Tuesday, 4 February 2014

Cangkir Kedua

Standard
Dimuat di Pontianak Post edisi 16 Maret 2014

Aku duduk di kursi paling sudut, di tepi jendela kaca besar yang membuat pandanganku tembus ke luar. Di hadapanku, berdiri kokoh meja kayu bundar jati ukiran. Di atasnya, dua cangkir cappucino dengan aroma kuat dan hangat menunggu aku sesap. Ya, dua. Aku tidak sedang menunggu seseorang sekarang, aku memesan dua cangkir, hanya karena kebiasaan.

Aku merogoh sakuku, sesaat setelah Blackberry-ku bergetar. Ternyata sebuah pesan singkat dari ibu, beliau menanyakan keberadaanku. Aku membalas pesan itu seperlunya, kemudian meletakkan smartphone yang kini dibanjiri pin dengan angka 7 di depannya itu di atas meja. Entahlah, akhir-akhir ini banyak orang yang melebihkan perhatiannya padaku. Bukan berarti ibuku tidak pernah memberi perhatian lebih, hanya saja menanyakan keberadaanku di sore hari seperti sekarang ini bukanlah kebiasaan ibu. Belum lagi teman-teman sekantorku yang terlihat ingin sok asik kepadaku selepas cutiku kemarin. Semua orang di sekitarku berubah, semenjak peristiwa itu.

Aku menyeruput secangkir cappucino di atas meja yang menunggu bibirku sedari tadi. Rasanya sedikit berbeda, sedikit lebih pahit sekarang. Mungkin sang bartender terlalu lama membuatnya, atau mungkin alirannya yang terlalu cepat menyentuh pangkal lidahku. Cangkir keramik berisi cairan coklat dengan busa putih susu hiasannya itu kembali aku letakkan. Sekarang, tanganku aku tugaskan untuk membuka tas. Alih-alih ingin mengambil buku puisi milik Tuan Sapardi, tangan dan mataku malah menyentuh sebuah kertas berlipat yang dibungkus plastik bening. Di depan kertas tebal berlipat berwarna biru itu tertulis sepasang nama. Asa & Cinta.

“Ah, masih ada saja yang tertinggal” gerutuku.

Kertas itu aku keluarkan, aku pandangin sebentar, lalu aku simpan kembali ke dalam tas. Mataku aku lemparkan ke jendela, di sana, langit sedang ingin mempertontonkan pertunjukkan andalannya. Senja.

“Kemarin, ada senja yang lebih jingga dari ini. Saat senja menikmati kita.”

Aku kembali menempelkan bibirku pada bibir cangkir, membiarkannya sejenak, lalu mengangkatnya sedikit. Sekarang, ada manis yang singgah pada ujung lidahku, kemudian berlalu, begitu cepat, dan menghilang.

Di luar sana, jingga tiba-tiba menghitam. Awan mendung mengepung. Di tubuhnya janin hujan dikandung. Langit Pontianak memang tidak bisa diprediksi, apalagi di bulan oktober seperti sekarang ini. Siang yang bedengkang pun, tidak menjamin sore yang tenang.

Hujan mengguyur tanpa ampun, jendela kaca yang tadinya bening, kini berembun. Jika saat ini aku berada di rumah, sudah pasti namamu akan aku tulis di sana, dengan gambar hati di bawahnya. Aku kembali mengambil buku puisi Tuan Sapardi, kemudian membukanya.

Hujan Bulan Juni
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu

“Andai saja, aku seperti hujan bulan juni, yang begitu tabah, bijak dan arif menghadapi semua ini” batinku.

Aku kembali memandangin hujan turun. Pohon, rumah, mobil, motor, siapa saja yang ada di lintasannya ia keroyok tanpa ampun. Tak terkecuali aku, meskipun terlindung dari hujan secara langsung, ia tetap mampu menciptakan genangan di sini, di kepalaku.
***

Hari itu, seperti biasa, aku menikmati secangkir cappucino di sini, ditemani secangkir lain yang menunggu tuannya. Sebagai seorang abdi masyarakat yang baru tiga tahun menjabat, aku selalu menaati jam kantorku, masuk pukul 07.30 pagi dan pulang pukul 16.30 sore. Meskipun banyak teman kantorku yang lebih terlihat seperti om-ku itu, pulang jauh lebih awal dari jadwal yang ditetapkan, aku berusaha menjadi pegawai yang mengikuti peraturan. Seragam memang sesekali menjadi simbol pengekangan. Namun, bukan itu yang membuat aku menjalankan semua peraturan yang berlaku. Sejak kecil, ayahku selalu mengajarkan nilai-nilai kedisiplinan dan tanggung jawab, dan itu yang aku bawa sampai sekarang.

Banyak di antara mereka yang berkata, “maklum, anak muda, idealismenya masih ada.” Aku selalu menanggapi perkataan itu dengan senyuman. Mungkin ada benarnya, hanya saja aku tidak ingin menjilat ludahku sendiri. Sewaktu mahasiswa dulu, aku termasuk salah satu mahasiswa yang aktif di organisasi dan pergerakan, pula seringkali turun ke jalan dan berkoar-koar mengkritik kinerja pegawai pemerintah. Jika sekarang aku  melakukan apa yang dulu aku keluhkan, apa bedanya aku dengan mereka?

Dari keaktifanku sewaktu mahasiswa pula, aku bertemu dengannya. Wanita yang aku tunggu sekarang. Namanya Cinta, dia salah satu mahasiswi yang juga aktif dalam organisasi. Kami bertemu di sebuah kegiatan yang diadakan oleh kampusku. Kebetulan, dia adalah humas dari organisasi luar yang kami undang. Sejak saat itu aku dan dia mulai sering berkomunikasi. Awalnya hanya untuk membahas keperluan kegiatan bersama kami, lama-kelamaan semakin dekat dan tetap berlanjut walau kegiatan itu telah selesai.

Rencanannya, sore ini, aku dan Cinta akan pergi menemui teman lama. Pemilik weeding organizer yang dulu juga bosku. Ya, semenjak semester 7, aku mulai ikut dengan beliau, untuk mengisi waktu luang juga mencari pengalaman baru, dan sedikit uang tambahan untuk membeli buku tentunya. Kami akan fitting terakhir pakaian pengantin di galerinya.

Di luar cuaca cukup panas, matahari masih enggan pulang, padahal sudah hampir pukul lima lewat. Aku menghabiskan cappucinoku yang mulai mendingin. Walaupun sore ini Pontianak masih menyengat, aku pasti memesan dua cangkir cappucino, satu untukku dan satu untuknya. Aku selalu menyenangi waktuku berdua dengannya sambil menikmati cappucino ini. Meski hari ini kami hanya akan bertemu di sini sebentar, dia pasti akan tetap menghabiskan cappucino miliknya. Baginya, hangat atau dingin sama saja, manis-manis pahit akan tetap jadi rasanya.

Selain cappucino, kami juga memiliki minuman favorit lain yang sama. Air putih. Air yang bening dan menyehatkan, seperti wajah Cinta. Jika saja semua wanita memiliki wajah seperti dia, tentu semua lelaki di dunia ini tidak perlu mengkonsumsi wortel untuk mendapat vitamin A, cukup hanya dengan menatap wajahnya saja. Tiba-tiba Blackberry 9300-ku bergetar, sebuah BBM masuk.

“Kamu udah di sana?”

Aku membalasnya dengan cepat.

“Udah dari tadi. Kamu di mana? Cappucinomu keburu dingin. Eh, di depan ada dedek-dedek unyu, kamu mau aku tanyain namanya?”

“Aku udah di jalan, kamu habisin gih punya aku. Tadi ada Nesya di rumah. Kamu jangan macem-macem ya, nanti aku aduin Kak Seto!”

“Haha. Iya. Udah cepetan, nanti aku ganteng kelamaan nungguin kamu. Hati-hati, hati :*”

Aku langsung memasukkan Blackberry hitamku ke dalam saku baju dinasku tanpa menunggu pesan balasan darinya. Toh, dia sudah di jalan, selain itu bermain handphone saat berkendara juga sangat berbahaya, baik bagi diri sendiri juga orang lain.

Seminggu lagi pernikahan kami akan digelar. Di kantor tadi, aku cukup disibukkan dengan urusan surat cutiku untuk tiga minggu ke depan. Padahal aku sudah lama mengajukannya, tapi tetap saja tidak langsung ditindaklanjuti.

Undangan-undangan akan disebar mulai minggu nanti. Semua sanak famili sudah terlebih dahulu diberi kabar. Pernikahan kami tidak akan dilangsungkan di gedung ataupun hotel. Melainkan di rumahku. Maksudku, rumah bapakku. Halaman rumah kami cukup luas, cukup untuk menampung tamu-tamu undangan. Selain itu, ini merupakan acara pernikahan pertama di keluargaku. Kebetulan, aku adalah anak pertama dari dua bersaudara. Sedangkan Cinta, adalah anak keempat dari lima bersaudara. Sudah pasti, keluargaku yang jauh akan berdatangan ke rumah, juga akan menginap beberapa hari.

“Kedekatan keluarga itu harus dijaga, kapan lagi, kan, bisa kumpul dengan saudara-saudaramu yang jauh, kalau acaranya di gedung, nanti ndak ngumpul gini” kata bapakku dengan bahasa jawa kasar di suatu malam saat sedang membicarakan rencana pernikahan ini.

Aku melihat jam tangan, jarum panjangnya tepat berada di angka enam, sedangkan jarum pendeknya berada di antara angka lima dan enam.

“Udah jam segini, Cinta masih belum nongol juga.”

Aku mengkerutkan keningku, sambil sesekali memegang janggutku yang tidak berjenggot. Aku khawatir, biasanya hanya butuh waktu 20 menit dari rumah Cinta ke kafe ini, hanya saja mungkin jalanan sedang macet-macetnya, apalagi ini sore hari, jam-jam pegawai pulang yang kemudian disusul matahari. Aku mencoba berpikir positif.

Secangkir cappucino di hadapanku sudah habis sejak tadi. Namun, masih ada secangkir lagi milik Cinta. “Ah, biar nanti dia saja yang menghabiskan cappucino miliknya ini, melewati jalanan Pontianak yang kelihatan menyempit tentu akan menimbulkan dahaga pula” pikirku saat hendak menggapai secangkir cappucino yang masih penuh itu.

Dalam hati, aku ingin memesan secangkir lagi, namun niat itu aku urungkan. “Jangan terlalu banyak mengkonsumsi kopi, itu kurang baik untuk kesehatan” tiba-tiba aku teringat pada omelan Cinta beberapa hari lalu. Omelan dengan tutur kata yang mesra menurutku. Meskipun sebenarnya karena dialah, aku menyukai cappucino ini.

Akhirnya, aku kembali mengambil handphone di saku bajuku, kemudian membuka aplikasi Twiter For Blackberry. Dengan cepat jemariku menari di atas keypad, menuju timeline Cinta. Kadang-kadang, aku memang senang stalking timeline-nya, aku ingin tahu dengan siapa dia menghabiskan waktu, apa yang dia lakukan hari ini, atau apa saja yang masuk ke perutnya. Tapi aku tidak menemukannya hari ini. Tidak satupun isi timeline-nya menggambarkan itu. Isi timeline-nya dipenuhi oleh twitpic foto prewed kami.

Seketika senyum tercetak di wajahku. Pipiku tertarik ke atas, melebarkan bibir pada rahangku yang tegas. Foto-foto dengan busana adat jawa dan bugis, juga beberapa foto bebas. Dia tampak anggun dengan jilbab dan kacamata. Aku selalu suka melihat dia membenarkan posisi kacamatanya, membuat aku lemah untuk mengalihkan pandangan.

Melihat foto-foto itu membuat aku kembali mengingat masa lalu, setelah hampir 4 tahun berpacaran dengannya, akhirnya kami akan menikah juga. Aku teringat saat pertama kali kami menghabiskan waktu bersama. Aku mengajaknya ke bioskop, setelah sebelumnya mengunjungi pameran lambang negara. Entah apa yang ada di kepalaku saat itu, pergi dengan seorang wanita, berdua saja, ke sebuah pameran yang mendengar namanya saja terbayang hal membosankan. Tapi, toh, kelihatannya dia menyukainya, sepanjang kunjungan kami di sana, dia selalu tertawa dan kami banyak bertukar cerita.

Belum selesai aku bernostalgia, aku dikagetkan suara azan. Sudah magrib. Dan, Cinta belum juga tiba. Segera aku menelpon Cinta, tidak tersambung. Aku menelponnya berkali-kali dan selalu mendapat jawaban yang sama dari operator. Aku gelisah, kemudian mencoba bangkir dari kursiku. Lututku tidak sengaja menghantam meja kayu bundar yang berdiri di depan. Seketika saja, cangkir cappucino milik Cinta yang aku letakkan terlalu pinggir jatuh ke lantai dan pecah. Sekumpulan anak SMA yang duduk di seberangku, mulai mengalihkan perhatiannya ke arahku.

“Sial!”

Aku memandang ke bawah, cappucino itu luber dan menggenangi pecahan cangkir di atas lantai marmer. Aku membuang pandanganku ke luar jendela, jalanan masih ramai dilindungi senja.

Tiba-tiba saja handphone-ku bergetar. Sebuah panggilan.

“Asa!! Cinta kecelakaan!!” teriak suara dari seberang.
***

Di luar, hujan telah berhenti. Aku tidak ingin membuat ibuku cemas lagi. Aku bergegas mengemas barang-barangku, memasukkan kembali buku puisi Tuan Sapardi ke dalam tas dan mengeluarkan beberapa lembar uang puluhan ribu. Di atas meja, masih bersisa secangkir cappucino yang sudah dingin. Tanpa pikir panjang aku menghabiskannya. Cappucino di cangkir kedua. Di mana bibirnya tak pernah lagi bersua.**

3 comments: