Monday, 2 March 2015

Menggendong Ibu

Standard

“Yang buang sampah di sini ANJING!!”

Tertulis jelas di papan bercat putih dengan pilok hitam. Aku kembali berjalan dan mengurungkan niat. Aku bukan anjing, dan bukan pula binatang. Aku manusia sama seperti kau. Sebenarnya, aku tidak begitu risih kalau pun ada yang memanggilku demikian. Bertahun-tahun Ibu memanggilku dengan nama itu. Terutama saat marah pada orang yang kupikir Ayah.

“Kau bawa saja Anjing sialan ini pergi dari rumahku. Aku menyesal melahirkannya!” begitu kira-kira yang biasa aku dengar dari Ibu, sambil ia melempar sebotol bir ke arah pintu.

Walau sering menyebutku Anjing, Ibu tak pernah menyuruhku makan di lantai, atau memberi aku makan tulang. Aku makan apa yang ia makan. Meski kadang hanya satu bungkus nasi yang dibagi dua. Ibu sayang padaku.

Ia sering menyuapiku makan. Tangannya manis. Aku bisa merasakannya setiap kali tangan itu masuk ke mulut. Di saat itu, ia akan kembali menyebutku Anjing sambil meringis. Aku tersenyum.

Jalan makin sepi. Temaram lampu jalan dan dingin angin malam menemani langkahku menggendong Ibu. Tubuhnya tak seberat dulu. Sudah kurus. Hampir seperti tulang terbungkus kulit. Kulit lengannya sudah serupa rumbai-rumbai gorden; bergelambir. Namun, tangan yang sering ia pakai untuk menyuapiku masih terasa manis.

Ibu tidak pernah memanggilku Anjing sekarang. Kurasa ia kapok. Karena, di terakhir kali ia menyebutku seperti itu, saat marah pada orang yang kupikir Ayah, aku lantas membuat lehernya berdarah.

Tidak, aku tidak marah karena dipanggil begitu. Aku hanya penasaran. Orang yang kupikir Ayah itu, seringkali menggigit leher Ibu. Aku melihatnya dari celah pintu kamar. Saat terbangun mendengar suara erangan. Padahal sebelumnya aku tidur di ranjang, entah kenapa tiba-tiba saja sudah ada di kursi depan.

“Anjing! Anak kurang ajar!”

Ibu menamparku berkali-kali dengan tangan manisnya. Aku sempat menghindar, namun kalah cepat oleh telapak tangan ibu. Aku menyenangi tangannya. Oleh karena itu, saat ia mulai ingin kembali menamparku, aku membuka mulutku lebar-lebar. Tangan itu berhenti di geligiku. Rasanya masih sama. Manis.

Pernah di suatu malam, beberapa bulan lalu, lelaki yang kupikir Ayah kembali berkunjung ke rumah. Tidak sendiri, kali ini bersama tiga temannya. Semuanya lelaki. Sebenarnya, aku bisa saja mengira orang lain sebagai Ayahku, bukan lelaki itu. Hampir setiap malam, ada lelaki yang datang ke rumah. Mereka semua tamu Ibu. Tak ada satu pun yang mencariku. Hanya lelaki yang kukira Ayah itulah yang datang untuk bertemu Ibu dan terkadang menanyakan kabarku. Sejak saat itu, aku ingin memanggilnya Ayah.

“Apa dia Ayahku?” tanyaku pada Ibu, di pertama kalinya lelaki itu datang dan menanyakan aku.

“Kau tak perlu tahu siapa Ayahmu.”

“Tapi aku ingin punya Ayah!”

“Kau sudah punya aku, dan kelak akan jadi seorang ayah. Itu cukup.”

Sejak saat itu, aku tak pernah lagi bertanya perihal ayah pada Ibu. Dan dengan sendirinya mengira lelaki itu sebagai Ayahku.

Mengenai malam ketika lelaki itu datang bersama tiga temannya, aku tak bisa banyak bercerita. Aku hanya melihat Ibu mengalungkan tangannya ke leher lelaki itu. Mesra dengan banyak kata sayang. Kemudian berpindah pada leher lelaki lainnya. Saat tahu aku melihatnya, Ibu segera menyuruhku tidur. Bukan di kamar, melainkan di dapur. Waktu itu azan isya belum lama berkumandang, dan jelas belum masuk jadwal tidurku.

Tak ada lagi yang aku tahu apa yang terjadi malam itu. Hanya ada suara Ibu dan lelaki yang terengah-engah seperti dikejar hantu. Hingga akhirnya, aku tertidur di depan pintu dapur, dengan alas keset dan berselimut serbet bau.

Keesokan harinya, ketika aku terbangun, pintu sudah bisa aku buka. Tak lagi terkunci seperti semalam. Aku segera mencari Ibu ke kamar karena lapar. Ibu terbaring pulas di sudut kasur kami yang apek. Sendirian. Entah ke mana para lelaki itu.

Aku menggoyang-goyangkan tubuhnya. Ibu bergeming. Aku mengambil botol bir di atas meja rias. Kemudian kusiram tepat di wajahnya. Mata ibu berkedip. Kurang ajar! serunya.

Sebulan setelahnya, rumahku terasa sepi. Tak ada lagi tamu Ibu. Tak ada lagi suara napas orang berkejaran di tengah malam. Setiap hari Ibu hanya terbaring di kasur. Jika lapar, ia menyuruhku ke warung makan di ujung gang. Sebungkus nasi dan sekantong air putih kami bagi berdua.

Aku menyayangi Ibu. Maka, aku tak pernah protes saat ia lupa tidak menyisakan makanan untukku. Aku juga tak marah ketika dulu, saat sedang belajar di sekolah, ia datang dan menarikku pulang.

“Kau bantu aku di rumah. Sekolah tak membuatmu kenyang!” katanya. Sejak itu, aku tak ia perbolehkan sekolah. Bahkan, keluar rumah pun harus dengan izinnya. Aku taat dan tak melawan. Aku percaya kata guruku di sekolah dulu, surga ada di bawah telapak kaki ibu.

“Aku tak ingin masuk neraka.”

“Kau harus menuruti Ibumu.”
***

Saat lelaki yang kupikir Ayah itu datang, aku tengah menyuapi Ibu makan. Ia tak mengetuk pintu, langsung masuk ke kamar. Ini pertama kalinya aku melihat wajah lelaki itu dari dekat.

Wajahnya berantakan. Kumis dan janggutnya rimbun. Sebuah giginya berkilau keemasan. Dadaku bergejolak. Ada ledakan di dalam yang membuat tubuhku ingin menghempaskan diri memeluk lelaki itu. Sekuat tenaga aku menahan kaki agar tak bergeser sedikit pun. Aku ingat pesan ibu, aku tak membutuhkan seorang ayah.

Ibu menggerakkan kepala. Tanda agar aku pergi ke belakang. Gerakannya pelan. Seperti ada benda besar yang jadi pemberat. Aku keluar menuruti perintahnya. Sengaja melangkah kecil agar mendengar percakapan mereka berdua. Suara Ibu berat. Suara lelaki itu tak kalah berat. Tak jelas apa yang mereka bicarakan.

Dari dalam, aku mendengar suara barang-barang dibanting. Kaca-kaca pecah. Sumpah serapah muntah. Dan teriakan panjang Ibu menjadi tanda pemisah. Lelaki itu berjalan meninggalkan kamar. Ada benda berkilau dan segepok uang yang ia bawa pergi.

Aku hanya diam. Tak tahu harus berbuat apa. Aku sayang Ibuku. Tapi aku juga merasa lelaki itu Ayahku. Dan, pertengkaran mereka adalah kebiasaan. Lelaki itu berhenti di depan pintu, kemudian menatapku.

“Besok, kalian harus pergi!”

Suaranya besar dan menggelegar. Beberapa tetangga kulihat menonton kami dari luar. Aku segera menghampiri Ibu di kamar. Ia menangis sesenggukan. Tubuhnya bersandar di pintu. Pandangannya kosong dengan air mata berlinang. Sambil mengusap-usap punggung Ibu, sebagaimana ia dulu menghentikan tangisku, aku memandang orang-orang di luar. Mereka menatap kami tajam. Tusukan mata mereka menembus batinku. Aku merasakan pisau benci tengah mengepung kami.

Ini bukan kali pertama mereka bertingkah demikian. Mungkin itu alasan Ibu tidak mengizinkanku keluar rumah.

“Mata mereka itu singa. Salah sedikit, kau akan diterkam dengan lidahnya,” ucap Ibu menasihatiku. Terkadang, saat aku pergi membeli makan di ujung gang, aku mendengar mereka menyebut Ibu ‘sampah’. Selain itu, mereka juga sering menggelariku ‘Anak Anjing’. Aku tak marah. Begitulah Ibu memanggilku. Aku tak pernah mengadukannya pada Ibu. Aku tak suka jadi pemanjang lidah mata singa.

Perkara para tetangga yang menyebut Ibu ‘sampah’, masih menggema dalam kepala. Mungkin itu panggilan kesayangan mereka pada Ibu, sebagaimana Ibu memanggilku Anjing. Aku masih ingat nasihat Ibu agar tak suka berburuk sangka. Ia mengatakannya saat lelaki yang aku pikir Ayah itu mengusir kami kemarin sore.

“Ia bukan Ayah yang baik,” ujarku sambil memapah Ibu.

“Ia bukan Ayahmu.”

“Ia bukan orang baik.”

“Kau tak boleh berburuk sangka.”

Aku dan Ibu terus berjalan melewati gang-gang sempit menuju pasar. Kata Ibu, di sana kami bisa tinggal. Aku memang tidak terlalu besar, tapi cukup tinggi untuk membawa Ibu. Apalagi tubuh Ibu yang semakin mengecil sejak ia hanya bisa terbaring. Aku rasa, dietnya kali ini berhasil.

Lepas isya kami tiba. Pasar sepi. Hanya gelak tawa beberapa lelaki pemain kartu yang kami dengar. Padahal, jika siang, tempat ini hingar-bingar. Karena lelah, aku dan Ibu terlelap tanpa sadar. Tak peduli suara bising perut kami masing-masing. Aku terbangun saat merasakan seseorang menendang bokongku. Keras. Tubuhku berguncang.

“Bangun Anak Anjing! Pergi dari sini! Sampah!”

Aku hanya menatapnya. Matanya tak kalah tajam dari singa-singa di sekitar rumah kami. Aku terbiasa mengalah, tapi ketika ia mulai mengayunkan kakinya ke arah Ibu, aku segera menangkapnya. Geligiku mencengkram paha, bagai anjing kelaparan. Kepalaku dipukulnya berkali-kali. Paha itu kulepas. Kemudian menarik Ibu dan menggendongnya dan membawanya pergi.

“Sial! Sampah!” orang itu geram.

Ibu masih terlelap dalam gendonganku. Mungkin ia terlalu lelah semalam, hingga tak terbangun mendengar keributan barusan. Ucapan ‘sampah’ kembali lumer di kepala. Bagaimana ia tahu panggilan kesayangan Ibu? Mungkin ia kenalan Ibu, atau mungkin salah satu singa yang tinggal di sekitar rumah kami. Tapi, bukankah Ibu bilang di pasar kita bisa tinggal? Atau jangan-jangan, ‘sampah’ itu petunjuk, arah ke mana kami bisa saling memeluk?

Aku terus berjalan dan berjalan. Dari satu gang ke gang lain. Dari pasar Minggu hingga Senin. Ibu tetap dalam gendongan dan tak bersuara sedikit pun. Ia tak mengeluh lapar juga haus. Ia tak pernah pula memanggilku Anjing. Ia damai dalam punggungku.

Sebagai anak yang baik, aku tak ingin mengganggu tidur Ibu. Ia tak pernah aku turunkan sejak aku menggendongnya di pasar. Ibu pasti tentram dalam punggungku, sebagaimana aku tenang dalam peluknya.

Tapi semua mahluk butuh tempat. Semua yang bernyawa butuh makan. Aku pernah sekali mencoba datang pada sebuah warung makan, tapi malah dikira pengemis dan diusir. Aku tak pernah suka pengusiran. Hal itu membuatku teringat pada orang yang kupikir ayah yang tidak baik.

Aku kembali berjalan dan berhenti di sebuah tong sampah. Ada banyak nasi bungkus yang tak habis dimakan. Ada apel dan pisang yang baru digigit setengah. Ada juga beberapa minuman kaleng yang masih berisi. Aku membangunkan Ibu yang masih terlelap dan mengajaknya makan. Ibu aku dudukkan. Ia bersandar pada dinding tong tersebut. Ia tetap bergeming walau badannya aku goyang. Mungkin ia masih lelah dan butuh tidur panjang.

Aku menarik tangan kanan Ibu, menggunakannya sebagai sendok dan menyuapkan makanan itu ke mulutku. Aku selalu ingin disuap dengan tangan itu. Tangan kanan Ibu masih terasa sama. Manis. Aku terus makan hingga habis. Kulihat Ibu tersenyum.

Kupikir, tak ada tempat sebaik tong sampah. Makanan yang berlimpah dan tempat yang bisa melindungi kami dari dingin. Apalagi, ketika teringat panggilan kesayangan para mata singa pada Ibu, rasanya seperti pulang ke rumah. Tapi, tidak setiap hari makanan itu ada dan tong sampah yang kami ditinggali mampu menahan kesah. Bila sudah begini, aku akan menggendong Ibu dan membawanya ke tong sampah lain. Tapi aku tak akan pernah singgah pada tempat yang bertuliskan Anjing. Ibu sudah tak memanggilku seperti itu sekarang. Ibu sudah menganggapku anaknya seorang.

Menurutku, rumah hanyalah tempat di mana kenyang dan kesah tertumpah. Dan, rumah tak harus satu. Pulang mengajarkanku hanya pada seorang. Ibu adalah tempat aku pulang dan ia damai dalam punggungku sekarang. Aku terus berjalan dan berjalan. Dari satu gang ke gang lain. Dari satu rumah ke rumah lain.

Pontianak, Mei-November 2014