versi dialog:
Sebuah
kanvas terbentang, bersama kuas dan cat lukis yang tersusun rapi di hadapannya.
Secangkir kopi pun ikut bersanding dengan warna-warni cat yang menyemarakkan mata. Setelah menentukan titik
fokus, ia mulai menggoreskan kuasnya. Membentuk garis-garis yang tak
dihubungkannya secara langsung. Air wajahnya tenang, meski dalam hatinya, ombak
mengamuk.
“Kau
harus jadi seperti aku.”
“Aku
tak suka tentara.”
“Lelaki
itu harus punya senjata.”
“Kuas
ini senjataku.”
Percakapan
itu kembali terlintas. Menggambar wajah ayahnya yang merah membara di kepalanya.
Matanya ia pejamkan. Melukis di hari ini selalu jadi hal berat baginya.
“Sudahlah,
Nak. Ikuti apa kata ayahmu,” suara lembut ibunya kembali mengalun di telinga.
Entah siapa yang memutarkan. “Ini semua untuk kebaikanmu.”
Ia
tengah mengemasi pakaian dan alat lukisnya saat itu. Batinnya sudah tidak tahan
lagi mendengar keegoisan ayahnya. Tentara, dan hanya tentara yang diucapkan,
seakan tak ada hal lain yang lebih dari itu. Padahal, bakat melukisnya telah
diasah ibunya sejak kecil. Karya-karyanya pun seringkali membawanya menjadi
juara lomba, dan ada beberapa yang bertengger sebagai tamu di pameran pelukis
kenamaan. Entah setan apa yang merasuki kepala ayahnya, hingga prajurit menjadi
harga mati bagi anak semata wayangnya.
Garis-garis
itu membentuk sebuah rumah. Dengan dua buah kursi pada berandanya. Tiba-tiba gerakan
tangannya terhenti. Ia menghela napas panjang. Hari ini, hari ulang tahun
ibunya yang kembali hanya bisa ia ratapi. Dulu, setiap kali ibunya berulang
tahun, ia menjadi orang pertama yang memeluk ibunya. Bahkan sebelum ayahnya
ingat, di hari itu, satu-satunya wanita di rumah Pak Mayor yang terhormat
tengah bertambah usia.
Ia
kembali menatap lukisannya. Belum selesai memang. Baru sketsa yang menunggu
diberi sentuhan keajaiban. Satu garis ia goreskan. Dua garis. Tiga garis. Tangannya
kembali diam. Masih dengan pandangan lurus ke depan, air matanya menetes.
Kerinduan akan ibunya memuncak. Ia terisak sambil melanjutkan goresannya. Bukan
gambar yang ia lukiskan, melainkan sebuah tulisan; IBU, AKU INGIN PULANG.*
versi narasi:
Sebuah
kanvas terbentang di hadapannya. Kuas dan cat lukis berbagai warna duduk manis
di atas meja kayu jati di sampingnya. Secangkir kopi pun bersanding dengan
warna-warni cat menyemarakkan mata. Setelah menentukan titik fokus, ia mulai
menggoreskan kuas. Membentuk garis-garis yang tak dihubungkannya secara
langsung. Air wajahnya tenang, meski dalam hatinya, ombak mengamuk.
Sudah
lima tahun ia menghuni rumah ini. Rumah dari hasil menjual lukisan yang kini juga
dilengkapi dengan sebuah galeri seni di halaman depan. Ia tinggal seorang diri.
Pelukis yang karyanya telah dibeli kolektor dari berbagai negara ini hanya
memiliki satu teman sejati. Kopi. Temannya sedari pertama kali ia pergi ke kota
ini. Pergi meninggalkan orangtuanya. Pergi meninggalkan pelukan ibunya. Pergi
karena keegoisan ayahnya yang menginginkannya menjadi tentara seperti dirinya.
Garis-garis
yang ia ciptakan di kanvas membentuk sebuah rumah. Rumah dengan dua buah kursi
di berandanya. Tiba-tiba gerakan tangannya terhenti. Di sesapnya secangkir kopi,
teman kepedihannya selama bertahun-tahun itu beberapa kali. Ia menghela napas
panjang. Hari ini, hari ulang tahun ibunya yang kembali hanya bisa ia ratapi.
Dulu, setiap kali ibunya berulang tahun. Ia menjadi orang pertama yang memeluk
ibunya. Bahkan sebelum ayahnya ingat di hari itu, satu-satunya wanita di rumah
Pak Mayor yang terhormat tengah bertambah usia.
Kopi
di tangannya telah habis. Hanya ampas dan kenangan-kenangan akan ibunya yang
masih tersisa. Ia menatap dalam lukisan yang sedang ia buat. Belum selesai
memang. Baru garis-garis sketsa yang menunggu diberi sentuhan keajaiban. Ia
mengambil kuasnya. Satu garis hitam ia goreskan. Dua garis. Tiga garis. Seketika
tangannya kembali diam. Masih dengan pandangan lurus ke depan, air matanya
menetes. Kerinduan akan ibunya memuncak. Ia terisak sambil melanjutkan goresan
kuasnya. Bukan garis gambar yang ia lukiskan, melainkan sebuah tulisan; IBU,
AKU INGIN PULANG.**
Tulisan ini dibuat dalam rangka tantangan @KampusFiksi #narasiVSdialog
150515; 12:23 PM
ReplyDelete