Nasi
sudah menjadi bubur. Bila aku menemui seorang tua, aku pastikan kata itu yang
akan keluar dari mulutnya. Sekarang siapa aku? Lelaki tampan yang memiliki
ketanpaan. Padahal, kemarin aku begitu kuat mempertahankanmu. Mempertahankanmu
agar kau tidak lepas dari hariku, mempertahankanmu agar kau tidak jauh dari
mataku, mempertahankanmu agar kau tidak pergi dari kepalaku. Ya,
mempertahankanmu adalah caraku membanggakan anuregah Tuhan.
Mungkin
karena aku tak sehebat Belanda dalam membangun benteng, mempertahankanmu
menjadi sesuatu yang menyulitkan. Gengsi yang merobohkannya, dengan pasukan
keras hati ia meruntuhkan tembok-tembok bata menjadi kepingan kata-kata. Bahwa
kini, aku kehilangan.
Lalu
apa yang tersisa? Helai-helai yang tak mungkin aku belai. Derai-derai masa lalu
yang berserakan di lantai. Terinjak-injak oleh kakiku yang melangkah lunglai.
Sementara di atas sana, seseorang tertawa memandangi aku dan kau yang tak lagi
kita. Dengan benda tajam hasil asahan berjam-jam, ia memotong tali pengikat. Mungkin
tali yang mengikat menjadi penyebab sakit yang terlalu. Hingga membuat seseorang
itu memutuskannya demi memberi jarak, yang dipikirnya perlu.
Memang,
ketika kau masih ada di sini, di detik terakhir aku berusaha mempertahankanmu,
ada sakit pada kepala, tempat ribuan kamu mengakar di dalamnya. Tapi, bukan
berarti di detik-detik itu, detak kenangan kita tak lagi dalam ingatan. Justru
saat itu, hati dan pikiranku bergulat, seperti ulat-ulat yang menggigit tepian
daun, kenyataan memaksaku menyingkirkan kenangan. Kenyataan bahwa kita tak
punya cukup waktu lagi untuk bersama. Kenyataan bahwa aku harus melepasmu untuk
masa depan. Kenyataan bahwa aku harus mengalah pada kenyataan.
Namun
ketahuilah, aku tak pernah cukup berani untuk berjalan menantang hari setelah
kau pergi. Aku begitu takut untuk bertemu mereka, aku takut mereka
menanyakanmu. Aku tak punya stok alasan, apalagi jika mereka menuntut
penjelasan. Bahkan aku selalu kikuk jika harus menyapa cermin. Menatap dia yang
ada di hadapanku dengan mahkota yang berbeda. Dengan kenyataan yang tak lagi
sama.
Seringkali
aku mengingat, saat kita masih ada, aku senang untuk mengajakmu bersamaku
menemui siapa saja, di mana saja. Pula ketika kita harus bergaya di depan
kamera untuk sebuah koran lokal, perhatianku selalu tertuju kepadamu,
kebanggaanku. Karena aku ingin mereka semua tahu, kamu kepunyaanku.
Pada
barisan aksara yang terbaring di kertas putih ini, aku menulis semua yang tak
pernah hatiku gublis. Aku ingin kau membaca, apa saja yang sebenarnya ingin aku
kata. Dan, inilah yang nyatanya aku rasakan, sesuatu yang tak pernah aku
inginkan. Saat ini, saat dimana bulan sendiri tanpa bintang menemani, aku
merindukanmu, gaya rambutku yang dulu.
6 Oktober 2013 pukul 21.36 WIB
Dua hari setelah kepergianmu, perpisahan kita di
Pangkas Rambut.
Hadeeh..kirain apaa..taunya rambut tho mas! :D
ReplyDeleteItu mah gak kan hilang dari dirimu, akarnya msh menancap disana dan mgkn akan tumbuh lagi mengisi rindumu..kecuali umurmu sdh lansia shg ia enggan utk kembali :D
Salam kenal!
080515; 10:16 PM
ReplyDelete