Thursday, 20 February 2014

Kisah Pantai yang Mencinta

Standard
 

Langkahnya gontai. Setiap jejakan kakinya terangkat malas. Debur ombak yang menggulung, cahaya senja yang menjingga, tetap tak mampu mengalihkan pandangannya dari bulir-bulir pasir tempatnya berpijak. Telinganya seperti tersumpal kata-kata lelaki itu. Kata manis janji mereka di sini. Di atasku. Matanya pun seakan buta kenyataan. Hanya kenangan yang mampu ia lihat, bersama harapan-harapan yang terlanjur tenggelam di sini. Di tepi bibirku.

“Di sini, kita pernah ada,” ucapnya lirih. Air matanya menetes. Turun begitu saja tanpa aba-aba. Bening. Tak banyak. Hanya beberapa. Kau tahu kenapa aku bisa menghitungnya? Karena air mata itu menjelma mutiara, masuk ke dalam aku.

Ia berhenti. Dibenamkannya kaki jenjang itu lebih dalam lagi. Ombak yang datang silih berganti dipersilahkannya mampir, tak ada satupun yang ia usir, atau membuatnya beranjak dari bibir. Pandangannya ia lempar ke lautan. Jauh. Seperti ingin mencari ujung, ke mana matahari pulang, bersama segala lelah, dan juga resah yang telah lama ia tampung.

Tubuhnya kaku. Dingin. Entah karena angin, atau karena ingatan-ingatan masa lalu yang ia gali sendiri, disertai ingin-ingin yang ditanamnya pada mungkin. Aku hanya mampu memeluknya sebatas mata kaki. Pun dengan pelukan itu, aku merasa tak mampu menghangatkannya, apalagi menelan gundahnya.

Senja itu, nyiur berkata padaku, “tetaplah begitu, bantu ia, jika kau menyayanginya.” Aku mengangguk. Makin aku eratkan pelukku pada telapaknya. Berharap dengan itu, ia tak goyah, tetap mampu berdiri tegak, tak terbawa hanyut gulungan ombak bersama janji manis lelaki itu.

Jingga cakrawala menghilang, berganti gelap yang kian temaram. Tak ada satupun bintang yang menghadiri upacara kesedihannya petang ini. Bulan, raja malam, pemangku tahta matahari, mulai menampakkan diri. Penuh. Purnama. Tak ada kecanggungan yang ia tampakkan, bahkan, dibawanya serta ombak pasang yang meninggi.

Wanita dipelukanku tak gentar. Aku bingung. Semua orang sudah meninggalkanku sedari tadi. Hanya dia yang masih bertahan di sini. Aku tak mampu berbuat banyak. Memeluk kakinya lebih erat dan semakin erat disetiap detik, hanya itu yang aku bisa. Entah darimana ia mendapatkan keberanian semacam ini. Alam ia tantang, sementara melawan kenangan saja ia tumbang. Aku mulai berpikir, kedatangannya tidak sekedar untuk mengenang. Dengan sorot mata tanpa fokus, air wajah putus asa, dan simpul bibir yang gemetar, aku tebak, dia datang untuk sebuah pemakaman.

***

Namanya Naya. Aku tahu karena ia pernah menuliskannya padaku. Dengan jemarinya yang halus, meliuk-liuk senang di punggung bibirku. Ia memang seperti wanita kebanyakan. Datang bersama seseorang, bermain air, tertawa, mengejar ombak, kemudian berlari balik karena dikejar. Ada satu nama lagi yang ia tulis, Pandita. Mereka adalah dua sejoli yang sedang memeluk cinta, menjadikan aku saksi bisunya.

Aku pertama kali memperhatikannya di akhir Januari. Entah itu kunjungan ia yang keberapa. Terlalu banyak orang yang datang. Sebenarnya, aku selalu sulit mengingat seseorang, mungkin karena usiaku yang tua, atau karena memang bagiku, mereka yang datang ke mari hanya ingin sekedar mampir, untuk kemudian kembali pergi. Mungkin, ada kenangan yang tertinggal di kepala mereka, dan seringnya, nestapa yang mereka tinggalkan padaku.

Nestapa-nestapa itu tidak lebih adalah buah dari kecerdasan mereka sendiri. Hal-hal remeh yang mereka gelari kepraktisan. Kau pasti mengenalnya, nestapa itu bernama sampah. Derita yang aku tanggung, walau mereka (dan mungkin juga kau) pernah ingin menguranginya dengan mengucap sumpah.

Memang, tak semua orang yang mengunjungiku begitu. Ada beberapa di antara mereka yang tidak hanya meninggalkanku dengan kenangan di kepalanya, tapi juga ingatan di kepalaku. Contohnya Naya. Wanita itu memiliki sepasang mata yang enak dipandang. Matamu pasti ingin tenggelam di dalamnya, meski kau sedang berdiri di depan lautan. Bibirnya, seperti kulit roti tawar yang kau nikmati tiap pagi. Jika kau melihat senyumnya, kau akan tersadar, Tuhan Maha Pintar menunjukkan keindahan. Belum lagi ketika angin melintas di helai-helai rambutnya yang tergerai, sesaat, kakimu akan memaku tanah, mengakar dan enggan berpindah.

Tidak hanya itu, ia tak pernah meninggalku bersama nestapa. Bahkan, ketika ia berjalan dengan tangan saling berpegang berdua lelaki itu di tepi bibirku, dilepaskannya genggamannya dan memindahkan segala nestapa menjauh dariku.

Di akhir Januari itu, hatiku jatuh pada telapaknya yang lembut. Dengan tawanya yang renyah, ia menulikan riuh lain di sekitar. Meski, hari itu ia tidak sendiri. Berdua dengan kekasihnya yang menurutku, tak lebih baik dari aku. Aku mampu memberinya senang pula tenang sama seperti lelaki itu, tentu dia (dan juga kau) bisa melihatnya dari berapa banyak orang yang datang padaku. Aku pun bisa mencintainya dengan tulus, seperti apa yang aku lakukan sekarang.

Jika saja aku ini layaknya kau, aku pasti hanya bisa menahan pedih, saat menikmati seseorang yang aku sayangi, berduaduaan dengan orang lain. Dan, untungnya, aku adalah pantai. Aku tetap bisa memeluknya dengan butir pasirku, tanpa atau dengan inginnya.

Mungkin kau berpikir aku bodoh, mencintainya hanya karena hal sepele. Tapi, mau bagaimana lagi, itulah yang aku rasakan kini. Mungkin saja, aksaraku yang tak pandai menggambarkan tiap senti ingatan di kepala yang membuat hatiku jatuh padanya. Atau mungkin, kata-kata, memang tak pernah bisa mewakili rasa yang ada.

Kau tahu, terkadang, cinta hadir dari hal-hal sederhana. Dan yang seringkali menjadikannya rumit adalah, keadaan. Begitu pulalah kini. Aku mencintainya, tapi karena aku tidak seperti ia, maka rumitlah kisahku. Andai saja Tuhan memberikan aku kesempatan, untuk dalam satu malam saja dapat berubah menjadi manusia tentu aku akan menerimanya. Paling tidak, untuk melakukan satu hal. Mengatakan bahwa aku mencintainya.

Aku bukanlah pantai yang pengecut. Bila menyatakan cinta saja aku tak bisa, mana mungkin debur ombak ini mampu aku hadapi dengan tenang. Orang-orang mungkin menganggap karanglah pawang paling kuat penakluk ombak. Tetap berdiri kokoh di tengah amukan gulungan kekuatan Poseidon. Tapi, tidakkah kau lihat, ombak mana yang datang padaku tanpa sanggup aku damaikan?

Mengenai Poseidon, aku mendengar ceritanya dari angin laut yang bertiup di negerinya. Angin laut itu singgah kemari karena tersesat saat terlambat pulang dan tertabrak angin darat. Lidahku ingin menanyainya, apakah ia tidak pernah tahu arah mata angin hingga bisa terpesong jauh sampai kemari, tapi aku urungkan dengan pertimbangan perasaan. Dan dengan alasan perasaan pula, aku menceritakan wanita itu padanya.

“Apa kau gila?” Itu kalimat pertama yang ia katakan ketika pertama kali mendengar ceritaku. Belum sempat aku melanjutkannya, dengan terburu ia memotong kata. “Tapi, ini hal yang sebenarnya tidak begitu mencengangkan, di salah satu negeri yang pernah aku lewati, seorang anak manusia malah menikah dengan anjing. Dan, itu merupakan tradisi bagi sebagian anak gadisnya yang entah karena apa. Pun di tempatku berasal, dikisahkan banyak dewa yang akhirnya turun ke bumi mencari istri.”

Waktu itu, aku menimpali penjelasannya dengan sebuah pertanyaan, “jadi kau percaya dewa?” Entah aku benar-benar butuh jawaban atau hanya sebuah penguatan. “Negerimu tak punya dewa?” justru ia balik bertanya. Aku diam sejenak, tak langsung menjawab. Setahuku, di sini ada banyak sekali dewa, bahkan manusia, juga makhluk gaib pun seringkali didewakan.

“Aku lebih percaya Tuhan” jawabku tegas.

“Kalau begitu, mintalah pada Tuhanmu untuk membantumu mendapatkannya.”

Mendengar perkataannya, membuat aku ingin mengembalikan pertanyaannya di awal, “apa kau gila?” tapi aku urungkan karena aku tahu, tak ada kemustahilan bagi-Nya.

***

Di remang yang kian susut ini, ombak makin meninggi. Tak mundur kakinya barang sesenti. Aku hilang akal, apa yang harus aku lakukan agar ia kembali ke daratan. Ini adalah kali kesekian aku merasa gusar. Jika dulu gusarku datang karena menunggu kehadiran, maka kini gusarku singgah karena ketidakberdayaan. Kau tahu, ketika kau dihadapkan pada satu kenyataan, bahwa apa yang biasa dengan mudah mampu kau atasi menjadi sesuatu yang begitu sulit, maka akan tumbuh sebatang pohon dengan banyak cabang yang berbuah kebuntuan mengatakan, “tajimu telah tumpul.”

Ombak ini tak mampu aku damaikan, deburannya kian lahap menerjang bibirku, membawa wanitaku perlahan maju, seperti ditarik ke dalam lautan. Aku tak mungkin membiarkannya, melepas telapak halus ini pergi bersama janji manis yang juga pernah tenggelam di sini. Tentu aku tak ingin kehilangan dia, meskipun aku belum memilikinya. Kehilangan apa yang bukan milik kita, adalah sesakitsakitnya patah hati.

Kali ini, aku benar-benar berharap kebenaran cerita angin laut. Keajaiban (atau mungkin keanehan) yang terjadi di belahan lain bumi, bisa bertambah satu di sini.

Pelukku aku kencangkan, hingga terasa benar aliran darah pada telapak wanita itu semakin menghilang. Angin bertiup perlahan, membuat parau napasnya mendayu masuk dan terjebak dalam batinku. Entah bagaimana kemudian dentuman ombak itu mendadak bisu, tapi tetap bersemangat menarik wanitaku pulang bersamanya. Kakinya mulai bergetar, seperti mesin cuci tua yang dipaksakan bekerja. Bergerak maju. Makin dalam hingga pinggangnya tak tampak. Aku sudah tak sanggup menahannya, butir-butirku lelah merekat erat di telapaknya. Tapi hatiku tetap bersikukuh tak ingin kehilangan wanitaku, maka dengan terpaksa aku melakukannya.

Lautan perlahan tenang, layaknya jalan pedesaan di tengah malam. Gulungan ombak menghampiriku pelan. Damai. Tidak seperti yang baru saja. Sejatinya kami adalah sahabat yang bermusuh dengan baik. Hanya, untuk kali ini ia terlalu tamak. Setelah permintaanku kemarin, kini ia juga menginginkan wanitaku. Dan, karena aku tahu aku akan kalah, mau tidak mau, aku yang melakukannya: melahap wanitaku, masuk ke dalam aku. Kau tahu, ia adalah wanita pertama yang akhirnya tinggal di dalam aku. Dan, korban kedua dari kisah cintaku, setelah lelaki itu. **



Februari, 2014

2 comments: