Wednesday 9 October 2013

Dan, Aku Merindukanmu..

Standard

Nasi sudah menjadi bubur. Bila aku menemui seorang tua, aku pastikan kata itu yang akan keluar dari mulutnya. Sekarang siapa aku? Lelaki tampan yang memiliki ketanpaan. Padahal, kemarin aku begitu kuat mempertahankanmu. Mempertahankanmu agar kau tidak lepas dari hariku, mempertahankanmu agar kau tidak jauh dari mataku, mempertahankanmu agar kau tidak pergi dari kepalaku. Ya, mempertahankanmu adalah caraku membanggakan anuregah Tuhan.

Mungkin karena aku tak sehebat Belanda dalam membangun benteng, mempertahankanmu menjadi sesuatu yang menyulitkan. Gengsi yang merobohkannya, dengan pasukan keras hati ia meruntuhkan tembok-tembok bata menjadi kepingan kata-kata. Bahwa kini, aku kehilangan.

Lalu apa yang tersisa? Helai-helai yang tak mungkin aku belai. Derai-derai masa lalu yang berserakan di lantai. Terinjak-injak oleh kakiku yang melangkah lunglai. Sementara di atas sana, seseorang tertawa memandangi aku dan kau yang tak lagi kita. Dengan benda tajam hasil asahan berjam-jam, ia memotong tali pengikat. Mungkin tali yang mengikat menjadi penyebab sakit yang terlalu. Hingga membuat seseorang itu memutuskannya demi memberi jarak, yang dipikirnya perlu.

Memang, ketika kau masih ada di sini, di detik terakhir aku berusaha mempertahankanmu, ada sakit pada kepala, tempat ribuan kamu mengakar di dalamnya. Tapi, bukan berarti di detik-detik itu, detak kenangan kita tak lagi dalam ingatan. Justru saat itu, hati dan pikiranku bergulat, seperti ulat-ulat yang menggigit tepian daun, kenyataan memaksaku menyingkirkan kenangan. Kenyataan bahwa kita tak punya cukup waktu lagi untuk bersama. Kenyataan bahwa aku harus melepasmu untuk masa depan. Kenyataan bahwa aku harus mengalah pada kenyataan.

Namun ketahuilah, aku tak pernah cukup berani untuk berjalan menantang hari setelah kau pergi. Aku begitu takut untuk bertemu mereka, aku takut mereka menanyakanmu. Aku tak punya stok alasan, apalagi jika mereka menuntut penjelasan. Bahkan aku selalu kikuk jika harus menyapa cermin. Menatap dia yang ada di hadapanku dengan mahkota yang berbeda. Dengan kenyataan yang tak lagi sama.

Seringkali aku mengingat, saat kita masih ada, aku senang untuk mengajakmu bersamaku menemui siapa saja, di mana saja. Pula ketika kita harus bergaya di depan kamera untuk sebuah koran lokal, perhatianku selalu tertuju kepadamu, kebanggaanku. Karena aku ingin mereka semua tahu, kamu kepunyaanku.

Pada barisan aksara yang terbaring di kertas putih ini, aku menulis semua yang tak pernah hatiku gublis. Aku ingin kau membaca, apa saja yang sebenarnya ingin aku kata. Dan, inilah yang nyatanya aku rasakan, sesuatu yang tak pernah aku inginkan. Saat ini, saat dimana bulan sendiri tanpa bintang menemani, aku merindukanmu, gaya rambutku yang dulu.

6 Oktober 2013 pukul 21.36 WIB
Dua hari setelah kepergianmu, perpisahan kita di Pangkas Rambut.

2 comments:

  1. Hadeeh..kirain apaa..taunya rambut tho mas! :D
    Itu mah gak kan hilang dari dirimu, akarnya msh menancap disana dan mgkn akan tumbuh lagi mengisi rindumu..kecuali umurmu sdh lansia shg ia enggan utk kembali :D
    Salam kenal!

    ReplyDelete