Saturday 31 January 2015

Hujan

Standard
Saya tidak mengenalmu secara baik. Kita hanya sering bertemu. Tak saling bicara bahkan, namun dalam beberapa kesempatan, saya menatapmu lama. Seperti masuk ke dunia asing yang tak benar-benar asing. Saya melihat sesuatu yang berbau bukan sekarang. Entah lalu atau depan. Kadang-kadang malah keliaran.

Beberapa teman yang saya ajak bicara tentangmu (maaf, bukan seperti bergosip), sebagian mengamini, sebagian lagi abu-abu. Mereka yang ragu, saya pikir, kurang tamasya jiwa. Atau, menolak ingat? Sedang yang setuju, mungkin mereka terlalu melankolis.

Hari ini, kita kembali bertemu, di siang yang ganjil. Saya, orang yang tadi tunggang-langgang menyelamatkan jemuran. Kau lihat? Ah, pasti banyak orang melakukannya. Bagaimana kalau ‘lukuluk-kuluk!’ Kau ingat? Saat kecil, saya sering berteriak seperti itu untuk menyambut kedatanganmu. Tak dengar?

Uh, sudahlah. Tak penting juga kau mengingat saya. Yang penting, ingatan tentang saya yang kau sebar, lewat kehadiranmu yang genang, di kepala-kepala.

Tunggu-tunggu, bagaimana mungkin yang tak saling kenal, memberi kabar seseorang yang orang itu kenal, tanpa kenal? Rumit sekali mengartikanmu. Pendek kata, kau tukang pos! Tukang pos langit! Nah, itu dia. Sebentar, ingatan itu kabar atau bukan? Setahu saya, rindu adalah sebaikbaiknya oleh-oleh. Apa oleh-oleh boleh berbentuk kabar?

Kabar memang seringkali ditunggu, tapi bukankah lebih menyenangkan menjemput. Menunggu hanya menjauhkan, sedang menjemput memangkas jarak. Benar, kan?

Oh, ya, perempuan saya sedang tidur sekarang, tolong kabarkan hal-hal baik dalam mimpinya. Jangan katakan saya menulis surat padamu. Saya selalu menulis tentangnya, namun ia mengira sebaliknya. Cemburu wanita terkadang mampu melampaui yang nyata. Entah bagaimana jika pacarnya seorang penyair.

Sudah dulu, sebungkus indomie dan sebutir telur memanggil saya. Mereka manja saat kau datang. Satu lagi, jika kau belum kenal perempuan saya, ia yang selalu kau kabarkan pada saya, di tiap kedatanganmu.


Salam kenal.

Friday 30 January 2015

Kepada Selamanya

Standard
Bagaimana rasanya abadi?

Saya penasaran, apa hidupmu menyenangkan, seperti janji-janji baik baru terdengar? Ada banyak manusia yang seringkali menjadikanmu bumbu penyedap. Kau akan ada di urutan terakhir sebuah kalimat, entah itu pernyataan dari hati, atau sekadar basa-basi. Sepengetahuan saya, berkat namamu jugalah sebagian wanita merasa tinggi. Di awang-awang. Melangit.

Tapi saya tak tahu, bagaimana kau menanggapi itu. Apa kau gembira, apa kau melangit juga? Membawa-bawa kau, menurut saya terlalu berat. Bukan berarti takut pada esok, saya hanya tak mau ada yang terjun bebas dengan memunggungi langit. Itu cara jatuh yang sakit. Kata-kata, punya kekuatan tak terbatas. Ia bisa bikin hancur negara, apalagi sebuah hati.

Saya mengamini salah satu lirik Iwan Fals, “…ku tak sanggup berjanji, hanya mampu katakan, aku cinta kau saat ini…” Itu, justru terdengar lebih puitis menurut saya, bagaimana denganmu, Selamanya?

Mungkin kau mengharap surat yang lebih panjang, sebagaimana makna namamu, tapi sayangnya, dari beberapa mulut yang saya tangkap, Selamanya, justru lebih sering menjadi singkat.

Sebelumnya, mohon maaf, saya pikir, kau tak benar-benar abadi. Sebagaimana api tak membakar Ibrahim, seperti mendung tak berarti hujan. Jika saya salah, tolong jangan disumpah. Saya percaya kekuatan kata-kata, tapi tidak untuk Selamanya.


Atau, mungkin kau bukan untuk diucap?

Thursday 29 January 2015

Leibster Award

Standard

Sejujurnya, saya tidak tahu apa itu Liebster Award, pun ketika Opi memilih saya sebagai salah satu nominator. Meski demikian, terima kasih saya haturkan. Saya merasa tersanjung dan berakibat punya satu postingan di awal tahun. Meski saya pikir, ia memilih secara serampangan. Sebab, di malam sebelum sebuah mention postingan blognya sampai di saya, ia menanyakan alamat blog di grup Kampus Fiksi 10. “Sedang ingin blogwalking,” katanya. Dasar modus! Kala itu saya menyambut baik niatnya. Membaca adalah tamasya tanpa pergi. Apa pasal saya menghalangi? Sebelumnya ada kewajiban yang mau tidak mau harus saya lakukan, di antaranya:

1. Penerima award wajib berterima kasih kepada pemberi award.
2. Penerima award wajib mendeskripsikan 11 fakta mengenai dirinya.
3. Penerima award wajib menjawab 11 pertanyaan yang diberikan oleh si pemberi award.
4. Penerima award wajib memilih 11 blogger lain sebagai nominator award berikutnya, dan berikan 11 pertanyaan untuk mereka.

Regulasi itu, entah inisiatif siapa. Ingin protes rasanya, sebab sebelas terlalu banyak. Bahkan, jauh lebih banyak dari jumlah mantan pacar saya. Sebelumnya saya sempat berpikir, Liebster Award ini sebagai sesuatu yang kekanak-kanakan. Tapi, bukankah keriangan anak-anak, adalah surga yang kita rindukan?

Agar Liebster Award ini punya faedah, saya akan melakukan kewajiban yang tercantum dengan serius, berbeda dengan yang Opi lakukan di sini. Kadang saya pikir, salah satu sebab mengapa hubungannya tak pernah lebih dari enam bulan, bisa jadi karena terlalu sering bercanda. Jangan terlalu memikirkan tawa, itu bukan sepenuhnya tugas wanita.

Baiklah, saya akan mulai kewajiban kedua. Semoga 11 fakta saya tak masuk di On The Spot.
1. K. Kristiawan Balasa nama saya.
2. R. Rajin sih kadang-kadang.
3.  I. Ini, lelaki ini yang sebagian orang tua cari untuk anak gadisnya.
4. S. Sering dikira kristen gara-gara nama. Ayolah, tidak semua nabi itu islam, tidak semua kris itu kristen. Tidak semua yang bertato itu preman, tidak semua yang bersorban itu beriman.
5. T. Tampan, kata Mamak.
6.  I. I-kan udah tadi, gantian huruf lainlah. Jangan tamak, Allah enggan.
7. A. AC. Milan! Tak ada klub yang lebih baik dari Milan! Tapi dulu, waktu Dida, Maldini, Nesta, Stam, Cafu, Pirlo, Gattuso, Seedrof, Kaka, Inzaghi, Shevchenko main bersama.
8.  W. Wawan panggilannya, tapi ada juga yang panggil Sayang. Yaiyalah, emang jomblo kayak Opi!
9.   A. Alhamdulilah, pemakan apa saja. Kecuali petai dan udang. Bikin alergi. Hih.
10. N. “Nah, kan bingung mau tulis apa,” batin saya seringkali.  
11. B. Belum semua huruf nama masuk, kok udah habis. Nostalgia zaman SD kan jadi kurang! Eh, ada yang butuh tanda tangan di belakang binder?

Sungguh, orang yang tidak kenal dirinya sendiri, pasti akan kesulitan melaksanakan kewajiban itu. Sekarang, saya akan menjawab sebelas pertanyaan dari Opi. Untung Opi bukan dosen, jika iya, pertanyaan ini pasti beranakpinak.

1. Sebelas kata tentang gue?
Sebelas kata terlalu sedikit untuk mendeskripsikan, bagaimana kalau satu paragraf? Boleh?

2. Pernah mampir ke blog gue? Lebih setuju gue nulis cerpen apa curhatan?
Pernah, dan saya lebih setuju cerpen, sebab, curhat dalam cerpen lebih elegan.

3. Yang cowok: istri idaman lo seperti apa? Yang cewek: suami idaman lo seperti apa?
Istri idaman, yang bisa masak. Saya percaya, perut juga butuh cinta. Selebihnya, satu frekuensi.

4. Percaya nggak pada cinta pandangan pertama?
Percaya! Saya langsung jatuh cinta saat pertama melihat Ibu saya.

5. Pendapat lo tentang kalimat sialan ini, ‘cinta nggak harus memiliki’?
Saya pikir, cinta bukan perkara hak milik, tapi hak hidup.

6. Kalo lo terlahir kembali, lo pengen jadi apa atau seperti apa?
Jika saya terlahir kembali, saya ingin menjadi senja. Sudah puitis?

7. Kalo lo bisa mutar waktu, lo mau kembali ke masa yang mana dan apa yang mau lo lakuin?
Saya ingin kembali ke masa kecil, dan melakukan sedikit kenakalan besar.

8. Kalo lo disuruh Tuhan milih mau punya kekuatan super apa, lo pilih mana? (Salah satu aja). Bisa terbang, bisa ngilang, bisa baca pikiran orang?
Saya lebih suka bikin wanita terbang. Baca pikiran orang, buat hidup membosankan. Saya ingin bisa menghilang, dan muncul di depan pacar. Maklum, calon LDR.

9. Deskripsikan tentang pacar lo! Atau kalo nggak punya pacar, gebetan deh. Seperti apa dia?
Saya rasa Tuhan sedang sangat amat bahagia ketika menciptanya.

10. Satu lagu dan siapa penyanyinya yang ngegambarin tentang dia (pacar atau gebetan lo), yang kalo lo puter tuh lagu lo langsung inget dia?
Saya tidak terlalu sering mendengar lagu, sebab tawa wanita saya terasa lebih merdu. Tapi, perkara mengingat, jika kami sedang ‘berjarak’, seiris bawang bombai pun mampu merotasinya dalam kepala, apalagi sebuah lagu.

11. Pilih gue apa Dijah Yellow?
Pilih gue!

Sekarang, tiba waktunya saya memberi sebelas pertanyaan pada sebelas orang blogger yang beruntung. Sebagaimana yang sudah saya sebut di atas, saya akan membuat Leibster Award ini berfaedah.

1. Seorang dosen pernah membuka kelas dengan satu pertanyaan, “kamu kenal dia?” katanya sambil menunjuk seorang teman saya. Menurutmu, apa saja kriteria ‘kenal’?
2. Jika kamu diberi mukzizat, sekali saja, dalam satu waktu dapat menyelesaikan sebuah novel. Cerita apa yang akan kamu angkat?
3. Sebutkan tiga buku terakhir yang kamu baca!
4. Siapa orang yang paling ingin kamu temui? Alasannya?
5. Punya target apa di 2015? Cieh resolusi~
6. Bahagia paling sederhana kamu, apa?
7. Apa yang paling bikin kamu nyaman?
8.  Tokoh siapa, di buku atau film yang ingin kamu rasai jalan hidupnya? Mengapa?
9.  Buat satu pertanyaan untuk isi nomor 10!
10. (jawab pertanyaan yang kamu buat)
11. Tips buat LDR dong!

Itu tadi sebelas pertanyaan yang harus dijawab oleh sebelas orang beruntung ini. Dan, nominatornya, adalah:
1.         Isma Resti
2.         Rizki Amalia
3.         Devya
4.         Agiasa 
5.     Nufira
6.     Ahmad Kocil
7.     Mbak Endah
8.     Dhika Ambarseta
Tiga sisanya belum saya putuskan.


TABIK!