“Aku memang dihormati. Pada hari ini, setiap
tahun mereka selalu menjunjung aku. Tinggi, tinggi sekali. Tentu dengan
bantuanmu. Bahkan, tak jarang mereka membawaku ke tempat paling dalam.
Penghormatan padaku, kata mereka.”
“Lalu, kenapa kau tampak muram? Bukankah ini
yang selalu diinginkan banyak orang? Bahkan sejak sebelum kau ada.”
“Dulu, ketika Ibu Fatmawati menjahit aku. Aku
merasakan cinta, haru dan bangga disaat yang sama. Tiap benang yang menyatukan
aku terasa begitu dalam, benang-benang dari tetesan keringat, darah yang
tumpah, tangis yang pecah. Mengikat kuat seperti tekat para pejuang,
membebaskan tanah tempat kau berpijak sekarang. Dulu, ketika pertama kali aku
dikibarkan. Aku melihat wajah-wajah pemimpin sumringah, suara bahagia rakyat
terjajah, sorak-sorai kemenangan bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia yang aku
wakili bersama teriak, “MERDEKA!!”. Hatiku bergetar kawan, getar yang berbeda dengan
sekarang. Dulu tangisku bangga, kini tangisku duka. Benar kata Soekarno,
perjuangan mereka akan lebih berat karena mereka melawan bangsanya sendiri.”
“Mereka butuh waktu teman, tidak mudah untuk
menjadi satu di antara segala perbedaan.”
“Kita tidak perlu menjadi satu, kita
diciptakan berbeda agar kita saling mengenal, saling menghargai, bertoleransi.
Keberagaman itu warisan, kita cukup bersatu bukan menjadi satu. Biarkan kita
tetap kaya dengan warisan, atau hancur atas nama perbedaan.”
“Hmmm..kau benar teman. Sudah lama aku berdiri
di tanah yang katanya surga ini, surganya Tuhan segala manusia. Ketuhanan Yang
Maha Esa. Kemudian atas nama Tuhan mereka saling membunuh. Mungkin mereka lupa
arti “ketuhanan” sesungguhnya.”
“Aku memang tidak pernah berdiri langsung di
tanah ini. Jika bukan atas bantuanmu aku tidak mungkin bisa melihat mereka.
Rakyat Indonesia telah merdeka, merdeka dari bangsa lain, kemudian dijajah
bangsanya sendiri.”
Sang saka Merah Putih berkibar di depan ratusan ribu pasang mata rakyatnya, berpegang
pada tiang bercat putih ia memandang jauh keseluruh pelosok negeri. Kemerdekaan
yang mati suri.