NET
Setelah tiga kali
bolak-balik sambil mengintip ke arahnya, aku mencoba berbuat nekat. Kesempatan
tidak pernah datang kedua kali, bukan? Aku pun melangkahkan kaki dengan cepat.
“Hey,” tegurku padanya. Ia mengangkat kepalanya,
memandangiku dengan bingung. Aku tetap mempertahankan senyuman di wajahku
seraya berkata, “Ini Alexa. Masih ingat nggak? Lupa ya?”
Pria di hadapanku ini memandangiku dengan ekspresi
bingung. Mungkin seharusnya aku tidak memiliki tingkat kepercayaan diri yang
tinggi sehingga melupakan kemungkinan bahwa ia tidak mengingatku
lagi.
Oh, C’mon brain,
think about something that we should say to break this awkward stupid moment. Aku benar-benar tidak menyukai ekspresi bingung yang
tercetak jelas di wajah rupawannya. Membuatku merasa dua kali lipat lebih malu dari
sebelumnya. Seolah menimbang-nimbang sesuatu, ia meletakan buku yang ia pegang
kembali pada raknya.
“Aku
punya ingatan yang cukup buruk,” katanya dengan ragu. Ia mengerutkan alis yang
melengkung sempurna membingkai mata hitamnya. Dulu aku pernah jatuh cinta
dengan mata hitam ini. Sepasang bola mata yang mampu menatapmu tajam, mampu
menghipnotismu dan membuatmu tenggelam di dalamnya.
Senyumku
yang awalnya memudar menjadi melengkung kembali mendengar suaranya. “Nggak apa-apa. Alexa? SMP 10?” kataku. “Ngg… yang pernah nembak abang waktu acara perpisahan. Remember?”
*****
Apa yang lebih menyenangkan dari
berkenalan dengan seorang wanita cantik tanpa harus menyodorkan tangan terlebih
dahulu? Jawabannya TIDAK ADA. Tanpa harus menabrak, kemudian membantunya
merapikan buku seperti dalam FTV yang biasa aku lihat. Kali ini, aku yang
pegang kendali.
Wajahnya
lucu. Wanita berjilbab orange dengan bola mata hitam sedikit cokelat. Hidung
mancungnya membuat pandanganku yang semula menatap indah kedua bola mata itu
terpeleset, menuju bibir tipisnya. Sapaannya mengejutkan aku yang sedang asik
melihat-lihat judul novel terbaru. Ia memperkenalkan namanya sebagai Alexa, dan
dari yang dia katakan, sepertinya dia mengenalku. Sementara, aku sama sekali
tidak mengenalnya. Tapi, entahlah, dia tampak begitu antusias meyakinkan aku
bahwa kami saling kenal.
“Aku punya ingatan yang
cukup buruk,” kataku terbata. Hanya sebagai alasan, karena tentu
saja aku tidak akan melewatkan kesempatan untuk bisa mengenalnya lebih jauh
lagi. Bak gayung bersambut, dia mencoba mengingatkan aku lagi tentang dirinya
di masa lalu, seseorang yang pernah menembak aku, katanya.
*****
Pria
di hadapanku ini malah seolah menahan tawanya. Oh crap! What did I said? Oh my God, I’m really idiot. Rasanya aku
mau kabur saja dari hadapannya atau memutar kembali waktu untuk mencegah aku
mengucapkan kalimat memalukan tadi.
“Eh, Lexa pergi dulu ya bang. Sampai jumpa,”
kataku tersenyum dengan
pedenya padahal orang di hadapanku ini telah melupakanku. Aku membalikan badan kemudian melambaikan tanganku yang sedang memegang novel ke
arahnya sebagai tanda perpisahan.
“Lexa
tunggu!” ia berjalan mendekat ke arahku. Kedua matanya memandangi
novel yang sedang kupegang. “Itu novel yang seri kedua lho, bukan yang pertama.”
Aku
termenung sesaat, kemudian memperhatikan novel yang kupegang ini. Tadi
ketika mengambilnya dari rak, aku yakin sekali tidak ada novel yang
berjudul sama dengan tanda seri pertama atau apalah di sampulnya. Aku
membalikan novel ini, membaca sekilas sinopsis yang ada di belakangnya. Tidak
ada juga keterangan bahwa ini adalah novel berseri.
“Masa’
sih?”
“Iya,
banyak yang nggak
tahu kalau novel itu berseri. Seri pertamanya lagi habis stok. Tapi kalau kamu mau tetap baca, nggak masalah sih, soalnya nggak terlalu berkaitan juga kok,” katanya sambil tersenyum
padaku.
“Sejak
kapan abang suka baca novel?” aku mengernyitkan alisku dengan bingung. Sebagai “teman”
-ya teman dalam tanda kutip
karena aku tidak tahu pasti hubungan kami dulu. Mantan gebetan mungkin?
-aku cukup tahu bahwa
seorang Andre Wihana tidak pernah menyukai bacaan apapun itu,
walaupun sebuah komik cowok. Bahkan tadi, ia mampu berkata panjang lebar mengenai novel ini
yang menunjukkan dengan jelas bahwa ia telah membaca novel berseri ini.
Ia
terlihat bingung kembali. Ah, sudah berapa kali hari ini aku membuatnya
bingung. Kasian dia.
“Waktu
bisa mengubah seseorang, kan?” tanyanya dengan
senyum ranum.
Well, benar juga sih. Aku saja yang
dulunya suka membaca komik-komik korea kini beralih menjadi penggemar novel.
Walaupun aku masih menyukai membaca komik, namun rasanya berbeda jika aku membaca novel. Alhasil
koleksi novelku sekarang telah melampaui jumlah koleksi komik.
“Mau
aku tunjukin novel yang pertamanya?” tanyanya memecah lamunanku. Tawarannya
terdengar hati-hati seolah
pertanyaannya itu bisa menyingung perasaanku.
“Lah, katanya stok di sini udah habis?” tanyaku balik. Tumben sekali ia menyebut
dirinya dengan kata “aku”.
“Aku
ada bawa, sih, kebetulan tadi baru aja dibalikin sama teman,”
katanya.
“Boleh
deh. Eh, kalau Lexa baca yang ini dulu nggak masalah, kan? Lexa tetap bisa ngerti ceritanya, kan?” tanyaku sambil mengangkat novel yang aku
pegang.
“Nggak masalah kok. Percaya, deh, kamu bakal jatuh cinta dengan ceritanya.”
Menilai
dari nadanya yang bersemangat
aku dapat menebak
bahwa ini adalah novel favoritnya. Mendadak rasa penasaran akan apa saja yang
menjadi kesukaannya sekarang muncul. Oh, Alexa kamu bukan kamu yang dulu. Yang
terus mencari tahu semua tentang dia. Time
change right?
“Well, Lexa bayar ini dulu ya, bang?” izinku padanya.
“Okay then, aku tunggu di depan meja
penitipan barang ya?”
*****
Aku
hanya bisa diam dan menutup novel yang aku pegang ini. Tadi setelah kami
menyelesaikan urusan masing-masing, kami sepakat untuk mencari sebuah tempat
yang enak untuk ngobrol. Pilihan kami jatuh kepada J.CO. Ternyata ia masih saja pecinta kopi sejati.
“Gimana?”
tanyanya. Tadi ia menyuruhku
atau lebih tepatnya memaksaku untuk membaca satu bab dari novel seri pertama
miliknya.
“Abang
benar! Aku jatuh cinta sama novel ini.”
“Tuh,
kan,
udah kubilang,” katanya lalu
tertawa. Tawanya sedikit berubah. Bahunya tidak lagi menunduk ketika ia
tertawa. Sekarang bahunya tetap tegap dan bibirnya tertarik lebar sehingga
memamerkan giginya yang rapi. Yang pasti kulitnya terlihat menggelap dari
sebelumnya. Namun, hal tersebut malah menambah maskulin pada dirinya. Dalam
hati aku mensyukuri tindakan nekat menegurnya tadi, jika aku tidak berani mana
mungkin kami bisa duduk ngobrol seperti ini.
“Eh, bang, kamu masih ingat dengan Kak Arista? Kemarin aku
ada ketemu dia lho,” kataku sedikit mengorek masa lalunya dengan
menyebutkan nama pacarnya semasa SMP.
“Oh, ya? Di mana?” jawabnya sedikit
kikuk. Aku pun dengan
cepat dapat menyimpulkan bahwa mantannya yang satu ini memang belum ia lupakan.
Aku masih ingat ketika aku SMA, aku mendengar kabar bahwa mereka harus putus
setelah berpacaran selama empat tahun.
“Di
dekat Dunkin Donuts kemarin,” kataku sambil memperhatikan wajahnya mencari sebuah informasi apapun
itu yang bisa membuatku mengetahui perasaannya. Rasanya tetap saja nihil dan ia
masih tetap dengan gerak-geriknya yang kikuk.
“Nggak kangen, bang? Nggak ada ketemu gitu? Kan, kemarin LDR-an nggak bisa ketemu,” pancingku lagi. Dalam hati aku
berdoa semoga saja ia tidak tersinggung dengan kata-kataku barusan.
“Udah
ketemu kok,” jawabnya yang memancing rasa penasaranku semakin jadi.
“Ciyeeee. Di mana?”
“Umm… Makan siang aja,”
jawabnya lagi dengan nada sangat tidak enak dan wajah yang seperti enggan
membahas masalah ini. Aku juga jadi merasa tidak enak menanyakan hal seperti
itu hanya untuk
mengenyangkan rasa penasaranku. Jadi selanjutnya aku hanya diam
sambil menyeruput Avocado Capucinnoku kemudian memainkan sedotannya demi
pencitraan bahwa aku baik-baik saja dengan situasi awakward ini.
Kulihat dia pun sedang asyik memainkan Blackberry-nya, entah bermain game atau malah sedang berchat-ria
dengan pacarnya. Semoga saja kemungkinan yang terakhir itu salah.
*****
“Oh, ya, lanjutan dari novel itu sebentar lagi mau terbit lho,”
kataku sambil menaruh Blackberry milikku di atas meja. Lalu mengambil satu buah donat
yang terletak di meja bulat kecil yang memisahkan kami, dan mengigitnya.
“Lexa
nggak terlalu suka novel berseri nih, bang,” katanya
dengan raut sedikit
menyesal.
“Yang ini beda, kamu bakalan suka,”
kataku
mencoba memecah hening akibat pertanyaan yang sulit untuk aku jawab tadi.
Arista, siapa lagi dia? Tampaknya dia memang benar-benar mengenal aku, lebih
tepatnya mengenal laki-laki yang pernah dia tembak dulu.
“Abang
kayak sales aja nih,”
“Aku terlalu ganteng buat jadi sales,”candaku.
Wanita suka diajak bercanda, selain bisa mencairkan suasana, canda juga baik
untuk kesan pertama. Semoga candaku, jadi candunya. “Idiiih, pedeeee banget,” katanya sewot.
Sebelumnya,
aku tidak pernah berada dalam kondisi seperti ini. Menjadi orang lain. Apalagi
dihadapkan langsung dengan orang yang tahu seluk-beluk masa lalunya. Tapi apa
mau dikata, wanita yang ada di depanku sekarang sudah terlanjur mempesona semua
indera yang aku punya. Aku bisa apa selain berpura dan mengikuti alur
ceritanya?
*****
Kantin
Belakang Perpustakaan Universitas Tanjung Pura, pukul 10.15 WIB
“Mbak,
sotonya satu sama es teh manis satu.”
Aku
baru saja selesai mencari bahan tambahan untuk skripsiku. Sudah semester 9,
sudah waktunya aku keluar dari belantara kampus sekarang. Kedua orang tuaku di
rumah mulai sering menanyakan kapan aku wisuda, dan selalu aku jawab sekenanya,
“paling lambat, secepatnya.”
Siang
itu kantin lumayan ramai, ada sekumpulan mahasiswa yang entah dari fakultas
mana, duduk semeja membicarakan hal yang entah apa, tapi sepertinya sesuatu
yang menyenangkan. Mungkin liburan, karena dalam samar aku mendengar mereka
menyebut pulau Lemukutan. Sebuah pulau yang masih asri dengan air lautnya yang
biru, dimana katanya, kita bisa melihat batuan karang dan ikan-ikan dengan mata
telanjang. Ya, katanya, karena aku belum pernah ke sana.
Aku
membuka tas ranselku, kemudian mengambil beberapa lembar kertas fotokopian dari
perpustakaan tadi. Tetiba, mataku tertuju pada novel yang beberapa hari lalu sempat
aku tunjukkan kepada Lexa. Ya, Alexa. Gadis yang aku temui, atau lebih tepatnya
tidak sengaja menemui aku di Gramedia kemarin. Pertemuan yang aneh, dia mengira
aku adalah abang kelasnya sewaktu SMP dulu, entah siapa nama laki-laki yang dia
maksud. Yang aku lakukan kemarin hanya mengiyakan saja setiap perkataannya, dan
sampai sekarang ia hanya mengenalku sebagai abang kelasnya sewaktu SMP dulu.
Seporsi
soto telah berpindah dari atas mangkuk ke dalam perut. Es teh yang sedari tadi
keringatan pun telah habis memenuhi dahaga, memecah pedas kuah soto bercampur
suiran daging ayam dan setengah potong telur rebus. Ketika aku hendak membayar
semua makananku, dari jauh aku melihat Lexa yang sepertinya menuju ke arah
kantin ini juga. Aku mempercepat langkahku, setelah sebelumnya meletakkan
beberapa lembar uang lima ribuan di atas meja. Semoga saja ia tidak sempat
melihat aku. Bukannya aku tidak ingin bertemu dengan Lexa lagi, tapi kali ini
aku memang harus menghindar, karena Lexa datang berdua dengan temannya, Dera.
*****
Aku
memicingkan mataku melihat sosok yang berada sekitar kantin favoritku ini
karena sotonya yang menurutku enak. Tak salah lagi. Sosok tersebut benar-benar Bang Andre yang minggu
lalu aku temui di Gramedia. Tapi sedang apa dia ke sini?
“Ra, kamu
ingat aku kemarin cerita ketemu Bang Andre di Gramedia,
kan? Itu Bang Andre, Ra!” seruku lalu menarik tangannya agar ia berjalan lebih
cepat.
“Yang mana, sih? Aduh, Lex, jalannya pelan-pelan dong,” keluh
Dera, sahabatku dari zaman SMP. Saksi hidup perjuangan cintaku kepada Bang
Andre.
“Itu tuh, Ra, kamu jalannya cepatan dong,” kataku semakin panik
menarik tangannya tapi tetap saja ia berjalan dengan lambat, padahal Bang Andre terlihat seperti buru-buru sekali.
Kulepaskan pegangan tanganku
pada Dera lalu berjalan dengan cepat sembari berusaha menarik tepian pashminaku
dengan pelan. Semoga saja bentuknya tetap rapi seperti tadi pagi.
“Bang Andre!” panggilku. Berusaha mencegah kemungkinan langkahnya semakin jauh dariku. Tetapi ia malah tetap
memperpanjang jarak di antara kami.
“Bang Andre!” panggilku lebih keras lagi. Jika kamu bertemu dengan
orang yang pernah mengisi hatimu secara tidak sengaja dan sudah kedua kalinya
mungkin kamu akan mengerti excited-nya
aku saat ini. Yah, aku tidak menyangkal bahwa aku sedikit berharap maybe this is our second chance.
“Bang Andre!” aku kembali memanggilnya lagi tepat ketika aku
berada beberapa langkah di belakangnya. Bang Andre menoleh padaku dan tersenyum
dengan kikuknya. Mendadak aku merasa dalam sebuah drama dimana aku memergoki pacarku berselingkuh.
“Eh,
hai Lexa,” katanya dengan canggung.
“Kok kamu bisa di
sini bang?” tanyaku dengan penasaran sekaligus berharap bahwa ia
belum makan dan kami akan makan bersama. Padahal sudah jelas kemungkinan
tersebut nihil.
Bang Andre terlihat hendak
menjawab pertanyaanku, hanya saja terpotong setelah seseorang menepuk pundakku dari belakang.
“Cepat amat sih Lex jalannya. Bang Andrenya mana?” tanyanya
dengan sewot.
“Nih, Bang Andre, Ra. Bang Andre masih ingat dengan Dera?” tanyaku
padanya yang langsung disambut dengan wajah kikuknya kembali. Apa Bang Andre
lupa dengan Dera? Padahalkan Dera termasuk salah satu anak yang cukup aktif
dalam pramuka sewaktu SMP, tidak seperti aku yang ikut hanya karena
ada Bang Andre.
“Eh, kamu mimpi ya, Lex? Ini bukan Bang Andre,” kata Dera yang langsung
membuatku ingin ketawa. Mereka berdua lupa kok bisa barengan?
“Ra, ini Bang Andre yang aku
kemarin cerita ketemu dia di Gramedia,” bisikku padanya. Berusaha terlihat santai.
Malu dong,
kalau ternyata aku sampai sekarang masih ngarep dengan dia.
Dera terlihat memperhatikan
Bang Andre dengan seksama. “Hmm..Iya sih, bang, kamu memang mirip dengan Bang Andre,
tapi kok, aku baru sadar ya?”
Aku diam menatap Dera.
Berusaha mengirim telepati padanya bahwa aku menuntut sebuah penjelasan. Kemudian
aku menatap ke arah Bang Andre.
“Well, ini bukan Bang Andre, Lex. Yah, wajahnya memang mirip banget, sih,” kata Dera sedikit meringis.
“Terus, kok kamu yakin banget gitu?” protesku tak percaya.
“Karena aku temannya Abang
Dera,” kata Bang Andre yang akhirnya berbicara. Telak sudah. Bang Andre yang ada
di hadapanku
ini bukanlah Andre Wiguna, abang kelasku sewaktu SMP dulu. Oh my God, ini menjelaskan kenapa ia selalu memasang wajah
bingungnya ketika bertemu denganku.
*****
Mampus.
Aku mempercepat langkahku. Di belakang, aku mendengar Lexa terus-menerus
meneriakkan namaku. Kenapa harus dengan Dera? Ya Tuhan, bisa hancur semua
penyamaran dadakanku kemarin. Aku takut Lexa marah karena merasa telah aku
bohongi, tapi toh, pertemuan waktu itu pasti bukan sebuah kebetulan, Tuhan
pasti sudah merencanakannya. Tapi, kenapa harus secepat ini Tuhan? Aku bahkan
belum mempersiapkannya, sebuah penyangkalan atau pengakuan.
“Karena aku temannya Abang Dera,” akhirnya sebuah pengakuan yang
keluar dari mulutku. Aku sudah mati kutu, skak mat kalau dalam istilah catur. Aku
tidak mungkin menyangkal kata-kata adik temanku itu. Ah, andai aku tahu Lexa
temannya Dera, pasti aku bisa sedikit mengatur tuturnya.
Aku
tidak bisa berkata-kata lagi setelahnya. Sekarang, giliran Lexa yang
menggunakan wajah bingung, sebagaimana yang aku gunakan ketika dijejalinya
pertanyaan waktu itu.
“Hehe.
Jadi aku yang salah, ya, pantesan muka abang kelihatan aneh kemarin,” Lexa memecah hening sambil
mencoba menyimpul senyum di ujung bibirnya. “Bahkan, dengan senyum yang sekenanya
itu, dia terlihat begitu manis,”
batinku.
“Maaf
ya, Lexa. Bukannya aku nggak mau jujur. Cuma kamu kayaknya seneng banget waktu
kita ketemu kemarin. Aku jadi nggak enak mau bilang kalau aku bukan abang kelas
kamu sewaktu SMP dulu. Dan, sejujurnya aku nggak mau ngelewatin kesempatan itu,
buat kenal sama kamu.”
Lexa
hanya diam mendengar perkataanku yang lebih mengarah pada permohonan maaf itu.
Kali ini aku kembali bingung, bukan karena pertanyaanya, tapi karena
kata-kataku sendiri.
“Tadi
abang udah sarapan?”
*****
“Terus ma?” desaknya ketika aku tak melanjutkan ceritaku.
“Hari ini sampai disini
dulu, kamu harus tidur sekarang,” kataku sambil menunjukan ke
arah jam dinding berwarna merah muda itu. Sudah jam sepuluh malam.
Seketika gadis kecilku ini
memasang wajah cemberutnya. Aku pun membalasnya dengan air
muka tegas menandakan
bahwa perkataanku tidak bisa dibantah olehnya.
“Iyadeh, ma,” katanya. Lalu aku bangun, merapikan selimut yang menutupi badannya sampai ke bahu, kemudian berjalan menuju
pintu kamarnya.
“Selamat tidur Nesya,”
kataku sambil menutup pintu. Setelah itu, aku pergi menuju sisi
kanan yang mengarah ke dapur untuk mengambil air minum.
“Eh,
kamu belum tidur
sayang?” tanyaku
ketika menemukan seorang pria sedang mencurahkan air sirup yang sengaja aku
simpan di dapur tadi sore ke dalam mugnya.
“Belum. Kamu tadi cerita apa
ke Nesya?”
“Tentang seorang cewek yang
salah menyapa orang di mol,” kataku dengan nada bercanda. Aku
menarik kursi dan mendudukinya.
“Udah
sampai mana?”
“Sampai
di
kantin kampus.”
“Kalau
gitu selanjutnya giliran aku yang cerita ke Nesya ya,” katanya sambil menarikku
berdiri dari kursi.
“Lho, kok?” tanyaku bingung.
“Soalnya
aku mau cerita ke Nesya gimana akhirnya aku berhasil mendapatkan hati mamanya
ini,” katanya sambil menarikku dalam pelukannnya. Aku tertawa. Dasar Bang Andre
gadungan.