Thursday 20 February 2014

Kisah Pantai yang Mencinta

Standard
 

Langkahnya gontai. Setiap jejakan kakinya terangkat malas. Debur ombak yang menggulung, cahaya senja yang menjingga, tetap tak mampu mengalihkan pandangannya dari bulir-bulir pasir tempatnya berpijak. Telinganya seperti tersumpal kata-kata lelaki itu. Kata manis janji mereka di sini. Di atasku. Matanya pun seakan buta kenyataan. Hanya kenangan yang mampu ia lihat, bersama harapan-harapan yang terlanjur tenggelam di sini. Di tepi bibirku.

“Di sini, kita pernah ada,” ucapnya lirih. Air matanya menetes. Turun begitu saja tanpa aba-aba. Bening. Tak banyak. Hanya beberapa. Kau tahu kenapa aku bisa menghitungnya? Karena air mata itu menjelma mutiara, masuk ke dalam aku.

Ia berhenti. Dibenamkannya kaki jenjang itu lebih dalam lagi. Ombak yang datang silih berganti dipersilahkannya mampir, tak ada satupun yang ia usir, atau membuatnya beranjak dari bibir. Pandangannya ia lempar ke lautan. Jauh. Seperti ingin mencari ujung, ke mana matahari pulang, bersama segala lelah, dan juga resah yang telah lama ia tampung.

Tubuhnya kaku. Dingin. Entah karena angin, atau karena ingatan-ingatan masa lalu yang ia gali sendiri, disertai ingin-ingin yang ditanamnya pada mungkin. Aku hanya mampu memeluknya sebatas mata kaki. Pun dengan pelukan itu, aku merasa tak mampu menghangatkannya, apalagi menelan gundahnya.

Senja itu, nyiur berkata padaku, “tetaplah begitu, bantu ia, jika kau menyayanginya.” Aku mengangguk. Makin aku eratkan pelukku pada telapaknya. Berharap dengan itu, ia tak goyah, tetap mampu berdiri tegak, tak terbawa hanyut gulungan ombak bersama janji manis lelaki itu.

Jingga cakrawala menghilang, berganti gelap yang kian temaram. Tak ada satupun bintang yang menghadiri upacara kesedihannya petang ini. Bulan, raja malam, pemangku tahta matahari, mulai menampakkan diri. Penuh. Purnama. Tak ada kecanggungan yang ia tampakkan, bahkan, dibawanya serta ombak pasang yang meninggi.

Wanita dipelukanku tak gentar. Aku bingung. Semua orang sudah meninggalkanku sedari tadi. Hanya dia yang masih bertahan di sini. Aku tak mampu berbuat banyak. Memeluk kakinya lebih erat dan semakin erat disetiap detik, hanya itu yang aku bisa. Entah darimana ia mendapatkan keberanian semacam ini. Alam ia tantang, sementara melawan kenangan saja ia tumbang. Aku mulai berpikir, kedatangannya tidak sekedar untuk mengenang. Dengan sorot mata tanpa fokus, air wajah putus asa, dan simpul bibir yang gemetar, aku tebak, dia datang untuk sebuah pemakaman.

***

Namanya Naya. Aku tahu karena ia pernah menuliskannya padaku. Dengan jemarinya yang halus, meliuk-liuk senang di punggung bibirku. Ia memang seperti wanita kebanyakan. Datang bersama seseorang, bermain air, tertawa, mengejar ombak, kemudian berlari balik karena dikejar. Ada satu nama lagi yang ia tulis, Pandita. Mereka adalah dua sejoli yang sedang memeluk cinta, menjadikan aku saksi bisunya.

Aku pertama kali memperhatikannya di akhir Januari. Entah itu kunjungan ia yang keberapa. Terlalu banyak orang yang datang. Sebenarnya, aku selalu sulit mengingat seseorang, mungkin karena usiaku yang tua, atau karena memang bagiku, mereka yang datang ke mari hanya ingin sekedar mampir, untuk kemudian kembali pergi. Mungkin, ada kenangan yang tertinggal di kepala mereka, dan seringnya, nestapa yang mereka tinggalkan padaku.

Nestapa-nestapa itu tidak lebih adalah buah dari kecerdasan mereka sendiri. Hal-hal remeh yang mereka gelari kepraktisan. Kau pasti mengenalnya, nestapa itu bernama sampah. Derita yang aku tanggung, walau mereka (dan mungkin juga kau) pernah ingin menguranginya dengan mengucap sumpah.

Memang, tak semua orang yang mengunjungiku begitu. Ada beberapa di antara mereka yang tidak hanya meninggalkanku dengan kenangan di kepalanya, tapi juga ingatan di kepalaku. Contohnya Naya. Wanita itu memiliki sepasang mata yang enak dipandang. Matamu pasti ingin tenggelam di dalamnya, meski kau sedang berdiri di depan lautan. Bibirnya, seperti kulit roti tawar yang kau nikmati tiap pagi. Jika kau melihat senyumnya, kau akan tersadar, Tuhan Maha Pintar menunjukkan keindahan. Belum lagi ketika angin melintas di helai-helai rambutnya yang tergerai, sesaat, kakimu akan memaku tanah, mengakar dan enggan berpindah.

Tidak hanya itu, ia tak pernah meninggalku bersama nestapa. Bahkan, ketika ia berjalan dengan tangan saling berpegang berdua lelaki itu di tepi bibirku, dilepaskannya genggamannya dan memindahkan segala nestapa menjauh dariku.

Di akhir Januari itu, hatiku jatuh pada telapaknya yang lembut. Dengan tawanya yang renyah, ia menulikan riuh lain di sekitar. Meski, hari itu ia tidak sendiri. Berdua dengan kekasihnya yang menurutku, tak lebih baik dari aku. Aku mampu memberinya senang pula tenang sama seperti lelaki itu, tentu dia (dan juga kau) bisa melihatnya dari berapa banyak orang yang datang padaku. Aku pun bisa mencintainya dengan tulus, seperti apa yang aku lakukan sekarang.

Jika saja aku ini layaknya kau, aku pasti hanya bisa menahan pedih, saat menikmati seseorang yang aku sayangi, berduaduaan dengan orang lain. Dan, untungnya, aku adalah pantai. Aku tetap bisa memeluknya dengan butir pasirku, tanpa atau dengan inginnya.

Mungkin kau berpikir aku bodoh, mencintainya hanya karena hal sepele. Tapi, mau bagaimana lagi, itulah yang aku rasakan kini. Mungkin saja, aksaraku yang tak pandai menggambarkan tiap senti ingatan di kepala yang membuat hatiku jatuh padanya. Atau mungkin, kata-kata, memang tak pernah bisa mewakili rasa yang ada.

Kau tahu, terkadang, cinta hadir dari hal-hal sederhana. Dan yang seringkali menjadikannya rumit adalah, keadaan. Begitu pulalah kini. Aku mencintainya, tapi karena aku tidak seperti ia, maka rumitlah kisahku. Andai saja Tuhan memberikan aku kesempatan, untuk dalam satu malam saja dapat berubah menjadi manusia tentu aku akan menerimanya. Paling tidak, untuk melakukan satu hal. Mengatakan bahwa aku mencintainya.

Aku bukanlah pantai yang pengecut. Bila menyatakan cinta saja aku tak bisa, mana mungkin debur ombak ini mampu aku hadapi dengan tenang. Orang-orang mungkin menganggap karanglah pawang paling kuat penakluk ombak. Tetap berdiri kokoh di tengah amukan gulungan kekuatan Poseidon. Tapi, tidakkah kau lihat, ombak mana yang datang padaku tanpa sanggup aku damaikan?

Mengenai Poseidon, aku mendengar ceritanya dari angin laut yang bertiup di negerinya. Angin laut itu singgah kemari karena tersesat saat terlambat pulang dan tertabrak angin darat. Lidahku ingin menanyainya, apakah ia tidak pernah tahu arah mata angin hingga bisa terpesong jauh sampai kemari, tapi aku urungkan dengan pertimbangan perasaan. Dan dengan alasan perasaan pula, aku menceritakan wanita itu padanya.

“Apa kau gila?” Itu kalimat pertama yang ia katakan ketika pertama kali mendengar ceritaku. Belum sempat aku melanjutkannya, dengan terburu ia memotong kata. “Tapi, ini hal yang sebenarnya tidak begitu mencengangkan, di salah satu negeri yang pernah aku lewati, seorang anak manusia malah menikah dengan anjing. Dan, itu merupakan tradisi bagi sebagian anak gadisnya yang entah karena apa. Pun di tempatku berasal, dikisahkan banyak dewa yang akhirnya turun ke bumi mencari istri.”

Waktu itu, aku menimpali penjelasannya dengan sebuah pertanyaan, “jadi kau percaya dewa?” Entah aku benar-benar butuh jawaban atau hanya sebuah penguatan. “Negerimu tak punya dewa?” justru ia balik bertanya. Aku diam sejenak, tak langsung menjawab. Setahuku, di sini ada banyak sekali dewa, bahkan manusia, juga makhluk gaib pun seringkali didewakan.

“Aku lebih percaya Tuhan” jawabku tegas.

“Kalau begitu, mintalah pada Tuhanmu untuk membantumu mendapatkannya.”

Mendengar perkataannya, membuat aku ingin mengembalikan pertanyaannya di awal, “apa kau gila?” tapi aku urungkan karena aku tahu, tak ada kemustahilan bagi-Nya.

***

Di remang yang kian susut ini, ombak makin meninggi. Tak mundur kakinya barang sesenti. Aku hilang akal, apa yang harus aku lakukan agar ia kembali ke daratan. Ini adalah kali kesekian aku merasa gusar. Jika dulu gusarku datang karena menunggu kehadiran, maka kini gusarku singgah karena ketidakberdayaan. Kau tahu, ketika kau dihadapkan pada satu kenyataan, bahwa apa yang biasa dengan mudah mampu kau atasi menjadi sesuatu yang begitu sulit, maka akan tumbuh sebatang pohon dengan banyak cabang yang berbuah kebuntuan mengatakan, “tajimu telah tumpul.”

Ombak ini tak mampu aku damaikan, deburannya kian lahap menerjang bibirku, membawa wanitaku perlahan maju, seperti ditarik ke dalam lautan. Aku tak mungkin membiarkannya, melepas telapak halus ini pergi bersama janji manis yang juga pernah tenggelam di sini. Tentu aku tak ingin kehilangan dia, meskipun aku belum memilikinya. Kehilangan apa yang bukan milik kita, adalah sesakitsakitnya patah hati.

Kali ini, aku benar-benar berharap kebenaran cerita angin laut. Keajaiban (atau mungkin keanehan) yang terjadi di belahan lain bumi, bisa bertambah satu di sini.

Pelukku aku kencangkan, hingga terasa benar aliran darah pada telapak wanita itu semakin menghilang. Angin bertiup perlahan, membuat parau napasnya mendayu masuk dan terjebak dalam batinku. Entah bagaimana kemudian dentuman ombak itu mendadak bisu, tapi tetap bersemangat menarik wanitaku pulang bersamanya. Kakinya mulai bergetar, seperti mesin cuci tua yang dipaksakan bekerja. Bergerak maju. Makin dalam hingga pinggangnya tak tampak. Aku sudah tak sanggup menahannya, butir-butirku lelah merekat erat di telapaknya. Tapi hatiku tetap bersikukuh tak ingin kehilangan wanitaku, maka dengan terpaksa aku melakukannya.

Lautan perlahan tenang, layaknya jalan pedesaan di tengah malam. Gulungan ombak menghampiriku pelan. Damai. Tidak seperti yang baru saja. Sejatinya kami adalah sahabat yang bermusuh dengan baik. Hanya, untuk kali ini ia terlalu tamak. Setelah permintaanku kemarin, kini ia juga menginginkan wanitaku. Dan, karena aku tahu aku akan kalah, mau tidak mau, aku yang melakukannya: melahap wanitaku, masuk ke dalam aku. Kau tahu, ia adalah wanita pertama yang akhirnya tinggal di dalam aku. Dan, korban kedua dari kisah cintaku, setelah lelaki itu. **



Februari, 2014

Tuesday 4 February 2014

Cangkir Kedua

Standard
Dimuat di Pontianak Post edisi 16 Maret 2014

Aku duduk di kursi paling sudut, di tepi jendela kaca besar yang membuat pandanganku tembus ke luar. Di hadapanku, berdiri kokoh meja kayu bundar jati ukiran. Di atasnya, dua cangkir cappucino dengan aroma kuat dan hangat menunggu aku sesap. Ya, dua. Aku tidak sedang menunggu seseorang sekarang, aku memesan dua cangkir, hanya karena kebiasaan.

Aku merogoh sakuku, sesaat setelah Blackberry-ku bergetar. Ternyata sebuah pesan singkat dari ibu, beliau menanyakan keberadaanku. Aku membalas pesan itu seperlunya, kemudian meletakkan smartphone yang kini dibanjiri pin dengan angka 7 di depannya itu di atas meja. Entahlah, akhir-akhir ini banyak orang yang melebihkan perhatiannya padaku. Bukan berarti ibuku tidak pernah memberi perhatian lebih, hanya saja menanyakan keberadaanku di sore hari seperti sekarang ini bukanlah kebiasaan ibu. Belum lagi teman-teman sekantorku yang terlihat ingin sok asik kepadaku selepas cutiku kemarin. Semua orang di sekitarku berubah, semenjak peristiwa itu.

Aku menyeruput secangkir cappucino di atas meja yang menunggu bibirku sedari tadi. Rasanya sedikit berbeda, sedikit lebih pahit sekarang. Mungkin sang bartender terlalu lama membuatnya, atau mungkin alirannya yang terlalu cepat menyentuh pangkal lidahku. Cangkir keramik berisi cairan coklat dengan busa putih susu hiasannya itu kembali aku letakkan. Sekarang, tanganku aku tugaskan untuk membuka tas. Alih-alih ingin mengambil buku puisi milik Tuan Sapardi, tangan dan mataku malah menyentuh sebuah kertas berlipat yang dibungkus plastik bening. Di depan kertas tebal berlipat berwarna biru itu tertulis sepasang nama. Asa & Cinta.

“Ah, masih ada saja yang tertinggal” gerutuku.

Kertas itu aku keluarkan, aku pandangin sebentar, lalu aku simpan kembali ke dalam tas. Mataku aku lemparkan ke jendela, di sana, langit sedang ingin mempertontonkan pertunjukkan andalannya. Senja.

“Kemarin, ada senja yang lebih jingga dari ini. Saat senja menikmati kita.”

Aku kembali menempelkan bibirku pada bibir cangkir, membiarkannya sejenak, lalu mengangkatnya sedikit. Sekarang, ada manis yang singgah pada ujung lidahku, kemudian berlalu, begitu cepat, dan menghilang.

Di luar sana, jingga tiba-tiba menghitam. Awan mendung mengepung. Di tubuhnya janin hujan dikandung. Langit Pontianak memang tidak bisa diprediksi, apalagi di bulan oktober seperti sekarang ini. Siang yang bedengkang pun, tidak menjamin sore yang tenang.

Hujan mengguyur tanpa ampun, jendela kaca yang tadinya bening, kini berembun. Jika saat ini aku berada di rumah, sudah pasti namamu akan aku tulis di sana, dengan gambar hati di bawahnya. Aku kembali mengambil buku puisi Tuan Sapardi, kemudian membukanya.

Hujan Bulan Juni
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu

“Andai saja, aku seperti hujan bulan juni, yang begitu tabah, bijak dan arif menghadapi semua ini” batinku.

Aku kembali memandangin hujan turun. Pohon, rumah, mobil, motor, siapa saja yang ada di lintasannya ia keroyok tanpa ampun. Tak terkecuali aku, meskipun terlindung dari hujan secara langsung, ia tetap mampu menciptakan genangan di sini, di kepalaku.
***

Hari itu, seperti biasa, aku menikmati secangkir cappucino di sini, ditemani secangkir lain yang menunggu tuannya. Sebagai seorang abdi masyarakat yang baru tiga tahun menjabat, aku selalu menaati jam kantorku, masuk pukul 07.30 pagi dan pulang pukul 16.30 sore. Meskipun banyak teman kantorku yang lebih terlihat seperti om-ku itu, pulang jauh lebih awal dari jadwal yang ditetapkan, aku berusaha menjadi pegawai yang mengikuti peraturan. Seragam memang sesekali menjadi simbol pengekangan. Namun, bukan itu yang membuat aku menjalankan semua peraturan yang berlaku. Sejak kecil, ayahku selalu mengajarkan nilai-nilai kedisiplinan dan tanggung jawab, dan itu yang aku bawa sampai sekarang.

Banyak di antara mereka yang berkata, “maklum, anak muda, idealismenya masih ada.” Aku selalu menanggapi perkataan itu dengan senyuman. Mungkin ada benarnya, hanya saja aku tidak ingin menjilat ludahku sendiri. Sewaktu mahasiswa dulu, aku termasuk salah satu mahasiswa yang aktif di organisasi dan pergerakan, pula seringkali turun ke jalan dan berkoar-koar mengkritik kinerja pegawai pemerintah. Jika sekarang aku  melakukan apa yang dulu aku keluhkan, apa bedanya aku dengan mereka?

Dari keaktifanku sewaktu mahasiswa pula, aku bertemu dengannya. Wanita yang aku tunggu sekarang. Namanya Cinta, dia salah satu mahasiswi yang juga aktif dalam organisasi. Kami bertemu di sebuah kegiatan yang diadakan oleh kampusku. Kebetulan, dia adalah humas dari organisasi luar yang kami undang. Sejak saat itu aku dan dia mulai sering berkomunikasi. Awalnya hanya untuk membahas keperluan kegiatan bersama kami, lama-kelamaan semakin dekat dan tetap berlanjut walau kegiatan itu telah selesai.

Rencanannya, sore ini, aku dan Cinta akan pergi menemui teman lama. Pemilik weeding organizer yang dulu juga bosku. Ya, semenjak semester 7, aku mulai ikut dengan beliau, untuk mengisi waktu luang juga mencari pengalaman baru, dan sedikit uang tambahan untuk membeli buku tentunya. Kami akan fitting terakhir pakaian pengantin di galerinya.

Di luar cuaca cukup panas, matahari masih enggan pulang, padahal sudah hampir pukul lima lewat. Aku menghabiskan cappucinoku yang mulai mendingin. Walaupun sore ini Pontianak masih menyengat, aku pasti memesan dua cangkir cappucino, satu untukku dan satu untuknya. Aku selalu menyenangi waktuku berdua dengannya sambil menikmati cappucino ini. Meski hari ini kami hanya akan bertemu di sini sebentar, dia pasti akan tetap menghabiskan cappucino miliknya. Baginya, hangat atau dingin sama saja, manis-manis pahit akan tetap jadi rasanya.

Selain cappucino, kami juga memiliki minuman favorit lain yang sama. Air putih. Air yang bening dan menyehatkan, seperti wajah Cinta. Jika saja semua wanita memiliki wajah seperti dia, tentu semua lelaki di dunia ini tidak perlu mengkonsumsi wortel untuk mendapat vitamin A, cukup hanya dengan menatap wajahnya saja. Tiba-tiba Blackberry 9300-ku bergetar, sebuah BBM masuk.

“Kamu udah di sana?”

Aku membalasnya dengan cepat.

“Udah dari tadi. Kamu di mana? Cappucinomu keburu dingin. Eh, di depan ada dedek-dedek unyu, kamu mau aku tanyain namanya?”

“Aku udah di jalan, kamu habisin gih punya aku. Tadi ada Nesya di rumah. Kamu jangan macem-macem ya, nanti aku aduin Kak Seto!”

“Haha. Iya. Udah cepetan, nanti aku ganteng kelamaan nungguin kamu. Hati-hati, hati :*”

Aku langsung memasukkan Blackberry hitamku ke dalam saku baju dinasku tanpa menunggu pesan balasan darinya. Toh, dia sudah di jalan, selain itu bermain handphone saat berkendara juga sangat berbahaya, baik bagi diri sendiri juga orang lain.

Seminggu lagi pernikahan kami akan digelar. Di kantor tadi, aku cukup disibukkan dengan urusan surat cutiku untuk tiga minggu ke depan. Padahal aku sudah lama mengajukannya, tapi tetap saja tidak langsung ditindaklanjuti.

Undangan-undangan akan disebar mulai minggu nanti. Semua sanak famili sudah terlebih dahulu diberi kabar. Pernikahan kami tidak akan dilangsungkan di gedung ataupun hotel. Melainkan di rumahku. Maksudku, rumah bapakku. Halaman rumah kami cukup luas, cukup untuk menampung tamu-tamu undangan. Selain itu, ini merupakan acara pernikahan pertama di keluargaku. Kebetulan, aku adalah anak pertama dari dua bersaudara. Sedangkan Cinta, adalah anak keempat dari lima bersaudara. Sudah pasti, keluargaku yang jauh akan berdatangan ke rumah, juga akan menginap beberapa hari.

“Kedekatan keluarga itu harus dijaga, kapan lagi, kan, bisa kumpul dengan saudara-saudaramu yang jauh, kalau acaranya di gedung, nanti ndak ngumpul gini” kata bapakku dengan bahasa jawa kasar di suatu malam saat sedang membicarakan rencana pernikahan ini.

Aku melihat jam tangan, jarum panjangnya tepat berada di angka enam, sedangkan jarum pendeknya berada di antara angka lima dan enam.

“Udah jam segini, Cinta masih belum nongol juga.”

Aku mengkerutkan keningku, sambil sesekali memegang janggutku yang tidak berjenggot. Aku khawatir, biasanya hanya butuh waktu 20 menit dari rumah Cinta ke kafe ini, hanya saja mungkin jalanan sedang macet-macetnya, apalagi ini sore hari, jam-jam pegawai pulang yang kemudian disusul matahari. Aku mencoba berpikir positif.

Secangkir cappucino di hadapanku sudah habis sejak tadi. Namun, masih ada secangkir lagi milik Cinta. “Ah, biar nanti dia saja yang menghabiskan cappucino miliknya ini, melewati jalanan Pontianak yang kelihatan menyempit tentu akan menimbulkan dahaga pula” pikirku saat hendak menggapai secangkir cappucino yang masih penuh itu.

Dalam hati, aku ingin memesan secangkir lagi, namun niat itu aku urungkan. “Jangan terlalu banyak mengkonsumsi kopi, itu kurang baik untuk kesehatan” tiba-tiba aku teringat pada omelan Cinta beberapa hari lalu. Omelan dengan tutur kata yang mesra menurutku. Meskipun sebenarnya karena dialah, aku menyukai cappucino ini.

Akhirnya, aku kembali mengambil handphone di saku bajuku, kemudian membuka aplikasi Twiter For Blackberry. Dengan cepat jemariku menari di atas keypad, menuju timeline Cinta. Kadang-kadang, aku memang senang stalking timeline-nya, aku ingin tahu dengan siapa dia menghabiskan waktu, apa yang dia lakukan hari ini, atau apa saja yang masuk ke perutnya. Tapi aku tidak menemukannya hari ini. Tidak satupun isi timeline-nya menggambarkan itu. Isi timeline-nya dipenuhi oleh twitpic foto prewed kami.

Seketika senyum tercetak di wajahku. Pipiku tertarik ke atas, melebarkan bibir pada rahangku yang tegas. Foto-foto dengan busana adat jawa dan bugis, juga beberapa foto bebas. Dia tampak anggun dengan jilbab dan kacamata. Aku selalu suka melihat dia membenarkan posisi kacamatanya, membuat aku lemah untuk mengalihkan pandangan.

Melihat foto-foto itu membuat aku kembali mengingat masa lalu, setelah hampir 4 tahun berpacaran dengannya, akhirnya kami akan menikah juga. Aku teringat saat pertama kali kami menghabiskan waktu bersama. Aku mengajaknya ke bioskop, setelah sebelumnya mengunjungi pameran lambang negara. Entah apa yang ada di kepalaku saat itu, pergi dengan seorang wanita, berdua saja, ke sebuah pameran yang mendengar namanya saja terbayang hal membosankan. Tapi, toh, kelihatannya dia menyukainya, sepanjang kunjungan kami di sana, dia selalu tertawa dan kami banyak bertukar cerita.

Belum selesai aku bernostalgia, aku dikagetkan suara azan. Sudah magrib. Dan, Cinta belum juga tiba. Segera aku menelpon Cinta, tidak tersambung. Aku menelponnya berkali-kali dan selalu mendapat jawaban yang sama dari operator. Aku gelisah, kemudian mencoba bangkir dari kursiku. Lututku tidak sengaja menghantam meja kayu bundar yang berdiri di depan. Seketika saja, cangkir cappucino milik Cinta yang aku letakkan terlalu pinggir jatuh ke lantai dan pecah. Sekumpulan anak SMA yang duduk di seberangku, mulai mengalihkan perhatiannya ke arahku.

“Sial!”

Aku memandang ke bawah, cappucino itu luber dan menggenangi pecahan cangkir di atas lantai marmer. Aku membuang pandanganku ke luar jendela, jalanan masih ramai dilindungi senja.

Tiba-tiba saja handphone-ku bergetar. Sebuah panggilan.

“Asa!! Cinta kecelakaan!!” teriak suara dari seberang.
***

Di luar, hujan telah berhenti. Aku tidak ingin membuat ibuku cemas lagi. Aku bergegas mengemas barang-barangku, memasukkan kembali buku puisi Tuan Sapardi ke dalam tas dan mengeluarkan beberapa lembar uang puluhan ribu. Di atas meja, masih bersisa secangkir cappucino yang sudah dingin. Tanpa pikir panjang aku menghabiskannya. Cappucino di cangkir kedua. Di mana bibirnya tak pernah lagi bersua.**