Langkahnya
gontai. Setiap jejakan kakinya terangkat malas. Debur ombak yang menggulung,
cahaya senja yang menjingga, tetap tak mampu mengalihkan pandangannya dari
bulir-bulir pasir tempatnya berpijak. Telinganya seperti tersumpal kata-kata
lelaki itu. Kata manis janji mereka di sini. Di atasku. Matanya pun seakan buta
kenyataan. Hanya kenangan yang mampu ia lihat, bersama harapan-harapan yang
terlanjur tenggelam di sini. Di tepi bibirku.
“Di
sini, kita pernah ada,” ucapnya lirih. Air matanya menetes. Turun begitu saja
tanpa aba-aba. Bening. Tak banyak. Hanya beberapa. Kau tahu kenapa aku bisa
menghitungnya? Karena air mata itu menjelma mutiara, masuk ke dalam aku.
Ia
berhenti. Dibenamkannya kaki jenjang itu lebih dalam lagi. Ombak yang datang
silih berganti dipersilahkannya mampir, tak ada satupun yang ia usir, atau
membuatnya beranjak dari bibir. Pandangannya ia lempar ke lautan. Jauh. Seperti
ingin mencari ujung, ke mana matahari pulang, bersama segala lelah, dan juga
resah yang telah lama ia tampung.
Tubuhnya
kaku. Dingin. Entah karena angin, atau karena ingatan-ingatan masa lalu yang ia
gali sendiri, disertai ingin-ingin yang ditanamnya pada mungkin. Aku hanya
mampu memeluknya sebatas mata kaki. Pun dengan pelukan itu, aku merasa tak
mampu menghangatkannya, apalagi menelan gundahnya.
Senja
itu, nyiur berkata padaku, “tetaplah begitu, bantu ia, jika kau menyayanginya.”
Aku mengangguk. Makin aku eratkan pelukku pada telapaknya. Berharap dengan itu,
ia tak goyah, tetap mampu berdiri tegak, tak terbawa hanyut gulungan ombak
bersama janji manis lelaki itu.
Jingga
cakrawala menghilang, berganti gelap yang kian temaram. Tak ada satupun bintang
yang menghadiri upacara kesedihannya petang ini. Bulan, raja malam, pemangku
tahta matahari, mulai menampakkan diri. Penuh. Purnama. Tak ada kecanggungan
yang ia tampakkan, bahkan, dibawanya serta ombak pasang yang meninggi.
Wanita
dipelukanku tak gentar. Aku bingung. Semua orang sudah meninggalkanku sedari
tadi. Hanya dia yang masih bertahan di sini. Aku tak mampu berbuat banyak. Memeluk
kakinya lebih erat dan semakin erat disetiap detik, hanya itu yang aku bisa.
Entah darimana ia mendapatkan keberanian semacam ini. Alam ia tantang,
sementara melawan kenangan saja ia tumbang. Aku mulai berpikir, kedatangannya
tidak sekedar untuk mengenang. Dengan sorot mata tanpa fokus, air wajah putus
asa, dan simpul bibir yang gemetar, aku tebak, dia datang untuk sebuah
pemakaman.
***
Namanya
Naya. Aku tahu karena ia pernah menuliskannya padaku. Dengan jemarinya yang
halus, meliuk-liuk senang di punggung bibirku. Ia memang seperti wanita
kebanyakan. Datang bersama seseorang, bermain air, tertawa, mengejar ombak,
kemudian berlari balik karena dikejar. Ada satu nama lagi yang ia tulis, Pandita.
Mereka adalah dua sejoli yang sedang memeluk cinta, menjadikan aku saksi bisunya.
Aku
pertama kali memperhatikannya di akhir Januari. Entah itu kunjungan ia yang
keberapa. Terlalu banyak orang yang datang. Sebenarnya, aku selalu sulit
mengingat seseorang, mungkin karena usiaku yang tua, atau karena memang bagiku,
mereka yang datang ke mari hanya ingin sekedar mampir, untuk kemudian kembali pergi.
Mungkin, ada kenangan yang tertinggal di kepala mereka, dan seringnya, nestapa
yang mereka tinggalkan padaku.
Nestapa-nestapa
itu tidak lebih adalah buah dari kecerdasan mereka sendiri. Hal-hal remeh yang
mereka gelari kepraktisan. Kau pasti mengenalnya, nestapa itu bernama sampah.
Derita yang aku tanggung, walau mereka (dan mungkin juga kau) pernah ingin
menguranginya dengan mengucap sumpah.
Memang,
tak semua orang yang mengunjungiku begitu. Ada beberapa di antara mereka yang
tidak hanya meninggalkanku dengan kenangan di kepalanya, tapi juga ingatan di
kepalaku. Contohnya Naya. Wanita itu memiliki sepasang mata yang enak
dipandang. Matamu pasti ingin tenggelam di dalamnya, meski kau sedang berdiri
di depan lautan. Bibirnya, seperti kulit roti tawar yang kau nikmati tiap pagi.
Jika kau melihat senyumnya, kau akan tersadar, Tuhan Maha Pintar menunjukkan
keindahan. Belum lagi ketika angin melintas di helai-helai rambutnya yang
tergerai, sesaat, kakimu akan memaku tanah, mengakar dan enggan berpindah.
Tidak
hanya itu, ia tak pernah meninggalku bersama nestapa. Bahkan, ketika ia berjalan
dengan tangan saling berpegang berdua lelaki itu di tepi bibirku, dilepaskannya
genggamannya dan memindahkan segala nestapa menjauh dariku.
Di
akhir Januari itu, hatiku jatuh pada telapaknya yang lembut. Dengan tawanya
yang renyah, ia menulikan riuh lain di sekitar. Meski, hari itu ia tidak
sendiri. Berdua dengan kekasihnya yang menurutku, tak lebih baik dari aku. Aku
mampu memberinya senang pula tenang sama seperti lelaki itu, tentu dia (dan
juga kau) bisa melihatnya dari berapa banyak orang yang datang padaku. Aku pun
bisa mencintainya dengan tulus, seperti apa yang aku lakukan sekarang.
Jika
saja aku ini layaknya kau, aku pasti hanya bisa menahan pedih, saat menikmati
seseorang yang aku sayangi, berduaduaan dengan orang lain. Dan, untungnya, aku
adalah pantai. Aku tetap bisa memeluknya dengan butir pasirku, tanpa atau
dengan inginnya.
Mungkin
kau berpikir aku bodoh, mencintainya hanya karena hal sepele. Tapi, mau
bagaimana lagi, itulah yang aku rasakan kini. Mungkin saja, aksaraku yang tak
pandai menggambarkan tiap senti ingatan di kepala yang membuat hatiku jatuh
padanya. Atau mungkin, kata-kata, memang tak pernah bisa mewakili rasa yang
ada.
Kau
tahu, terkadang, cinta hadir dari hal-hal sederhana. Dan yang seringkali
menjadikannya rumit adalah, keadaan. Begitu pulalah kini. Aku mencintainya,
tapi karena aku tidak seperti ia, maka rumitlah kisahku. Andai saja Tuhan
memberikan aku kesempatan, untuk dalam satu malam saja dapat berubah menjadi
manusia tentu aku akan menerimanya. Paling tidak, untuk melakukan satu hal.
Mengatakan bahwa aku mencintainya.
Aku
bukanlah pantai yang pengecut. Bila menyatakan cinta saja aku tak bisa, mana
mungkin debur ombak ini mampu aku hadapi dengan tenang. Orang-orang mungkin
menganggap karanglah pawang paling kuat penakluk ombak. Tetap berdiri kokoh di
tengah amukan gulungan kekuatan Poseidon. Tapi, tidakkah kau lihat, ombak mana
yang datang padaku tanpa sanggup aku damaikan?
Mengenai
Poseidon, aku mendengar ceritanya dari angin laut yang bertiup di negerinya.
Angin laut itu singgah kemari karena tersesat saat terlambat pulang dan
tertabrak angin darat. Lidahku ingin menanyainya, apakah ia tidak pernah tahu
arah mata angin hingga bisa terpesong jauh sampai kemari, tapi aku urungkan
dengan pertimbangan perasaan. Dan dengan alasan perasaan pula, aku menceritakan
wanita itu padanya.
“Apa
kau gila?” Itu kalimat pertama yang ia katakan ketika pertama kali mendengar
ceritaku. Belum sempat aku melanjutkannya, dengan terburu ia memotong kata. “Tapi,
ini hal yang sebenarnya tidak begitu mencengangkan, di salah satu negeri yang
pernah aku lewati, seorang anak manusia malah menikah dengan anjing. Dan, itu
merupakan tradisi bagi sebagian anak gadisnya yang entah karena apa. Pun di
tempatku berasal, dikisahkan banyak dewa yang akhirnya turun ke bumi mencari
istri.”
Waktu
itu, aku menimpali penjelasannya dengan sebuah pertanyaan, “jadi kau percaya
dewa?” Entah aku benar-benar butuh jawaban atau hanya sebuah penguatan.
“Negerimu tak punya dewa?” justru ia balik bertanya. Aku diam sejenak, tak
langsung menjawab. Setahuku, di sini ada banyak sekali dewa, bahkan manusia,
juga makhluk gaib pun seringkali didewakan.
“Aku
lebih percaya Tuhan” jawabku tegas.
“Kalau
begitu, mintalah pada Tuhanmu untuk membantumu mendapatkannya.”
Mendengar
perkataannya, membuat aku ingin mengembalikan pertanyaannya di awal, “apa kau
gila?” tapi aku urungkan karena aku tahu, tak ada kemustahilan bagi-Nya.
***
Di
remang yang kian susut ini, ombak makin meninggi. Tak mundur kakinya barang
sesenti. Aku hilang akal, apa yang harus aku lakukan agar ia kembali ke
daratan. Ini adalah kali kesekian aku merasa gusar. Jika dulu gusarku datang
karena menunggu kehadiran, maka kini gusarku singgah karena ketidakberdayaan.
Kau tahu, ketika kau dihadapkan pada satu kenyataan, bahwa apa yang biasa
dengan mudah mampu kau atasi menjadi sesuatu yang begitu sulit, maka akan
tumbuh sebatang pohon dengan banyak cabang yang berbuah kebuntuan mengatakan, “tajimu
telah tumpul.”
Ombak
ini tak mampu aku damaikan, deburannya kian lahap menerjang bibirku, membawa
wanitaku perlahan maju, seperti ditarik ke dalam lautan. Aku tak mungkin
membiarkannya, melepas telapak halus ini pergi bersama janji manis yang juga
pernah tenggelam di sini. Tentu aku tak ingin kehilangan dia, meskipun aku
belum memilikinya. Kehilangan apa yang bukan milik kita, adalah sesakitsakitnya
patah hati.
Kali
ini, aku benar-benar berharap kebenaran cerita angin laut. Keajaiban (atau
mungkin keanehan) yang terjadi di belahan lain bumi, bisa bertambah satu di
sini.
Pelukku
aku kencangkan, hingga terasa benar aliran darah pada telapak wanita itu
semakin menghilang. Angin bertiup perlahan, membuat parau napasnya mendayu
masuk dan terjebak dalam batinku. Entah bagaimana kemudian dentuman ombak itu
mendadak bisu, tapi tetap bersemangat menarik wanitaku pulang bersamanya.
Kakinya mulai bergetar, seperti mesin cuci tua yang dipaksakan bekerja.
Bergerak maju. Makin dalam hingga pinggangnya tak tampak. Aku sudah tak sanggup
menahannya, butir-butirku lelah merekat erat di telapaknya. Tapi hatiku tetap
bersikukuh tak ingin kehilangan wanitaku, maka dengan terpaksa aku melakukannya.
Lautan
perlahan tenang, layaknya jalan pedesaan di tengah malam. Gulungan ombak menghampiriku
pelan. Damai. Tidak seperti yang baru saja. Sejatinya kami adalah sahabat yang
bermusuh dengan baik. Hanya, untuk kali ini ia terlalu tamak. Setelah
permintaanku kemarin, kini ia juga menginginkan wanitaku. Dan, karena aku tahu
aku akan kalah, mau tidak mau, aku yang melakukannya: melahap wanitaku, masuk
ke dalam aku. Kau tahu, ia adalah wanita pertama yang akhirnya tinggal di dalam
aku. Dan, korban kedua dari kisah cintaku, setelah lelaki itu. **
Februari, 2014
Two thumb up.. ini keren !
ReplyDelete140515; 10:06 AM
ReplyDelete