segera mengambil tangan perempuan itu dan menyalaminya.

“Ale. Alena Admaja. Murid pindahan baru,” ucapnya gagap.

Sejak pertemuan itu mereka menjadi dekat. Ruang kelas mereka yang bersebelahan memberi kesempatan untuk saling curi pandang. Bila sedang istirahat atau pelajaran tengah kosong, akan ada saja alasan bagi keduanya untuk saling mengunjungi. Pun bila salah satu di antara mereka izin keluar meninggalkan kelas, mata mereka akan sibuk mencari sosok idaman hati, menelusup di pintu dan saling melempar senyum saat tak sengaja mata keduanya bertemu.

Di bulan kedua, setelah pertemuan pertama mereka, keduanya memutuskan untuk menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih.

“Sejak kapan kau menyukaiku?” Tanya Ale saat mereka sedang belajar bersama untuk ujian akhir semester.

“Aku cinta, bukan suka.”

“Iya, sejak kapan?”

“Sejak pertama aku melihatmu, dan aku mengajakmu kenalan. Kata orang, begitu jodoh dipertemukan”

Pipi keduanya tertarik ke atas. Namun, dengan tiba-tiba, Ale yang berada di samping menyondongkan kepalanya tepat di depan mata Asa.

“Kau percaya cinta pada pandangan pertama?”

“Bapak dan ibu saling cinta di pertemuan pertama mereka. Pacaran dari SMA hingga menikah. Ada alasan untuk tidak percaya?”
***

Hubungan kedua pasangan itu sempat mengalami pasang surut. Apalagi semenjak mereka lulus SMA dan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi yang berbeda. Menjadi mahasiswa ternyata tidak seperti apa yang mereka pikirkan selama ini. Tugas yang menumpuk dan rentetan kegiatan kampus membuat keduanya jarang memiliki waktu bersama.

“Aku merasa kita semakin jauh,” ucap Ale di teras depan rumahnya saat Asa mengunjunginya di akhir pekan. Matanya menerawang ke sekitar, memandangi pot-pot bunga besar yang sebenarnya tak butuh perhatian.

“Aku juga merasa begitu. Bahkan saat berdua denganmu sekarang pun aku merasakannya.”

“Bagaimana menurutmu? Aku sempat berpikir, mungkin kita harus mulai jalan sendiri-sendiri. Kita sama-sama sibuk dengan urusan masing-masing.”

Asa tersenyum getir. “Belakangan ini kita hanya kurang komunikasi. Itu saja,” ujarnya dalam.

“Bagaimana kalau kita tidak jodoh? Bagaimana kalau cinta pada pandangan pertama yang pernah kau ucap itu tak ada?”

“Buktinya aku ada! Bapak ibuku contohnya! Sudahlah, ini hanya perkara komunikasi. Kita saling sayang. Saling cinta. Kenapa harus repot cari alasan untuk pisah?”

Asa uring-uringan. Ale tersenyum. Dadanya terasa hangat. Lilin di hatinya yang selama ini redup kini terang benderang. Cahayanya menempus pipinya; merona. “Sayang dan cinta itu beda?” tanyanya manja.

Mendengar pertanyaan itu, dan melihat senyum kekasihnya, Asa seperti melihat pelangi cekung di wajah Ale. Pelangi yang lahir dari gerimis kecil, yang bisa saja berubah menjadi hujan lebat disertai petir bila angin keduanya berubah kencang. Asa merangkul Ale, kemudian mengacak-acak rambutnya pelan.
***

Hari ini seharusnya adalah tahun ketujuh mereka memadu kasih. Setahun lalu, saat merayakan ulang tahun hari jadi mereka yang keenam, Asa sempat menyampaikan maksudnya untuk melamar Ale di waktu dekat. Ale sumringah. Taman bunga di kepalanya warna-warni, penuh kupu-kupu dan kumbang yang beradu merdu.

“Sungguh?” tanyanya tak percaya.

“Ya.”

“Kau yakin kita jodoh?”

“Kenapa tidak?”

“Kau yakin aku cinta sejatimu?”

Asa diam sejenak. Tangannya menggenggam tangan Ale. Mata kekasihnya, ditatapnya dalam. “Perkara jodoh di tangan Tuhan, aku hanya bisa mengupayakan dan telah kulakukan bersamamu selama enam tahun ini. Aku yakin kau cinta sejatiku. Ah, mungkin tidak begitu. Bukannya aku tak yakin atau tak berani berjanji. Aku hanya tak ingin berlebihan. Aku mencintaimu sekarang dan semoga, di setiap hari esok.”

Ale memeluknya. Tiba-tiba. Begitu saja. Tanpa rencana. Air matanya menetes. Bahagia. Asa tak sadar apa yang baru saja ia katakan. Kalimat itu tak pernah ia persiapkan. Bahkan, sempat ia pikirkan saja tidak. Beberapa saat dunia terasa diam. Keduanya tengah terbang. Tinggi. Melayang.

Tiga bulan setelah niat itu diikrarkan, orang tua Asa datang berkunjung ke rumah Ale. Mempererat silaturahmi sekaligus menyampaikan niat untuk meminang anak gadis semata wayang di rumah itu. Tuan rumah menyambut baik maksud kedatangan tamunya. Disuguhkannya berbagai macam kue dan diberinya kopi sebagai penghangat suasana. Pagi harinya, ruang tempat mereka menjamu tamunya itu dirapikan. Guci-guci besar diberi hiasan bunga pada atasnya. Taplak meja kaca mereka ganti. Figura-figura di dinding pun tak lupa dibersihkan.

Semua merasa hangat dan hikmat. Sesekali tawa pecah saat dua keluarga itu saling menceritakan tingkah anaknya. Seisi ruangan sudah tahu kisah cinta keduanya yang dirajut sejak SMA. Sampai pada akhirnya, di jeda yang tak begitu lama, orang tua Ale, terutama ibunya, mulai angkat suara.

“Begini, ada satu hal lagi, perkara uang mahar.”

“O, ya. Maaf, kira-kira berapa?”

“Tiga puluh lima juta.”

“Tapi…”

Kedua belah pihak berbicara panjang lebar. Menegosiasikan sejumlah uang yang diminta keluarga Ale. Bagi mereka, jumlah itu pantas mengingat jabatan yang dipunya kepala keluarga mereka dan Ale yang merupakan anak satu-satunya. Bagi keluarga Asa, uang itu terlalu banyak, belum lagi untuk acara resepsi pernikahan nanti. Tak ada kata sepakat yang dibuat. Keduanya teguh pada kemauan masing-masing.

Tiga minggu berselang, kedua keluarga kembali bertemu. Lagi-lagi, sepakat, bukan hal yang dicapai. Sejak saat itu, Bapak Asa melarang anaknya kembali menjalin kasih dengan Ale. Begitu juga sebaliknya.

“Sudah dua kali Bapak ke sana. Cukup! Jangan bikin malu lagi!”

Asa tak berani melawan. Walau masih tetap percaya pada cintanya, perintah orang tua bukan hal yang harus dilanggar. Ia hanya mencoba berpikir, jodoh ada di tangan Tuhan dan ia telah mengupayakan, begitu yang ia katakan untuk menabahkan diri.
***

“Lalu bagaimana dengan Ale?” Tanya gadis itu pada kekasihnya.

“Ia akhirnya menikah dengan anak kenalan ayahnya,” jawab lelaki yang duduk di sampingnya itu.

Gadis itu mengangguk pelan. Membenarkan duduknya dan menarik lengan lelaki di sebelahnya dan mengalungkannya di lehernya.

“Menurutmu kita jodoh?” tanyanya tiba-tiba.**

Pontianak, 2 November 2014




**Cerpen ini berjumlah seribu kata. Dibuat untuk tantangan #ProsaNadimu @KampusFiksi. Temanya berasal dari pacar saya. Dan, semoga bukan kita.