Tuesday, 3 June 2014

Pelukis Rindu

Standard
versi dialog:

Sebuah kanvas terbentang, bersama kuas dan cat lukis yang tersusun rapi di hadapannya. Secangkir kopi pun ikut bersanding dengan warna-warni cat yang  menyemarakkan mata. Setelah menentukan titik fokus, ia mulai menggoreskan kuasnya. Membentuk garis-garis yang tak dihubungkannya secara langsung. Air wajahnya tenang, meski dalam hatinya, ombak mengamuk.

“Kau harus jadi seperti aku.”

“Aku tak suka tentara.”

“Lelaki itu harus punya senjata.”

“Kuas ini senjataku.”

Percakapan itu kembali terlintas. Menggambar wajah ayahnya yang merah membara di kepalanya. Matanya ia pejamkan. Melukis di hari ini selalu jadi hal berat baginya.

“Sudahlah, Nak. Ikuti apa kata ayahmu,” suara lembut ibunya kembali mengalun di telinga. Entah siapa yang memutarkan. “Ini semua untuk kebaikanmu.”

Ia tengah mengemasi pakaian dan alat lukisnya saat itu. Batinnya sudah tidak tahan lagi mendengar keegoisan ayahnya. Tentara, dan hanya tentara yang diucapkan, seakan tak ada hal lain yang lebih dari itu. Padahal, bakat melukisnya telah diasah ibunya sejak kecil. Karya-karyanya pun seringkali membawanya menjadi juara lomba, dan ada beberapa yang bertengger sebagai tamu di pameran pelukis kenamaan. Entah setan apa yang merasuki kepala ayahnya, hingga prajurit menjadi harga mati bagi anak semata wayangnya.

Garis-garis itu membentuk sebuah rumah. Dengan dua buah kursi pada berandanya. Tiba-tiba gerakan tangannya terhenti. Ia menghela napas panjang. Hari ini, hari ulang tahun ibunya yang kembali hanya bisa ia ratapi. Dulu, setiap kali ibunya berulang tahun, ia menjadi orang pertama yang memeluk ibunya. Bahkan sebelum ayahnya ingat, di hari itu, satu-satunya wanita di rumah Pak Mayor yang terhormat tengah bertambah usia.


Ia kembali menatap lukisannya. Belum selesai memang. Baru sketsa yang menunggu diberi sentuhan keajaiban. Satu garis ia goreskan. Dua garis. Tiga garis. Tangannya kembali diam. Masih dengan pandangan lurus ke depan, air matanya menetes. Kerinduan akan ibunya memuncak. Ia terisak sambil melanjutkan goresannya. Bukan gambar yang ia lukiskan, melainkan sebuah tulisan; IBU, AKU INGIN PULANG.*


versi narasi:

Sebuah kanvas terbentang di hadapannya. Kuas dan cat lukis berbagai warna duduk manis di atas meja kayu jati di sampingnya. Secangkir kopi pun bersanding dengan warna-warni cat menyemarakkan mata. Setelah menentukan titik fokus, ia mulai menggoreskan kuas. Membentuk garis-garis yang tak dihubungkannya secara langsung. Air wajahnya tenang, meski dalam hatinya, ombak mengamuk.

Sudah lima tahun ia menghuni rumah ini. Rumah dari hasil menjual lukisan yang kini juga dilengkapi dengan sebuah galeri seni di halaman depan. Ia tinggal seorang diri. Pelukis yang karyanya telah dibeli kolektor dari berbagai negara ini hanya memiliki satu teman sejati. Kopi. Temannya sedari pertama kali ia pergi ke kota ini. Pergi meninggalkan orangtuanya. Pergi meninggalkan pelukan ibunya. Pergi karena keegoisan ayahnya yang menginginkannya menjadi tentara seperti dirinya.

Garis-garis yang ia ciptakan di kanvas membentuk sebuah rumah. Rumah dengan dua buah kursi di berandanya. Tiba-tiba gerakan tangannya terhenti. Di sesapnya secangkir kopi, teman kepedihannya selama bertahun-tahun itu beberapa kali. Ia menghela napas panjang. Hari ini, hari ulang tahun ibunya yang kembali hanya bisa ia ratapi. Dulu, setiap kali ibunya berulang tahun. Ia menjadi orang pertama yang memeluk ibunya. Bahkan sebelum ayahnya ingat di hari itu, satu-satunya wanita di rumah Pak Mayor yang terhormat tengah bertambah usia.

Kopi di tangannya telah habis. Hanya ampas dan kenangan-kenangan akan ibunya yang masih tersisa. Ia menatap dalam lukisan yang sedang ia buat. Belum selesai memang. Baru garis-garis sketsa yang menunggu diberi sentuhan keajaiban. Ia mengambil kuasnya. Satu garis hitam ia goreskan. Dua garis. Tiga garis. Seketika tangannya kembali diam. Masih dengan pandangan lurus ke depan, air matanya menetes. Kerinduan akan ibunya memuncak. Ia terisak sambil melanjutkan goresan kuasnya. Bukan garis gambar yang ia lukiskan, melainkan sebuah tulisan; IBU, AKU INGIN PULANG.**

Tulisan ini dibuat dalam rangka tantangan @KampusFiksi #narasiVSdialog