Wednesday 24 December 2014

Patah Hati adalah Cara Terbaik untuk Hidup Kembali

Standard
Hatinya patah lagi. Entah masih berbentuk atau tidak kali ini. Yang jelas, di sini ia kembali meratap. Aku tidak asal menebak. Aku tahu kisah-kisahnya berawal. Aku tahu bagaimana kisah-kisahnya berakhir.

Dan, datanglah ia menemuiku. Meminjam pundak, bersiap mendongeng hikayat.

“Aku tak tahu ia sebrengsek itu.”

Kau juga tak tahu aku secinta ini. Kalimat itu lantang dalam hati. Hati yang tak pernah ia singgahi.

“Ini bukan kali pertama kau patah hati. Seingatku, tujuh atau delapan kali. Harusnya kau cukup terlatih.”

“Kau tak tahu rasanya patah hati!”

Aku memicing. Mataku menusuk tepat bibirnya. Semudah itu bibir tipisnya berucap. Bibir tipis yang selalu ingin aku lumat.

“Aku pernah patah hati. Berkali-kali malah.”

“Kau tak pernah ceritakan itu.”

“Kau tak perlu tahu.”

Ia mengeratkan pelukannya. Dadaku berdetak cepat. Makin cepat hingga bunyinya terdengar jelas. Beruntung kesedihannya menutupi suara itu. Jika tidak, aku pasti mati kutu.

“Kau baik-baik saja?” tanyanya mengejutkan.
*

Yang tak aku sukai dari persahabatan, ialah akhir yang berujung cinta. Apalagi jika hanya satu hati yang merasakannya. Ingin menyatakan, tapi takut merusak semua yang terbangun bertahun-tahun. Tetap diam, ah, terlalu pedih ketika hanya bisa jadi pendengar.

Satu hal yang aku suka, saat ia kembali jatuh cinta; senyumnya, dan alasan untuk aku berhenti berharap. Sialnya, dua hal itu ada di tempat yang berbeda. Senyum itu lekat di kepala, sedangkan harapan bersemayam dalam dada. Dua kubu musuh abadi dalam peperangan cinta sejati.

Saat ia jatuh cinta dan aku berhenti berharap. Senyumnya seperti waktu, berputar tanpa henti. Begitu pun ketika ia patah hati. Senyumnya hilang, dan harapku datang. Sampai sekarang aku masih berpikir, bagaimana membuat dua kubu itu berdamai. Setidaknya, mereka bisa sejalan bagiku.
*

“Kau cantik sekali, Sayang.”

Aku tak mampu menahannya. Kata-kata itu keluar begitu saja. Tiba-tiba. Tanpa rencana.

“Dari dulu ke mana saja kau?” ledeknya manja. Matanya ia palingkan. Wajahnya kemerahan. Lesung pipinya membuat aku terjebak dalam senyum itu.

“Ayo, mempelai pria sudah menunggumu!”

Ini hari bahagianya. Sebentar lagi, ia akan menjadi milik seseorang yang sah di bawah panji agama. Akhirnya semua menjadi sejalan; senyumnya, dan harapku. Ia akan tersenyum dan mematikan asaku. Selamanya. Perang telah berhenti; kedamaian yang aku nanti.


Aku mengekor di ujung gaun panjangnya. Memeganginya agar jalannya tak kepayahan. Ia tampak anggun. Lebih dari sekadar cantik. Mungkin aku juga akan terlihat cantik bila mengenakan gaun itu. Mungkin, ini memang waktunya melepasmu, dan berganti harapan baru.**

Wednesday 3 December 2014

Hutang dan Kenangan

Standard
Saya baru saja selesai menyaksikan Mocking Jay bersama pacar dan merasa masih memiliki hutang. Jika kau berpikir menikmati film ini sekarang adalah sebuah keterlambatan, saya pun mengiyakan. Sepuluh hari lalu, saat masih di Pontianak, kami merencanakan kencan terjauh ini. Saya melanglang jauh sampai ibu kota negara untuk dapat menuntaskannya. Bukan berarti di Pontianak tak ada bioskop, kami hanya sedang sibuk dan baru bisa bertemu di sini.

Kurang lebih sembilan jam waktu saya kemarin habis di jalan dengan menumpang kereta dari Yogyakarta. Ditambah satu jam mengilhami kemacetan Jakarta untuk sampai di tempat saya menulis sekarang. Tidak, saya tidak sedang menjadi pejuang LDR.

Jika kau ingat, di atas saya mengatakan bahwa masih merasa memiliki hutang dan itulah yang ingin saya bayar lewat tulisan ini. Saya tidak akan menceritakan bagaimana akhirnya saya melakukan perjalanan dari Pontianak, Jogja hingga Jakarta, walau sudah saya singgung di depan. Dua paragraf itu hanya sebuah kesombongan belaka, dramatisasi seseorang yang jarang keluar kandang.

Tempat itu bernama Kampus Fiksi, sebuah negeri yang menghidupi dua puluh warga barunya dengan kata-kata, ingatan, dan pengalaman menulis fiksi setiap dua bulan sekali selama dua hari penuh. Di sana, tak satu pun warganya harus mengeluarkan uang, baik dalam bentuk pajak atau retribusi dari apa yang mereka nikmati. Mungkin bila kau ingin mengandaikannya menjadi sesuatu yang lebih kecil, kau bisa membayangkan sebuah keluarga.

Kau akan memiliki orang tua, kakak, adik dan juga saudara. Kau akan tinggal serumah dengan mereka, tidur di kamar yang sama, makan apa yang mereka makan, bahkan mandi di kamar mandi yang sama. Untuk datang ke negeri itu, ke sebuah keluarga baru, saya harus menunggu satu tahun lamanya. Rasanya memang tidak seperti menanti kekasih yang sudah terpisah selama dua belas purnama. Tapi, mungkin lebih serupa Rangga yang pada akhirnya bertemu Cinta, dalam penantian yang entah dengan debar yang terpelihara dan membuncah pada waktunya.

Kaki saya menjejak tempat itu di Jumat malam, satu jam setengah sebelum hari berganti, dan embun baru turun ingin dikenali. Beberapa anak tangga menyambut saya lebih dahulu, berujung pada pintu kayu tempat keluarga sekaligus keasingan baru tinggal dan hidup. Mata saya terperanjat saat kaki kanan melangkah ke dalam dan melihat sejumlah kasur dengan sprei bergambar logo Manchester United terhampar di tengah ruangan. Semoga tempat ini bukan salah satu bentuk manchunianisasi, pikir saya.

Seseorang mengantarkan saya ke salah satu kamar dan mempersilahkan saya menyimpan barang bawaan. Kamar itu berada tepat di tepi ruang utama, tempat saya dan sembilan belas orang lainnya nanti akan lebih banyak bercengkrama. Saya tidak tahu pasti berapa ukurannya, tapi empat buah kasur dengan sprei berlogo Manchester United sudah terhampar dan telah penuh digagahi. Lima tas hitam berisi pakaian pun bersandar manja pada dinding tepi pintu. Gantungan baju belakang pintu hampir semuanya dihinggapi kaos dan jaket. Sebuah kaca terpasang menghadap jendela dengan dua buah kaca mata di depannya. Dan, sebuah terminal dengan lima buah colokan penuh rebutan listrik. Sepertinya, saya datang terlambat untuk jadi penguasa kamar ini.

Barang saya tinggal, kemudian kembali keluar dan menyalami beberapa orang di sana. Sebagian dari mereka sedang sibuk dengan obrolannya dan ponsel, saat saya ganggu dengan uluran tangan dan basa-basi perkenalan. Kami saling bertukar nama, dan pada saat itu juga saya pastikan saya tidak dapat menghafal semua nama mereka. Toh, besok pasti akan ada sesi perkenalan, pikir saya. Malam itu saya tertidur di ruang utama bersama beberapa lelaki yang baru saya kenal, beralas kasur upaya manchunianisasi.

Saya bangun terlalu pagi untuk kemudian antri mandi dan sarapan nasi goreng bersama keluarga baru. Kami mencoba saling mendekatkan diri pada orang di kursi sebelah dengan bertanya nama dan kota asal. Perlu kau ketahui, enam belas orang dari keluarga baru saya, yang selanjutnya dikenal sebagai ‘anak kampus fiksi angkatan sepuluh’ adalah wanita. Empat orang sisanya lelaki. Jelas ini menjadikan kami—kaum lelaki—sebagai minoritas. Serupa fakta dunia dimana wanita berjumlah lebih banyak. Tidak, saya tidak akan membawa masalah ini sampai pada urusan poligami. Saya hanya ingin kau tahu bahwa hal itu bikin saya kikuk.

Di Kampus Fiksi kali ini, sebagaimana kampus fiksi angkatan sebelumnya, tidak hanya ramai oleh peserta saja. Ada alumni-alumni yang datang, juga panitia dari Diva Press, penerbit penyelenggara event ini. Mereka bilang, tempat ini serupa rumah. Ibu segala rindu dan ayah penggagas temu. Kau tak akan mengenal jarak orang asing di sini, walau kau datang dari ujung Indonesia, atau bahkan tak pernah membayangkan sebuah pertemuan sekali pun.

Saya tidak akan menceritakan bagaimana dua hari tiga malam sempurna itu saya lewati tiap jamnya. Sebab, sebagaimana kelas-kelas menulis atau seminar-seminar yang telah kau ikuti, materi yang diberikan kurang lebih sama. Hanya saja, ada beberapa hal yang terpaku di kepala dan ingin saya sampaikan.

Pertama, saya ingin mengucapkan terimakasih pada keluarga besar Kampus Fiksi dan DivaPress yang menerima kami dengan tangan terbuka dan pelukan hangat. Mengurusi dua puluh orang mulai dari menjemput dan mengantar kembali pulang. Menjaga asupan makan, tempat tinggal dan ilmu yang bermanfaat. Semoga ini menjadi amal jariyah tanpa kering dan membuat tugas Raqib menumpuk. Sebagaimana Pak Edi, kepala keluarga Kampus FIksi bilang, kenangan indah akan bikin hidup lebih bergairah, seperti itu juga Bapak dan keluarga lainnya, akan hidup di kepala dan hati saya. Terima kasih untuk gairah ini. Saya berharap suatu saat bisa membalasnya.

Kedua, ikhwal kesan dan hal-hal baru yang saya dapat. Di sini, bukan hanya perkara skill dan teknik yang ditekannya, juga pada pola pikir dan bagaimana menjalin kerjasama yang baik antara penulis dan penerbit. Tak ada guna pintar ilmu yang kau miliki bila tak bisa menjaga tingkah dan tutur kata. Kau akan diajari filsafat dengan asik dan yang paling utama, tidak digurui. Melihat sesuatu dari banyak sudut dan kaca mata yang berbeda, akan membuatmu belajar menghargai dan menerima. Reza Nufa, salah satu alumni Kampus Fiksi menemparkan sebuah pertanyaan, perihal kaki yang menginjak kitab suci. Ruangan menggaduh dengan masing-masing pendapat, mesti tak sampai ada meja atau kursi yang terbalik seperti di sidang wakil rakyat. Ah, saya berlebihan kali ini.

Mas Aconk, dalam sesi pasar buku Indonesia membikin saya sadar, bahwa penerbitan adalah sebuah industri. Sama seperti musik, dan industri lainnya, butuh strategi untuk hidup di pasar, baik itu penerbit juga penulis, dimana profit menjadi orientasinya. Sialnya, hal ini juga yang membuat saya geleng-geleng kepala kenapa Pak Edi mengadakan Kampus Fiksi selama dua hari penuh dengan gratis. Mungkin bahagia memang bukan hanya perkara mendapatkan, tapi juga memberi.

Saya, dan sembilan belas teman lainnya mendapat bimbingan langsung dari editor-editor Diva Press, juga alumni Kampus Fiksi, mulai dari hal dasar menulis hingga bagaimana melahirkan sebuah novel. Tak ada yang lebih baik dari hangat ilmu mereka yang memeluk dingin mimpi kami. Sampai di kata ke seribu delapan puluh tiga ini, saya masih bingung bagaimana menggambarkan kegembiraan dan kenangan dua hari tiga malam di sana. Terlalu istimewa untuk diwakili dengan kata-kata. Terlalu merugi, jika kau punya kesempatan menjadi bagian mereka dan kau menyiakannya.

Kau tahu, saat saya menulis cerita ini, pandangan saya seringkali teralihkan oleh lima puluh lebih buku dalam sebuah kardus coklat, oleh-oleh nyata dari keluarga baru saya. Tak sabar rasanya untuk melahap mereka. Melepas baju plastik itu kemudian mencium wangi buku baru. Menjelajah tiap lembarnya, membiarkan mereka hidup di kepala. Tunggu sampai saya membayar lunas hutang ini.

Tak ada yang dengan baik merawat mimpimu selain keluarga. Kau tak harus mengeluarkan biaya, tapi kau bisa terus tumbuh dan menjadi lebih dan lebih. Kau bisa memelihara apa saja di dalamnya, mengembangbiakkannya dengan pujian juga kritikan. Apalagi untuk sebuah proses kreatif menulis. Saya merasakannya sejak pertama kali bertemu beberapa teman sehobi di KopdarFiksi Pontianak, dan menemukannya kembali di Kampus Fiksi 10 ini. Keluargamu, adalah lingkungan pemacumu.

Tak sia-sia rasanya datang dari Kalimantan, menempuh hampir dua jam perjalanan udara untuk bertemu sebuah keluarga. Terima kasih untuk semuanya Pak Edi. Terima kasih untuk semuanya Diva Press. Terima kasih untuk semuanya Kampus Fiksi. Terima kasih untuk semuanya teman-teman angkatan sepuluh. Terima kasih untuk kenangan indah dan gairah ini. Terima kasih.



Satu lagi, terima kasih untuk orang-orang yang saya temui dan mengira Pontianak ada di Sumatera. Sesungguhnya, banyak yang belum kita kenal dari Indonesia.


Tabik!