Malam ini hujan turun dengan derasnya, mengingatkan saya akan mendung
yang menggantung di langit siang tadi. Yang seketika menghilang namun
ternyata timbul kembali, tapi bukan pada langit bumi, melainkan pada
ruangan kelas kami. Suasana yang jarang saya rasakan dan juga saya
alami, ketika seseorang yang kuat, berdiri di hadapan kami, mengeluarkan
bentuk gejolak dalam hati, dengan wajah yang sedih namun tetap berseri.
Jujur saya katakan, saat ini saya masih ingat jelas wajah itu, wajah
yang biasa tersenyum, dengan pancaran ketulusan dan keikhlasannya, namun
kini tenggelam seakan tertelan awan kelam.
Dengan berani
ia berdiri, melangkahkan kaki tepat ke bagian tengah kelas kami, lalu
mengungkapkan kesedihan hatinya, dengan raut wajah yang benar-benar
membuat hati saya tersentuh, terharu dan bangga. Ya bangga, bangga
karena saya melihat sesuatu yang memang belum pernah saya lihat dan
alami secara langsung, ketika seseorang seperti dirinya menghakimi diri
sendiri dengan mengatakan dirinya gagal di hadapan kami semua. Betapa
kuatnya wanita yang ada di hadapan saya ini. Betapa lapang hatinya
mengungkapkan itu semua di hadapan kami. Padahal sebagian besar orang
seperti dirinya, biasanya akan langsung tersenyum lebar ketika tanggung
jawabnya telah dipenuhi. Inikah arti dari sebuah dedikasi ?
Teori
abraham marslow yang sering ia dengungkan benar-benar nyata di kelas
kami, ia memenuhi kebutuhan fisik kami dengan memperbolehkan kami
membawa makanan, ia memberikan rasa aman ketika kami ada di dalam kelas
dengan senyuman, tapi mungkin berada di dalam kelas bukan tempat yang
aman bagi teman-teman yang masih malu untuk berbicara. He he he. Lalu ia
juga membuat kami merasa saling dimiliki dan memiliki, dicintai dan
mencintai, membuat kami merasa sedang berada di dalam rumah bersama
keluarga besar yang sedang berdiskusi. Jarang sekali bahkan tidak pernah
telinga saya mendengar ia menjatuhkan salah satu diantara kami,
menyatakan kalau kami ini salah, tapi ia memberikan sesuatu dari sudut
pandang yang berbeda, mengangkat dan memotivasi kami untuk menjadi lebih
dan lebih lewat perkataan yang ia ucapkan. Bukankah penghargaan lewat
perkataan lebih bermakna dibandingkan memberikan sesuatu yang bersifat
materi ? Aktualisasi diri, ia biarkan kami berdiskusi tentang
organisasi, bahkan hingga jam kuliahnya berhenti, namun bukan sekedar
diskusi tanpa isi, dengan ciamik ia sisipkan materi-materi dan
menyambungkannya dengan contoh nyata dari diri kami sendiri.
Memang
saya akui ada beberapa atau mungkin sebagian dari teman-teman, bahkan
diri saya sendiri terkadang masih menggunakan metode menghapal, bukan
memahami seperti yang biasa ia ajarkan. Dan karena itulah menurut saya,
salah satu alasan kenapa ia merasa gagal. Benar memang, sebuah
komunikasi dikatakan berhasil ketika sudah mencapai tahap behavioral,
tapi saya yakin teman-teman di kelas kami pasti sudah memahami ini dan
berikrar di dalam hati, tinggal menunggu implementasi, karena untuk
merubah kebiasaan tidak cukup hanya sehari atau dua hari.
Meskipun
ia merasa telah gagal, tapi saya pikir ia telah berhasil, berhasil
memberikan kami pelajaran sebagai sebuah bekal, mungkin tidak secara
langsung tergambarkan lewat nilai A ataupun B, karena ia memberi sesuatu
yang lebih dari itu, sebuah gebrakan baru dalam pola pikir dan tingkah
laku. Saya menulis ini, karena ia yang mengajarkannya, teman-teman saya
berbicara tanpa canggung karena ia yang melatihkannya, organisasi kami
menjadi lebih baik karena ia yang memotivasinya. Semoga saja ia membaca
catatan ini, dan tersenyum, karena saya kehilangan senyumnya di akhir
kuliah kami.
040515; 12:45 PM
ReplyDelete