Hatinya
patah lagi. Entah masih berbentuk atau tidak kali ini. Yang jelas, di sini ia
kembali meratap. Aku tidak asal menebak. Aku tahu kisah-kisahnya berawal. Aku tahu
bagaimana kisah-kisahnya berakhir.
Dan,
datanglah ia menemuiku. Meminjam pundak, bersiap mendongeng hikayat.
“Aku
tak tahu ia sebrengsek itu.”
Kau juga tak tahu aku
secinta ini. Kalimat itu lantang dalam hati. Hati yang
tak pernah ia singgahi.
“Ini
bukan kali pertama kau patah hati. Seingatku, tujuh atau delapan kali. Harusnya
kau cukup terlatih.”
“Kau
tak tahu rasanya patah hati!”
Aku
memicing. Mataku menusuk tepat bibirnya. Semudah itu bibir tipisnya berucap. Bibir
tipis yang selalu ingin aku lumat.
“Aku
pernah patah hati. Berkali-kali malah.”
“Kau
tak pernah ceritakan itu.”
“Kau
tak perlu tahu.”
Ia
mengeratkan pelukannya. Dadaku berdetak cepat. Makin cepat hingga bunyinya
terdengar jelas. Beruntung kesedihannya menutupi suara itu. Jika tidak, aku
pasti mati kutu.
“Kau
baik-baik saja?” tanyanya mengejutkan.
*
Yang
tak aku sukai dari persahabatan, ialah akhir yang berujung cinta. Apalagi jika
hanya satu hati yang merasakannya. Ingin menyatakan, tapi takut merusak semua
yang terbangun bertahun-tahun. Tetap diam, ah, terlalu pedih ketika hanya bisa
jadi pendengar.
Satu
hal yang aku suka, saat ia kembali jatuh cinta; senyumnya, dan alasan untuk aku
berhenti berharap. Sialnya, dua hal itu ada di tempat yang berbeda. Senyum itu
lekat di kepala, sedangkan harapan bersemayam dalam dada. Dua kubu musuh abadi
dalam peperangan cinta sejati.
Saat
ia jatuh cinta dan aku berhenti berharap. Senyumnya seperti waktu, berputar
tanpa henti. Begitu pun ketika ia patah hati. Senyumnya hilang, dan harapku
datang. Sampai sekarang aku masih berpikir, bagaimana membuat dua kubu itu
berdamai. Setidaknya, mereka bisa sejalan bagiku.
*
“Kau
cantik sekali, Sayang.”
Aku
tak mampu menahannya. Kata-kata itu keluar begitu saja. Tiba-tiba. Tanpa rencana.
“Dari
dulu ke mana saja kau?” ledeknya manja. Matanya ia palingkan. Wajahnya kemerahan.
Lesung pipinya membuat aku terjebak dalam senyum itu.
“Ayo,
mempelai pria sudah menunggumu!”
Ini
hari bahagianya. Sebentar lagi, ia akan menjadi milik seseorang yang sah di
bawah panji agama. Akhirnya semua menjadi sejalan; senyumnya, dan harapku. Ia akan
tersenyum dan mematikan asaku. Selamanya. Perang telah berhenti; kedamaian yang
aku nanti.
Aku
mengekor di ujung gaun panjangnya. Memeganginya agar jalannya tak kepayahan. Ia
tampak anggun. Lebih dari sekadar cantik. Mungkin aku juga akan terlihat cantik
bila mengenakan gaun itu. Mungkin, ini memang waktunya melepasmu, dan berganti
harapan baru.**
Mas, kamu cenayang?
ReplyDeleteBeberapa bulan lalu seorang gadis hendak menikah, dan sahabatnya di belahan dunia sana yang...ah au ah. Ini ceritanya menyebalkan. Bedanya dia menyatakan dan semuanya hancur berantakan. Keduanya sekarang sakit. Yang satu mulai bahagia dengan yang sah, sedangkan yang lain melanjutkan hidup dengan membenci.
Dua orang itu akhirnya pisah bukan karena udah jujur dan tau beda pilihan presidennya, kan?
Deletesoalnya ada juga yang kayak gitu, melanjutkan hidup dengan benci.
#behberat
endingnya gak enak banget, ditinggal nikah
ReplyDeletepadahal ada twisnya :(
Deletemmmmmmmm... sedih sih ala2 drama korea. tapi bingung ini ceritanya cewek sama cowok apa cewek sama cewek sih :|
ReplyDelete((ala-ala drama korea))
Deletecerita cewel-cewek ^.^
Pernah kayak gini. Tapi beda ending dan posisi. :))
ReplyDeleteselamat hidup kembali!!!!
DeleteHAHHA
Yah sahabatnya punya bakat lesbi. Tapi baguslah dy mau sadar
ReplyDeletetau dari mana sadar?
Deletekalau harapan barunya cewek lain gmn? :p
280515; 08:33 AM
ReplyDelete