Aku
duduk di kursi paling sudut, di tepi jendela kaca besar yang membuat
pandanganku tembus ke luar. Di hadapanku, berdiri kokoh meja kayu bundar jati
ukiran. Di atasnya, dua cangkir cappucino dengan aroma kuat dan hangat menunggu
aku sesap. Ya, dua. Aku tidak sedang menunggu seseorang sekarang, aku memesan
dua cangkir, hanya karena kebiasaan.
Aku
merogoh sakuku, sesaat setelah Blackberry-ku bergetar. Ternyata sebuah pesan
singkat dari ibu, beliau menanyakan keberadaanku. Aku membalas pesan itu
seperlunya, kemudian meletakkan smartphone
yang kini dibanjiri pin dengan angka 7 di depannya itu di atas meja. Entahlah,
akhir-akhir ini banyak orang yang melebihkan perhatiannya padaku. Bukan berarti
ibuku tidak pernah memberi perhatian lebih, hanya saja menanyakan keberadaanku
di sore hari seperti sekarang ini bukanlah kebiasaan ibu. Belum lagi
teman-teman sekantorku yang terlihat ingin sok
asik kepadaku selepas cutiku kemarin. Semua orang di sekitarku berubah,
semenjak peristiwa itu.
Aku
menyeruput secangkir cappucino di atas meja yang menunggu bibirku sedari tadi.
Rasanya sedikit berbeda, sedikit lebih pahit sekarang. Mungkin sang bartender
terlalu lama membuatnya, atau mungkin alirannya yang terlalu cepat menyentuh
pangkal lidahku. Cangkir keramik berisi cairan coklat dengan busa putih susu
hiasannya itu kembali aku letakkan. Sekarang, tanganku aku tugaskan untuk
membuka tas. Alih-alih ingin mengambil buku puisi milik Tuan Sapardi, tangan
dan mataku malah menyentuh sebuah kertas berlipat yang dibungkus plastik
bening. Di depan kertas tebal berlipat berwarna biru itu tertulis sepasang
nama. Asa & Cinta.
“Ah, masih ada saja yang tertinggal” gerutuku.
Kertas itu aku keluarkan, aku pandangin sebentar, lalu aku simpan kembali ke dalam tas. Mataku aku lemparkan ke jendela, di sana, langit sedang ingin mempertontonkan pertunjukkan andalannya. Senja.
“Kemarin, ada senja yang lebih jingga dari ini. Saat senja menikmati kita.”
Aku kembali menempelkan bibirku pada bibir cangkir, membiarkannya sejenak, lalu mengangkatnya sedikit. Sekarang, ada manis yang singgah pada ujung lidahku, kemudian berlalu, begitu cepat, dan menghilang.
Di luar sana, jingga tiba-tiba menghitam. Awan mendung mengepung. Di tubuhnya janin hujan dikandung. Langit Pontianak memang tidak bisa diprediksi, apalagi di bulan oktober seperti sekarang ini. Siang yang bedengkang pun, tidak menjamin sore yang tenang.
Hujan
mengguyur tanpa ampun, jendela kaca yang tadinya bening, kini berembun. Jika saat
ini aku berada di rumah, sudah pasti namamu akan aku tulis di sana, dengan
gambar hati di bawahnya. Aku kembali mengambil buku puisi Tuan Sapardi,
kemudian membukanya.
Hujan
Bulan Juni
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu
“Andai
saja, aku seperti hujan bulan juni, yang begitu tabah, bijak dan arif
menghadapi semua ini” batinku.
Aku
kembali memandangin hujan turun. Pohon, rumah, mobil, motor, siapa saja yang
ada di lintasannya ia keroyok tanpa ampun. Tak terkecuali aku, meskipun
terlindung dari hujan secara langsung, ia tetap mampu menciptakan genangan di
sini, di kepalaku.
***
Hari
itu, seperti biasa, aku menikmati secangkir cappucino di sini, ditemani
secangkir lain yang menunggu tuannya. Sebagai seorang abdi masyarakat yang baru
tiga tahun menjabat, aku selalu menaati jam kantorku, masuk pukul 07.30 pagi
dan pulang pukul 16.30 sore. Meskipun banyak teman kantorku yang lebih terlihat
seperti om-ku itu, pulang jauh lebih
awal dari jadwal yang ditetapkan, aku berusaha menjadi pegawai yang mengikuti
peraturan. Seragam memang sesekali menjadi simbol pengekangan. Namun, bukan itu
yang membuat aku menjalankan semua peraturan yang berlaku. Sejak kecil, ayahku
selalu mengajarkan nilai-nilai kedisiplinan dan tanggung jawab, dan itu yang
aku bawa sampai sekarang.
Banyak
di antara mereka yang berkata, “maklum, anak muda, idealismenya masih ada.” Aku
selalu menanggapi perkataan itu dengan senyuman. Mungkin ada benarnya, hanya
saja aku tidak ingin menjilat ludahku sendiri. Sewaktu mahasiswa dulu, aku
termasuk salah satu mahasiswa yang aktif di organisasi dan pergerakan, pula
seringkali turun ke jalan dan berkoar-koar mengkritik kinerja pegawai
pemerintah. Jika sekarang aku melakukan apa
yang dulu aku keluhkan, apa bedanya aku dengan mereka?
Dari
keaktifanku sewaktu mahasiswa pula, aku bertemu dengannya. Wanita yang aku
tunggu sekarang. Namanya Cinta, dia salah satu mahasiswi yang juga aktif dalam organisasi.
Kami bertemu di sebuah kegiatan yang diadakan oleh kampusku. Kebetulan, dia
adalah humas dari organisasi luar yang kami undang. Sejak saat itu aku dan dia
mulai sering berkomunikasi. Awalnya hanya untuk membahas keperluan kegiatan
bersama kami, lama-kelamaan semakin dekat dan tetap berlanjut walau kegiatan
itu telah selesai.
Rencanannya,
sore ini, aku dan Cinta akan pergi menemui teman lama. Pemilik weeding organizer yang dulu juga bosku.
Ya, semenjak semester 7, aku mulai ikut dengan beliau, untuk mengisi waktu
luang juga mencari pengalaman baru, dan sedikit uang tambahan untuk membeli
buku tentunya. Kami akan fitting terakhir
pakaian pengantin di galerinya.
Di
luar cuaca cukup panas, matahari masih enggan pulang, padahal sudah hampir
pukul lima lewat. Aku menghabiskan cappucinoku yang mulai mendingin. Walaupun
sore ini Pontianak masih menyengat, aku pasti memesan dua cangkir cappucino,
satu untukku dan satu untuknya. Aku selalu menyenangi waktuku berdua dengannya
sambil menikmati cappucino ini. Meski hari ini kami hanya akan bertemu di sini
sebentar, dia pasti akan tetap menghabiskan cappucino miliknya. Baginya, hangat
atau dingin sama saja, manis-manis pahit akan tetap jadi rasanya.
Selain
cappucino, kami juga memiliki minuman favorit lain yang sama. Air putih. Air
yang bening dan menyehatkan, seperti wajah Cinta. Jika saja semua wanita
memiliki wajah seperti dia, tentu semua lelaki di dunia ini tidak perlu
mengkonsumsi wortel untuk mendapat vitamin A, cukup hanya dengan menatap
wajahnya saja. Tiba-tiba
Blackberry 9300-ku bergetar, sebuah BBM masuk.
“Kamu udah di sana?”
Aku
membalasnya dengan cepat.
“Udah dari tadi. Kamu di mana? Cappucinomu keburu
dingin. Eh, di depan ada dedek-dedek unyu, kamu mau aku tanyain namanya?”
“Aku udah di jalan, kamu habisin gih punya aku. Tadi ada
Nesya di rumah. Kamu jangan macem-macem ya, nanti aku aduin Kak Seto!”
“Haha. Iya. Udah cepetan, nanti aku ganteng kelamaan
nungguin kamu. Hati-hati, hati :*”
Aku langsung memasukkan Blackberry hitamku ke dalam saku baju dinasku tanpa menunggu pesan balasan darinya. Toh, dia sudah di jalan, selain itu bermain handphone saat berkendara juga sangat berbahaya, baik bagi diri sendiri juga orang lain.
Seminggu
lagi pernikahan kami akan digelar. Di kantor tadi, aku cukup disibukkan dengan urusan
surat cutiku untuk tiga minggu ke depan. Padahal aku sudah lama mengajukannya,
tapi tetap saja tidak langsung ditindaklanjuti.
Undangan-undangan
akan disebar mulai minggu nanti. Semua sanak famili sudah terlebih dahulu
diberi kabar. Pernikahan kami tidak akan dilangsungkan di gedung ataupun hotel.
Melainkan di rumahku. Maksudku, rumah bapakku. Halaman rumah kami cukup luas, cukup
untuk menampung tamu-tamu undangan. Selain itu, ini merupakan acara pernikahan
pertama di keluargaku. Kebetulan, aku adalah anak pertama dari dua bersaudara.
Sedangkan Cinta, adalah anak keempat dari lima bersaudara. Sudah pasti,
keluargaku yang jauh akan berdatangan ke rumah, juga akan menginap beberapa
hari.
“Kedekatan
keluarga itu harus dijaga, kapan lagi, kan, bisa kumpul dengan
saudara-saudaramu yang jauh, kalau acaranya di gedung, nanti ndak ngumpul gini”
kata bapakku dengan bahasa jawa kasar di suatu malam saat sedang membicarakan
rencana pernikahan ini.
Aku
melihat jam tangan, jarum panjangnya tepat berada di angka enam, sedangkan
jarum pendeknya berada di antara angka lima dan enam.
“Udah
jam segini, Cinta masih belum nongol juga.”
Aku
mengkerutkan keningku, sambil sesekali memegang janggutku yang tidak
berjenggot. Aku khawatir, biasanya hanya butuh waktu 20 menit dari rumah Cinta
ke kafe ini, hanya saja mungkin jalanan sedang macet-macetnya, apalagi ini sore
hari, jam-jam pegawai pulang yang kemudian disusul matahari. Aku mencoba
berpikir positif.
Secangkir
cappucino di hadapanku sudah habis sejak tadi. Namun, masih ada secangkir lagi
milik Cinta. “Ah, biar nanti dia saja yang menghabiskan cappucino miliknya ini,
melewati jalanan Pontianak yang kelihatan menyempit tentu akan menimbulkan
dahaga pula” pikirku saat hendak menggapai secangkir cappucino yang masih penuh
itu.
Dalam
hati, aku ingin memesan secangkir lagi, namun niat itu aku urungkan. “Jangan
terlalu banyak mengkonsumsi kopi, itu kurang baik untuk kesehatan” tiba-tiba
aku teringat pada omelan Cinta beberapa hari lalu. Omelan dengan tutur kata
yang mesra menurutku. Meskipun sebenarnya karena dialah, aku menyukai cappucino
ini.
Akhirnya,
aku kembali mengambil handphone di
saku bajuku, kemudian membuka aplikasi Twiter
For Blackberry. Dengan cepat jemariku menari di atas keypad, menuju timeline
Cinta. Kadang-kadang, aku memang senang stalking
timeline-nya, aku ingin tahu dengan siapa dia menghabiskan waktu, apa yang
dia lakukan hari ini, atau apa saja yang masuk ke perutnya. Tapi aku tidak
menemukannya hari ini. Tidak satupun isi timeline-nya
menggambarkan itu. Isi timeline-nya dipenuhi
oleh twitpic foto prewed kami.
Seketika
senyum tercetak di wajahku. Pipiku tertarik ke atas, melebarkan bibir pada
rahangku yang tegas. Foto-foto dengan busana adat jawa dan bugis, juga beberapa
foto bebas. Dia tampak anggun dengan jilbab dan kacamata. Aku selalu suka
melihat dia membenarkan posisi kacamatanya, membuat aku lemah untuk mengalihkan
pandangan.
Melihat
foto-foto itu membuat aku kembali mengingat masa lalu, setelah hampir 4 tahun
berpacaran dengannya, akhirnya kami akan menikah juga. Aku teringat saat
pertama kali kami menghabiskan waktu bersama. Aku mengajaknya ke bioskop,
setelah sebelumnya mengunjungi pameran lambang negara. Entah apa yang ada di
kepalaku saat itu, pergi dengan seorang wanita, berdua saja, ke sebuah pameran
yang mendengar namanya saja terbayang hal membosankan. Tapi, toh, kelihatannya
dia menyukainya, sepanjang kunjungan kami di sana, dia selalu tertawa dan kami
banyak bertukar cerita.
Belum
selesai aku bernostalgia, aku dikagetkan suara azan. Sudah magrib. Dan, Cinta
belum juga tiba. Segera aku menelpon Cinta, tidak tersambung. Aku menelponnya
berkali-kali dan selalu mendapat jawaban yang sama dari operator. Aku gelisah,
kemudian mencoba bangkir dari kursiku. Lututku tidak sengaja menghantam meja
kayu bundar yang berdiri di depan. Seketika saja, cangkir cappucino milik Cinta
yang aku letakkan terlalu pinggir jatuh ke lantai dan pecah. Sekumpulan anak
SMA yang duduk di seberangku, mulai mengalihkan perhatiannya ke arahku.
“Sial!”
Aku
memandang ke bawah, cappucino itu luber dan menggenangi pecahan cangkir di atas
lantai marmer. Aku membuang pandanganku ke luar jendela, jalanan masih ramai
dilindungi senja.
Tiba-tiba
saja handphone-ku bergetar. Sebuah
panggilan.
“Asa!!
Cinta kecelakaan!!” teriak suara dari seberang.
***
Di
luar, hujan telah berhenti. Aku tidak ingin membuat ibuku cemas lagi. Aku
bergegas mengemas barang-barangku, memasukkan kembali buku puisi Tuan Sapardi
ke dalam tas dan mengeluarkan beberapa lembar uang puluhan ribu. Di atas meja,
masih bersisa secangkir cappucino yang sudah dingin. Tanpa pikir panjang aku
menghabiskannya. Cappucino di cangkir kedua. Di mana bibirnya tak pernah lagi
bersua.**
Keren. salut dengan alur ceritanya. keep writing !
ReplyDeletemakasih isni, sering mampir ya :))
Delete120515; 07:09 PM
ReplyDelete