1.
Lebaran
Idul Adha memang tidak semeriah Idul Fitri. Tapi tidak bagi mereka yang telah
atau sedang berhaji. Akan selalu ada perayaan yang lebih khusyuk di sana.
2.
Mereka
pulang. Setiap tahun dua kali. Selalu begitu, selalu berulang. Saat Idul Fitri dan
Idul Adha. Kakak-kakakku, bersama keluarganya. Keluargaku juga.
3.
Di
waktu sore, aku terbiasa untuk bersepeda mengelilingi kota. Minimal satu jam.
Di beberapa jalan, tidak seperti ketika menyambut Idul Fitri, di mana banyak
kios-kios dadakan penjual manisan, ta’jil, pakaian atau ketupat tumpah. Kali ini
pinggir jalan bak kebun binatang, lengkap dengan bau prengus khas kambing dagangan. Selalu begitu, selalu berulang.
Pinggir jalan, ladang rezeki banyak orang.
4.
Paman
Yadi, seorang tukang jagal. Sehari sebelum Idul Adha dirayakan. Ia akan
berjongkok di tepi sumur, berbekal batu asah, parang dan pisau dapur. Batu asah
di tangan kiri, parang atau pisau di tangan kanan. Dengan bantuan sedikit air,
ia akan menggesekkan keduanya, berulang-ulang, sampai dipikirnya tajam.
Paman
Yadi tidak menyembelih kurban di tempat lain. Selalu di masjid kami. Masjid
yang dulunya surau, kemudian berdasarkan sepakatan warga dijadikanlah masjid.
Tiga bulan setelahnya di gang yang berbeda, masih di RW yang sama, dibangun
lagi sebuah masjid baru. Sekarang, RW kami punya dua masjid. “Kita sering
berlomba-lomba membangun rumah Allah, tapi jarang ada yang berlomba-lomba untuk
mengisinya”, kata Paman Yadi di suatu petang, sepulang kami sholat magrib di
masjid lama.
5.
Lain
yang dikerjakan Paman Yadi, lain pula yang dikerjakan Pak Kosim, tetanggaku
yang lain, seorang anggota dewan kota. Sejak pemilihan yang lalu ia menduduki
jabatan itu. Dan, sejak saat itu pula, ketika hendak menjelang hari raya,
wajahnya pasti akan hadir di sudut halaman masjid. Lengkap dengan ucapan
selamat juga permohonan maaf. Kemarin saat hendak mendirikan tenda untuk
memayungi jamaah sholat idul adha, aku tidak hanya melihat wajahnya, tapi juga
bendera partai yang mengusungnya. Entahlah, mungkin sudah jadi hal lumrah di
negaraku, dimana politisi mempolitisasi agama. Apa saja yang dibungkus dengan
agama, akan terlihat baik, bukan? Setidaknya itu yang aku tahu sejak dulu,
selalu berulang, apalagi menjelang pemilu.
6.
Bagiku
televisi tidak lebih baik daripada buku. Terlalu banyak berita yang
dilebih-lebihkan, terlalu banyak sensasi yang disajikan. Semuanya menghamba
pada rating. Menjelang idul adha, di infotaiment apa saja, akan ada liputan
tentang artis yang membeli hewan kurban, kemudian membagikannya. Akan ada
liputan tentang persiapan, atau dandanan mereka ketika hendak melaksanakan
sholat keesokan harinya. Selalu begitu, selalu berulang, setiap tahunnya. Tapi
belakangan ini agak beda, ada beberapa ustadz yang turut serta.
7.
Idul
adha datang, akan ada banyak kesenangan berulang. Pak Bagio yang berkali-kali
merayakan idul adha di tanah suci, Mbah Surti yang akhirnya bisa makan daging
lagi.
8.
Selepas
magrib, kumandang takbir menggema di penjuru udara. Dari toa-toa masjid di
puncak menara yang menantang langit. Dari suara anak-anak kecil yang memegang
mic di dalam masjid. Dari kepingan vcd berisi puja-puji yang sengaja diputar
untuk memecah sunyi, mengikuti tradisi. Dari sana, idul adha mencoba
menunjukkan taji. Mencoba mengimbangi suara bising knalpot racing, mencoba
menetralisir udara dari deru asap orang berkendara, mencoba memberi tanda, esok
hari raya. Selalu begitu, selalu berulang. Sejak remaja masjidnya lebih senang bertakbir
di jalanan, berdua bersama pacar.
9.
Pagi
tiba, aku datang agak terlambat, keluargaku sudah pergi lebih dulu. Masjid
penuh, gema takbir meriuh. Di tanah lapang seberang jalan, beberapa ekor sapi
dan kambing memandang lirih. Mungkin mereka tahu, ajalnya akan tiba sebentar
lagi.
Beberapa
menit berselang, dua rakaat sholat sunah kami tuntaskan. Khotib mulai naik ke
atas mimbar, lengkap dengan sorban, pakaian putih-putih panjang serta sejadah
yang dikalungkan. Di sampingku, duduk seseorang yang aku kenal, Bang Dayat.
Anak kedua sang khotib. Dulu, aku sempat berpikir ada yang lucu. Bang Dayat
dikenal gemar mengoleksi tato di tubuhnya. Aku pernah mengira dia adalah
seorang preman. Tapi, berpikir setiap orang yang bertato sebagai preman, sama
saja dengan berpikir setiap orang yang bersorban itu beriman, bukan?
Ah,
sudahlah, aku enggan menerka-nerka lagi sekarang, apalagi harus memikirkan
bagaimana hubungan sang khotib dengan anaknya itu. Lebih baik aku mendengar
khutbah tentang haji dan cerita penyembelihan Nabi Ismail oleh ayahnya, Nabi
Ibrahim. Tema khutbah yang selalu berulang tiap tahunnya.
10.
Khutbah
selesai, doa telah dipanjatkan, setiap tangan kanan saling menjabat saudaranya.
Umat-umat Nabi Muhammad kembali ke rumahnya masing-masing. Ada pula yang masih
berkemas di masjid, membereskan sajadah, menggulung kembali tikar-tikar,
membersihkan koran yang berserakan. Bekas-bekas perayaan bersama Tuhan.
Di
rumah, aku dan keluarga besarku berkumpul di ruang tengah. Bersalaman, meminta
maaf setengah menengadah. Di meja makan, ketupat, opor ayam, dan sayur nangka
siap kami lahap. Menu yang selalu sama tiap tahunnya, khas lebaran. Semoga saja
selalu berulang, tanpa ada yang berkurang.
bang, ini bagus. sungguh..! :')) speechless bacanyaa!
ReplyDeletemasa? alhamdulilah
ReplyDeletehehehhee
090515; 02:51 PM
ReplyDelete