Saya
baru saja selesai menyaksikan Mocking Jay bersama pacar dan merasa masih
memiliki hutang. Jika kau berpikir menikmati film ini sekarang adalah sebuah
keterlambatan, saya pun mengiyakan. Sepuluh hari lalu, saat masih di Pontianak,
kami merencanakan kencan terjauh ini. Saya melanglang jauh sampai ibu kota negara
untuk dapat menuntaskannya. Bukan berarti di Pontianak tak ada bioskop, kami
hanya sedang sibuk dan baru bisa bertemu di sini.
Kurang
lebih sembilan jam waktu saya kemarin habis di jalan dengan menumpang kereta
dari Yogyakarta. Ditambah satu jam mengilhami kemacetan Jakarta untuk sampai di
tempat saya menulis sekarang. Tidak, saya tidak sedang menjadi pejuang LDR.
Jika
kau ingat, di atas saya mengatakan bahwa masih merasa memiliki hutang dan
itulah yang ingin saya bayar lewat tulisan ini. Saya tidak akan menceritakan
bagaimana akhirnya saya melakukan perjalanan dari Pontianak, Jogja hingga Jakarta,
walau sudah saya singgung di depan. Dua paragraf itu hanya sebuah kesombongan belaka,
dramatisasi seseorang yang jarang keluar kandang.
Tempat
itu bernama Kampus Fiksi, sebuah negeri yang menghidupi dua puluh warga barunya
dengan kata-kata, ingatan, dan pengalaman menulis fiksi setiap dua bulan sekali
selama dua hari penuh. Di sana, tak satu pun warganya harus mengeluarkan uang,
baik dalam bentuk pajak atau retribusi dari apa yang mereka nikmati. Mungkin
bila kau ingin mengandaikannya menjadi sesuatu yang lebih kecil, kau bisa
membayangkan sebuah keluarga.
Kau
akan memiliki orang tua, kakak, adik dan juga saudara. Kau akan tinggal serumah
dengan mereka, tidur di kamar yang sama, makan apa yang mereka makan, bahkan
mandi di kamar mandi yang sama. Untuk datang ke negeri itu, ke sebuah keluarga
baru, saya harus menunggu satu tahun lamanya. Rasanya memang tidak seperti
menanti kekasih yang sudah terpisah selama dua belas purnama. Tapi, mungkin
lebih serupa Rangga yang pada akhirnya bertemu Cinta, dalam penantian yang
entah dengan debar yang terpelihara dan membuncah pada waktunya.
Kaki
saya menjejak tempat itu di Jumat malam, satu jam setengah sebelum hari
berganti, dan embun baru turun ingin dikenali. Beberapa anak tangga menyambut
saya lebih dahulu, berujung pada pintu kayu tempat keluarga sekaligus keasingan
baru tinggal dan hidup. Mata saya terperanjat saat kaki kanan melangkah ke
dalam dan melihat sejumlah kasur dengan sprei bergambar logo Manchester United
terhampar di tengah ruangan. Semoga
tempat ini bukan salah satu bentuk manchunianisasi, pikir saya.
Seseorang
mengantarkan saya ke salah satu kamar dan mempersilahkan saya menyimpan barang
bawaan. Kamar itu berada tepat di tepi ruang utama, tempat saya dan sembilan
belas orang lainnya nanti akan lebih banyak bercengkrama. Saya tidak tahu pasti
berapa ukurannya, tapi empat buah kasur dengan sprei berlogo Manchester United
sudah terhampar dan telah penuh digagahi. Lima tas hitam berisi pakaian pun
bersandar manja pada dinding tepi pintu. Gantungan baju belakang pintu hampir
semuanya dihinggapi kaos dan jaket. Sebuah kaca terpasang menghadap jendela
dengan dua buah kaca mata di depannya. Dan, sebuah terminal dengan lima buah
colokan penuh rebutan listrik. Sepertinya, saya datang terlambat untuk jadi penguasa
kamar ini.
Barang
saya tinggal, kemudian kembali keluar dan menyalami beberapa orang di sana.
Sebagian dari mereka sedang sibuk dengan obrolannya dan ponsel, saat saya
ganggu dengan uluran tangan dan basa-basi perkenalan. Kami saling bertukar nama,
dan pada saat itu juga saya pastikan saya tidak dapat menghafal semua nama
mereka. Toh, besok pasti akan ada sesi
perkenalan, pikir saya. Malam itu saya tertidur di ruang utama bersama
beberapa lelaki yang baru saya kenal, beralas kasur upaya manchunianisasi.
Saya
bangun terlalu pagi untuk kemudian antri mandi dan sarapan nasi goreng bersama
keluarga baru. Kami mencoba saling mendekatkan diri pada orang di kursi sebelah
dengan bertanya nama dan kota asal. Perlu kau ketahui, enam belas orang dari keluarga
baru saya, yang selanjutnya dikenal sebagai ‘anak kampus fiksi angkatan
sepuluh’ adalah wanita. Empat orang sisanya lelaki. Jelas ini menjadikan
kami—kaum lelaki—sebagai minoritas. Serupa fakta dunia dimana wanita berjumlah
lebih banyak. Tidak, saya tidak akan membawa masalah ini sampai pada urusan
poligami. Saya hanya ingin kau tahu bahwa hal itu bikin saya kikuk.
Di
Kampus Fiksi kali ini, sebagaimana kampus fiksi angkatan sebelumnya, tidak
hanya ramai oleh peserta saja. Ada alumni-alumni yang datang, juga panitia dari
Diva Press, penerbit penyelenggara event ini. Mereka bilang, tempat ini serupa
rumah. Ibu segala rindu dan ayah penggagas temu. Kau tak akan mengenal jarak
orang asing di sini, walau kau datang dari ujung Indonesia, atau bahkan tak pernah
membayangkan sebuah pertemuan sekali pun.
Saya
tidak akan menceritakan bagaimana dua hari tiga malam sempurna itu saya lewati
tiap jamnya. Sebab, sebagaimana kelas-kelas menulis atau seminar-seminar yang
telah kau ikuti, materi yang diberikan kurang lebih sama. Hanya saja, ada
beberapa hal yang terpaku di kepala dan ingin saya sampaikan.
Pertama,
saya ingin mengucapkan terimakasih pada keluarga besar Kampus Fiksi dan DivaPress yang menerima kami dengan tangan terbuka dan pelukan hangat. Mengurusi
dua puluh orang mulai dari menjemput dan mengantar kembali pulang. Menjaga
asupan makan, tempat tinggal dan ilmu yang bermanfaat. Semoga ini menjadi amal
jariyah tanpa kering dan membuat tugas Raqib menumpuk. Sebagaimana Pak Edi,
kepala keluarga Kampus FIksi bilang, kenangan indah akan bikin hidup lebih
bergairah, seperti itu juga Bapak dan keluarga lainnya, akan hidup di kepala
dan hati saya. Terima kasih untuk gairah ini. Saya berharap suatu saat bisa
membalasnya.
Kedua,
ikhwal kesan dan hal-hal baru yang saya dapat. Di sini, bukan hanya perkara
skill dan teknik yang ditekannya, juga pada pola pikir dan bagaimana menjalin
kerjasama yang baik antara penulis dan penerbit. Tak ada guna pintar ilmu yang
kau miliki bila tak bisa menjaga tingkah dan tutur kata. Kau akan diajari
filsafat dengan asik dan yang paling utama, tidak digurui. Melihat sesuatu dari
banyak sudut dan kaca mata yang berbeda, akan membuatmu belajar menghargai dan
menerima. Reza Nufa, salah satu alumni Kampus Fiksi menemparkan sebuah
pertanyaan, perihal kaki yang menginjak kitab suci. Ruangan menggaduh dengan
masing-masing pendapat, mesti tak sampai ada meja atau kursi yang terbalik
seperti di sidang wakil rakyat. Ah, saya berlebihan kali ini.
Mas
Aconk, dalam sesi pasar buku Indonesia membikin saya sadar, bahwa penerbitan
adalah sebuah industri. Sama seperti musik, dan industri lainnya, butuh
strategi untuk hidup di pasar, baik itu penerbit juga penulis, dimana profit
menjadi orientasinya. Sialnya, hal ini juga yang membuat saya geleng-geleng
kepala kenapa Pak Edi mengadakan Kampus Fiksi selama dua hari penuh dengan
gratis. Mungkin bahagia memang bukan hanya perkara mendapatkan, tapi juga
memberi.
Saya,
dan sembilan belas teman lainnya mendapat bimbingan langsung dari editor-editor
Diva Press, juga alumni Kampus Fiksi, mulai dari hal dasar menulis hingga
bagaimana melahirkan sebuah novel. Tak ada yang lebih baik dari hangat ilmu
mereka yang memeluk dingin mimpi kami. Sampai di kata ke seribu delapan puluh
tiga ini, saya masih bingung bagaimana menggambarkan kegembiraan dan kenangan
dua hari tiga malam di sana. Terlalu istimewa untuk diwakili dengan kata-kata. Terlalu
merugi, jika kau punya kesempatan menjadi bagian mereka dan kau menyiakannya.
Kau
tahu, saat saya menulis cerita ini, pandangan saya seringkali teralihkan oleh
lima puluh lebih buku dalam sebuah kardus coklat, oleh-oleh nyata dari keluarga
baru saya. Tak sabar rasanya untuk melahap mereka. Melepas baju plastik itu
kemudian mencium wangi buku baru. Menjelajah tiap lembarnya, membiarkan mereka
hidup di kepala. Tunggu sampai saya membayar lunas hutang ini.
Tak
ada yang dengan baik merawat mimpimu selain keluarga. Kau tak harus
mengeluarkan biaya, tapi kau bisa terus tumbuh dan menjadi lebih dan lebih. Kau
bisa memelihara apa saja di dalamnya, mengembangbiakkannya dengan pujian juga
kritikan. Apalagi untuk sebuah proses kreatif menulis. Saya merasakannya sejak
pertama kali bertemu beberapa teman sehobi di KopdarFiksi Pontianak, dan
menemukannya kembali di Kampus Fiksi 10 ini. Keluargamu, adalah lingkungan
pemacumu.
Tak
sia-sia rasanya datang dari Kalimantan, menempuh hampir dua jam perjalanan
udara untuk bertemu sebuah keluarga. Terima kasih untuk semuanya Pak Edi. Terima
kasih untuk semuanya Diva Press. Terima kasih untuk semuanya Kampus Fiksi. Terima
kasih untuk semuanya teman-teman angkatan sepuluh. Terima kasih untuk kenangan
indah dan gairah ini. Terima kasih.
Satu lagi, terima kasih untuk orang-orang yang
saya temui dan mengira Pontianak ada di Sumatera. Sesungguhnya, banyak yang
belum kita kenal dari Indonesia.
Tabik!