Sunday 29 September 2013

JEMBATAN KAPUAS

Standard

NET

Di sini, aku yang termuda. Usiaku baru 7 tahun dan aku seorang cancer. Aku beruntung dilahirkan Tuhan menjadi jembatan dan baru dibangun setelah reformasi. Aku mewah. Tidak seperti teman lamaku, atau lebih tepatnya seniorku itu, dirinya hanya seharga Rp 6,06 Miliyar, sedangkan aku Rp 110 Miliyar. Kalian bisa lihat sendiri, kan?

Sebagai seorang cancer, aku penyayang yang baik, karenanya siapa saja aku perbolehkan melewatiku. Aku tidak pilih kasih seperti seniorku itu. Hanya untuk kendaraan pribadi dan angkutan umum. Sok eksklusif sekali menurutku. Belum lagi, sewaktu pertama kali dia menjejakkan rangka betonnya di bumi khatulistiwa, dia meminta tarif untuk setiap mereka yang lewat. Merasa ingin dihargai? Harganya Rp 6,06 Miliyar, sedangkan aku Rp 110 Miliyar. Kalian bisa lihat sendiri, kan?

Aku tahu segala tentang dia, bukan karena aku yang kepo ya. Banyak anak muda yang seringkali menghabiskan waktu di selangkangan jalanku. Dari merekalah aku mendengar semuanya, tentang seniorku itu. Beragam hal yang mereka lakukan di sana. Ada yang sekedar nongkrong bersama temannya, ada yang bercumbu dengan pacarnya, ada yang memancing ikan, ada juga yang duduk melingkar sambil mencium benda-benda berbau tajam, mungkin lem. Ya, selangkangan tengah kakiku yang membelah Sungai Kapuas itu memang tempat favorit mereka. Semoga saja puake tidak sedang lapar saat mereka ada di sana. Bagaimana, harganya Rp 6,06 Miliyar, sedangkan aku Rp 110 Miliyar. Kalian bisa lihat sendiri, kan?

Tapi sebenarnya, aku kasian dengan seniorku itu, usianya sudah 31 tahun. Beberapa bagian tubuhnya ada yang berkarat, mungkin karena kurang dirawat. Belum lagi kemarin, sebuah tongkang bauksit sempat menabraknya. Tulang kakinya bergeser kurang lebih 10 cm, akibatnya dia sempat dikucilkan sementara. Ya, lagi-lagi aku tahu dari mereka yang seringkali menghabiskan waktu di selangkangan jalanku. Dan, karenanya sekarang beban punggungku semakin bertambah, kendaraan roda empat semuanya dialihkan padaku, dia hanya kebagian kendaraan roda dua. Tapi, tak apa lah, toh aku muda, pula kuat. Harganya Rp 6,06 Miliyar, sedangkan aku Rp 110 Miliyar. Kalian bisa lihat sendiri, kan?
*
Anak muda itu terlalu banyak bicara, menghargakan diri dengan sejumlah uang. “Harganya Rp 6,06 Miliyar, sedangkan aku Rp 110 Miliyar. Kalian bisa lihat sendiri, kan?”

Satu hal baik yang saya lihat darinya, selain banyak bicara, ia juga banyak mendengar. Hanya saja sepertinya ia kurang membaca. Menurut saya, anak muda yang seringkali menghabiskan waktu di selangkangan jalannya pasti memiliki gadget semua, namanya juga anak muda zaman sekarang selalu ingin mengikuti perkembangan teknologi, ya, walaupun cuma untuk sekedar jaga gengsi. Apa kalian seperti mereka? Andaikan benar memang dia rajin membaca, pasti dia akan tahu bagaimana keadaan ekonomi pada masa orde baru, pula dia akan tahu bagaimana pemimpin kalian membuat kebijakan pengaturan lalu lintas untuk mengurangi dampak kemacetan bagi dirinya, jembatan.

Mungkin saja, anak muda yang seringkali menghabiskan waktu di selangkangan jalannya memang tidak pernah berbicara tentang itu, dan mungkin memang tidak tahu. Sehingga ia tidak pernah mendengar. Hey, tunggu sebentar, kalau tidak salah tadi saya mendengar kalian membaca cerita darinya kalau saya “sok mengeksklusifkan diri”. Begini, jika kalian bertemu dengannya nanti, tolong sampaikan padanya, jika dulu saya tidak pernah meminta bayaran untuk setiap mereka yang lewat, ia tidak akan pernah mendapat panggilan “jembatan tol”. Ya, tol itu jalan bebas hambatan dan dikenakan tarif setiap kita melewatinya. Saya sempat merasakannya dulu, sebelum pertengahan tahun 1990-an, setelah akhirnya kebijakan tol tersebut dicabut. Saya merasa lebih nyaman dengan cukup menjadi jembatan tanpa tol, banyak orang bisa lalu lalang tanpa harus mengeluarkan sejumlah uang. Takdir saya untuk membantu, benar-benar berlaku. Namun, lucunya sampai sekarang masih saja ada yang memanggil saya jembatan tol. Itu hanya kenangan. Kenangan yang selalu saja dimunculkan Tuhan, meski saya selalu berusaha untuk melupakan.

Kalau tidak salah, saya juga mendengar kalian membaca doanya, puake yang semoga tidak sedang lapar. Saya bersyukur, ia masih tahu tentang itu. Sebagai penghuni baru Sungai Kapuas sudah seharusnya ia menghormati penghuni lama. Maksud saya, ya, puake yang menjadi kepercayaan di sini, entah yang berwujud buaya, ular ataupun yang lain. Hanya saja sayangnya sekarang seperti kalian yang lupa, seenaknya mengabaikan budaya dan tradisi. Puake lebih sering saya dengar sebagai bentuk caci maki, padahal sebenarnya ia adalah penjaga sungai, penjaga alam dalam bentuk kearifan lokal. Ataukah perlu puake meminta korban terlebih dahulu agar kalian menjadi sadar? Biar nanti saya sampaikan.

Tunggu sebentar, jangan-jangan tongkang yang menabrak saya kemarin kerjaan puake itu, karena saya ditabrak dua kali. Kata orang, hal yang kebetulan itu tidak mungkin terjadi dua kali. Jadi, bagaimana dengan yang saya alami? Tapi siapa yang ingin puake itu sadarkan, kalian atau pemimpin kalian?

Sepertinya saya sudah bercerita panjang lebar, semoga saja kalian menemukan luasnya. Kalau kalian bertanya bagaimana bisa, ingatlah saya sudah 31 tahun di sini, melintang mengangkangi Sungai Kapuas ini. Pembicaraan orang tua, remaja dan anak-anak sudah sering saya dengar. Dari zaman Suharto yang katanya bapak pembangunan, sampai zaman SBY bapak pencitraan. Cerita para tetua, hingga jenakanya anak muda Pontianak saya tahu betul. Beginilah saya, senior tua seharga Rp 6,06 Miliyar, sedangkan ia Rp 110 Miliyar. Kalian bisa lihat sendiri, kan?

8 comments:

  1. Tulisannya keren, sumpah.
    Pesan moralnya disajikan menarik.
    Saya tinggal di kubu raya, salam kenal :D

    ReplyDelete
  2. Makasih bro :D
    Semoga tinggalnya bukan di perbatasan, daerah Serdam :D

    ReplyDelete
  3. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  4. Jembatan kapuas yang malang.
    jangan sampai kau hilang.
    kelak akan kubangunkan temanmu.
    agar tak terlalu banyak orang memijakimu.

    kwkwkwkwk
    salam anak nakal wan.

    ReplyDelete