Sunday 20 October 2013

Lebaranku, Berulang

Standard

1.
Lebaran Idul Adha memang tidak semeriah Idul Fitri. Tapi tidak bagi mereka yang telah atau sedang berhaji. Akan selalu ada perayaan yang lebih khusyuk di sana.

2.
Mereka pulang. Setiap tahun dua kali. Selalu begitu, selalu berulang. Saat Idul Fitri dan Idul Adha. Kakak-kakakku, bersama keluarganya. Keluargaku juga.

3.
Di waktu sore, aku terbiasa untuk bersepeda mengelilingi kota. Minimal satu jam. Di beberapa jalan, tidak seperti ketika menyambut Idul Fitri, di mana banyak kios-kios dadakan penjual manisan, ta’jil, pakaian atau ketupat tumpah. Kali ini pinggir jalan bak kebun binatang, lengkap dengan bau prengus khas kambing dagangan. Selalu begitu, selalu berulang. Pinggir jalan, ladang rezeki banyak orang.

4.
Paman Yadi, seorang tukang jagal. Sehari sebelum Idul Adha dirayakan. Ia akan berjongkok di tepi sumur, berbekal batu asah, parang dan pisau dapur. Batu asah di tangan kiri, parang atau pisau di tangan kanan. Dengan bantuan sedikit air, ia akan menggesekkan keduanya, berulang-ulang, sampai dipikirnya tajam.

Paman Yadi tidak menyembelih kurban di tempat lain. Selalu di masjid kami. Masjid yang dulunya surau, kemudian berdasarkan sepakatan warga dijadikanlah masjid. Tiga bulan setelahnya di gang yang berbeda, masih di RW yang sama, dibangun lagi sebuah masjid baru. Sekarang, RW kami punya dua masjid. “Kita sering berlomba-lomba membangun rumah Allah, tapi jarang ada yang berlomba-lomba untuk mengisinya”, kata Paman Yadi di suatu petang, sepulang kami sholat magrib di masjid lama.

5.
Lain yang dikerjakan Paman Yadi, lain pula yang dikerjakan Pak Kosim, tetanggaku yang lain, seorang anggota dewan kota. Sejak pemilihan yang lalu ia menduduki jabatan itu. Dan, sejak saat itu pula, ketika hendak menjelang hari raya, wajahnya pasti akan hadir di sudut halaman masjid. Lengkap dengan ucapan selamat juga permohonan maaf. Kemarin saat hendak mendirikan tenda untuk memayungi jamaah sholat idul adha, aku tidak hanya melihat wajahnya, tapi juga bendera partai yang mengusungnya. Entahlah, mungkin sudah jadi hal lumrah di negaraku, dimana politisi mempolitisasi agama. Apa saja yang dibungkus dengan agama, akan terlihat baik, bukan? Setidaknya itu yang aku tahu sejak dulu, selalu berulang, apalagi menjelang pemilu.

6.
Bagiku televisi tidak lebih baik daripada buku. Terlalu banyak berita yang dilebih-lebihkan, terlalu banyak sensasi yang disajikan. Semuanya menghamba pada rating. Menjelang idul adha, di infotaiment apa saja, akan ada liputan tentang artis yang membeli hewan kurban, kemudian membagikannya. Akan ada liputan tentang persiapan, atau dandanan mereka ketika hendak melaksanakan sholat keesokan harinya. Selalu begitu, selalu berulang, setiap tahunnya. Tapi belakangan ini agak beda, ada beberapa ustadz yang turut serta.

7.
Idul adha datang, akan ada banyak kesenangan berulang. Pak Bagio yang berkali-kali merayakan idul adha di tanah suci, Mbah Surti yang akhirnya bisa makan daging lagi.

8.
Selepas magrib, kumandang takbir menggema di penjuru udara. Dari toa-toa masjid di puncak menara yang menantang langit. Dari suara anak-anak kecil yang memegang mic di dalam masjid. Dari kepingan vcd berisi puja-puji yang sengaja diputar untuk memecah sunyi, mengikuti tradisi. Dari sana, idul adha mencoba menunjukkan taji. Mencoba mengimbangi suara bising knalpot racing, mencoba menetralisir udara dari deru asap orang berkendara, mencoba memberi tanda, esok hari raya. Selalu begitu, selalu berulang. Sejak remaja masjidnya lebih senang bertakbir di jalanan, berdua bersama pacar.

9.
Pagi tiba, aku datang agak terlambat, keluargaku sudah pergi lebih dulu. Masjid penuh, gema takbir meriuh. Di tanah lapang seberang jalan, beberapa ekor sapi dan kambing memandang lirih. Mungkin mereka tahu, ajalnya akan tiba sebentar lagi.

Beberapa menit berselang, dua rakaat sholat sunah kami tuntaskan. Khotib mulai naik ke atas mimbar, lengkap dengan sorban, pakaian putih-putih panjang serta sejadah yang dikalungkan. Di sampingku, duduk seseorang yang aku kenal, Bang Dayat. Anak kedua sang khotib. Dulu, aku sempat berpikir ada yang lucu. Bang Dayat dikenal gemar mengoleksi tato di tubuhnya. Aku pernah mengira dia adalah seorang preman. Tapi, berpikir setiap orang yang bertato sebagai preman, sama saja dengan berpikir setiap orang yang bersorban itu beriman, bukan?

Ah, sudahlah, aku enggan menerka-nerka lagi sekarang, apalagi harus memikirkan bagaimana hubungan sang khotib dengan anaknya itu. Lebih baik aku mendengar khutbah tentang haji dan cerita penyembelihan Nabi Ismail oleh ayahnya, Nabi Ibrahim. Tema khutbah yang selalu berulang tiap tahunnya.

10.
Khutbah selesai, doa telah dipanjatkan, setiap tangan kanan saling menjabat saudaranya. Umat-umat Nabi Muhammad kembali ke rumahnya masing-masing. Ada pula yang masih berkemas di masjid, membereskan sajadah, menggulung kembali tikar-tikar, membersihkan koran yang berserakan. Bekas-bekas perayaan bersama Tuhan.

Di rumah, aku dan keluarga besarku berkumpul di ruang tengah. Bersalaman, meminta maaf setengah menengadah. Di meja makan, ketupat, opor ayam, dan sayur nangka siap kami lahap. Menu yang selalu sama tiap tahunnya, khas lebaran. Semoga saja selalu berulang, tanpa ada yang berkurang.

3 comments: