Selamat
abadi, Tuan!
Jika
Tuan tak menulis Tetralogi Buru, saya tak mungkin bisa berkenalan dengan Raden
Mas Minke dan Nyai Ontosoroh, mereka sungguh bikin saya terpesona. Jujur saja,
sebenarnya saat itu saya ragu, novel setebal itu terasa berat jika dilihat,
apalagi bagi saya yang baru gemar membaca. Saya takut tak mampu
menghabiskannya, Tuan.
Tapi,
sebagaimana yang Tuan bilang, seorang terdidik harus adil sejak dalam pikiran,
saya pun melakukannya terhadap buku-buku Tuan yang bila diberikan pada pacar
yang sedang marah besar, bisa saja menjadi senjata mematikan itu. Saya
membacanya tandas, tanpa sadar. Sayang memang, saya hanya bisa membeli yang KW,
empat novel tebal itu seharga seratus ribu kalau saya tidak salah. Saya merasa
bersalah, tidak menghargai karya Tuan dengan baik.
Mengenai
Minke dan Nyai Ontosoroh, mereka berdua masih lekat dalam kepala saya hingga
sekarang. Mereka, orang-orang yang Tuan ciptakan dengan tidak menjadi
kebanyakan. Beda, justru sebenar-benarnya kesamaan. Saya mengagumi keduanya,
dan berusaha menjadikannya suritauladan. Minke mengilhami saya untuk menulis
tentang mereka yang dikesampingkan, yang dianggap tak layak dan
kenyataan-kenyataan yang seringkali diabaikan. Bukankah pembiaran dan hal-hal
sejenisnya juga suatu kejahatan?
Nyai
Ontosoroh, Tuan, mengubah pandangan saya terhadap perempuan-perempuan. Bahwa,
kecantikan, bukan kartu AS dari Tuhan untuk sekadar memudahkan, namun menjadi
latar belakang yang baik untuk menghindari pangku tangan. Ia perempuan yang
gigih, yang pintar, yang tahu banyak hal atas dirinya, atas ketidaktahuannya. Bagaimana
mungkin perempuan seperti itu tak buat lelaki jatuh cinta, bahkan Annelise
Mallema pun minder di dekatnya.
Tuan,
jika saja bahasan Tetralogi Buru tak sampai di mata saya, mungkin sekarang saya
tak suka menulis, enggan baca juga cari tahu sejarah bangsa. Di tanganmu, Tuan,
sejarah-sejarah diluruskan. Kadang, terbersit dalam kepala, apa yang Tuan
kerjakan di surga sana. Apa Tuan meluruskan sejarahnya juga?
Sekali
lagi, selamat abadi, Tuan. Terima kasih untuk apa-apa yang Tuan kisahkan. Berkat
Tuan, saya berani bekerja untuk keabadian.
Tabik.
0 komentar:
Post a Comment