Wednesday, 25 December 2013

Aruna

Standard

1.
Tong di matanya kembali pecah. Air suci jatuh membanjiri sudut mata Aruna. Mata yang kini mematung, menatap jasad suaminya diangkat menuju liang lahat. Di sampingnya, Rama mencoba menenangkan Aruna sambil memandang sekitar. Wajah-wajah penuh kesedihan peninggalan mendiang. Di dalam hati mereka hujan turun, sementara di hati Rama dan Aruna pelangi baru saja lahir. 

2.
Malam pertama setelah pemakaman.
Di luar, keluarga besar Aruna masih berkumpul. Memanjatkan doa dan tahlil untuk mendiang suami Aruna. Di kamar, Aruna duduk menghadap kaca meja rias sambil melepaskan kerudung merah yang menutupi kepalanya. Ya, merah. Bukan hitam seperti pakaian orang berkabung kebanyakan. Merah adalah warna kesukaannya. Sesuai arti namanya dalam bahasa sansekerta. Rambut panjang Aruna kini terurai. Hitam bergelombang. Seperti saat mata menatap jauh aspal baru daerah perbukitan. Mahkota di kepalanya itu kemudian ia sisir. Perlahan. Penuh kehati-hatian.
Aruna memalingkan wajah, kemudian menjatuhkannya kembali ke tempat tidur. Tempat tidur besar yang sebagian ditutupi selimut bermotif zebra. Dengan dua buah bantal dan satu guling bermotif sama. Lalu tersenyum lega.

3.
Hari kedua setelah pemakaman.
Aruna baru saja melewati malam perdananya menjanda. Sendiri di kamar tidur sebesar ruang tamu rumah tipe 60. Satria Birama, mendiang suaminya adalah seorang pengusaha kaya. Anak pertama dari dua bersaudara yang sudah tidak memiliki orang tua itu bergerak di bisnis properti dan telah memiliki beberapa anak perusahaan di kota berkembang sebagian provinsi. Pertemuan pertama mereka pun tidak jauh dari urusan bisnis ini. Dulu, Aruna adalah sekretaris salah satu rekan bisnis Satria. Meeting yang seringkali harus mempertemukan mereka, membuat Satria jatuh hati pada Aruna. Gadis berambut panjang yang sangat suka memadukan pakaiannya dengan warna merah. Ya, dulu Aruna tidak mengenakan kerudung. Kerudung mulai lekat pada diri Aruna semenjak pernikahannya dengan Satria, tiga tahun empat hari lalu.
Setelah mandi dan berganti pakaian, Aruna berjalan menuju meja rias sambil mengeringkan rambut panjangnya dengan handuk. Tiba-tiba, langkah Aruna terhenti, tepat dua meter di depan tujuannya. Aruna terdiam. Bergidik. Kemudian memandang sekeliling. Ia melangkah ragu menuju meja rias. Di hadapannya, tergeletak setangkai mawar merah dan sebuah tulisan berwarna serupa di bawahnya. PEMBUNUH!

4.
Hari ketiga setelah pemakaman.
Mata Aruna membengkak. Semalaman indranya itu tak bisa terpejam. Yang bisa ia lakukan hanya duduk berselimut di tempat tidur. Seluruh tubuhnya dipenuhi ketakutan. Bahkan seekor nyamuk pun tak berani menggigit tubuh putih mulus Aruna. Badannya pucat, darah dalam dirinya seakan hilang. Berganti kegamangan. Kemarin sore, ia sudah menghubungi Rama, bercerita kejadian kemarin pagi dan meminta Rama untuk menemaninya malam ini. Tapi apa mau dikata, mantan bosnya itu baru saja tiba di luar kota, mengurusi bisnisnya.
Aruna memberanikan diri menuju kamar mandi. Kemihnya sudah tak tahan menahan kencing semalaman. Celananya ia pelorotkan, lalu menduduki closet. Tak lama, tergambar lega pada parasnya. Kemudian kembali takut. Was-was pada sekitar. Selesai melepas sisa-sisa metabolismenya, Aruna segera menekan tombol flush. Seketika cairan berwarna merah memenuhi kloset. Pekat dan anyir. Darah.

5.
Hari pertama, kedua, dan ketiga setelah pemakaman.
Setiap malam, semua keluarga dan tetangga berkumpul. Membaca yasin, mengumandangkan tahlil. Aruna tetap di dalam kamar. Tidak keluar. Bukannya tidak kemana-mana. Kamar Aruna cukup luas untuk dapat kemana-mana. Bila tiba waktu makan, terpaksa harus diantarkan sampai ke depan pintu kamar, kemudian diambilnya sendiri setelah sepi. Mereka semua khawatir. Terkadang, terdengar suara barang dibanting. Sudah sering membujuk, namun tidak juga membuahkan hasil. Mereka takut, jiwa Aruna terguncang akibat kematian suaminya.

6.
Hari keempat setelah pemakaman.
Aruna kembali menghubungi Rama. Memintanya hadir malam ini. Menemani rasa takutnya yang menjadi-jadi.
“Darah Rama, darah! Aku yakin itu darah. Entah apa lagi yang akan muncul hari ini. Pulanglah, temani aku malam ini saja. Mana janji yang kau ucapkan dulu? Aku sudah melakukan semua ini untukmu. Untuk kita!”
Aruna membanting handphone-nya. Berderai. Berantakan. Ia hendak berteriak, tapi takut terdengar ke luar. Batinnya sesak. Rambut panjangnya yang bergelombang, tidak luput dari pelampiasan. Dijambaknya sendiri. Acak-acakan. Kepalanya ia benturkan ke dinding. Berulang-ulang. Jarinya menggaruk-garuk lengan. Kuat. Berdarah. Depresi. Ia menangis. Sesenggukan. Tertahan. Terpejam. Ia lelah ketakutan.

7.
Dua hari menjelang pemakaman.
Hari ini hari spesial. Tepat tiga tahun ulang tahun pernikahan Aruna dan Satria. Malam nanti, Aruna merencanakan makan malam dengan suaminya. Di rumah, dengan makanan kesukaan Satria, masakan dirinya.

8.
30 menit menjelang makan malam.
Aruna berjalan menuju dapur untuk mengambil makanan sambil menggenggam mawar merah yang baru saja diberikan suaminya sebagai hadiah. Sebelum mambawa makanan itu ke meja makan, ia menuangkan cairan dari dalam botol. Di sudut dapur, seseorang memperhatikan Aruna. Singgih, adik Satria, seorang difabel.

9.
Satu hari sebelum makan malam.
“Ayolah! Lakukan saja. Kau yang bilang, ini tidak akan berlangsung lama. Sudah hampir tiga tahun Aruna. Tiga tahun! Aku membiarkan kalian. Ini. Pakai ini. Setelah ini aku tidak akan melepasmu lagi, dari pelukku”, kata Rama sambil memberikan sebuah botol kecil kepada Aruna.

3 comments: