Wednesday 4 February 2015

Tuan Abadi

Standard
Selamat abadi, Tuan!

Jika Tuan tak menulis Tetralogi Buru, saya tak mungkin bisa berkenalan dengan Raden Mas Minke dan Nyai Ontosoroh, mereka sungguh bikin saya terpesona. Jujur saja, sebenarnya saat itu saya ragu, novel setebal itu terasa berat jika dilihat, apalagi bagi saya yang baru gemar membaca. Saya takut tak mampu menghabiskannya, Tuan.

Tapi, sebagaimana yang Tuan bilang, seorang terdidik harus adil sejak dalam pikiran, saya pun melakukannya terhadap buku-buku Tuan yang bila diberikan pada pacar yang sedang marah besar, bisa saja menjadi senjata mematikan itu. Saya membacanya tandas, tanpa sadar. Sayang memang, saya hanya bisa membeli yang KW, empat novel tebal itu seharga seratus ribu kalau saya tidak salah. Saya merasa bersalah, tidak menghargai karya Tuan dengan baik.

Mengenai Minke dan Nyai Ontosoroh, mereka berdua masih lekat dalam kepala saya hingga sekarang. Mereka, orang-orang yang Tuan ciptakan dengan tidak menjadi kebanyakan. Beda, justru sebenar-benarnya kesamaan. Saya mengagumi keduanya, dan berusaha menjadikannya suritauladan. Minke mengilhami saya untuk menulis tentang mereka yang dikesampingkan, yang dianggap tak layak dan kenyataan-kenyataan yang seringkali diabaikan. Bukankah pembiaran dan hal-hal sejenisnya juga suatu kejahatan?

Nyai Ontosoroh, Tuan, mengubah pandangan saya terhadap perempuan-perempuan. Bahwa, kecantikan, bukan kartu AS dari Tuhan untuk sekadar memudahkan, namun menjadi latar belakang yang baik untuk menghindari pangku tangan. Ia perempuan yang gigih, yang pintar, yang tahu banyak hal atas dirinya, atas ketidaktahuannya. Bagaimana mungkin perempuan seperti itu tak buat lelaki jatuh cinta, bahkan Annelise Mallema pun minder di dekatnya.

Tuan, jika saja bahasan Tetralogi Buru tak sampai di mata saya, mungkin sekarang saya tak suka menulis, enggan baca juga cari tahu sejarah bangsa. Di tanganmu, Tuan, sejarah-sejarah diluruskan. Kadang, terbersit dalam kepala, apa yang Tuan kerjakan di surga sana. Apa Tuan meluruskan sejarahnya juga?

Sekali lagi, selamat abadi, Tuan. Terima kasih untuk apa-apa yang Tuan kisahkan. Berkat Tuan, saya berani bekerja untuk keabadian.


Tabik.

0 komentar:

Post a Comment