Di
kota kami mengalir sungai kesedihan, kata orang ia lahir dari air mata hujan.
Sebentar, bukankah hujan adalah air, air mata dari air? Apakah seperti manusia
yang melahirkan manusia? Ah, kata-kata orang memang seringkali buat pening
kepala.
Sampai
kini pun aku masih kurang paham akan nama sungai kesedihan. Mungkin air mata
hujan yang dimaksud adalah tangis makhluk-makhluk khayangan. Bidadari dan
malaikat yang sedang dihampiri duka, menangis sejadijadinya hingga mengaliri
sungai kota kami. Tapi, duka seperti apa yang singgah di hati mereka sampai
semua ini terjadi?
Pertanyaanku
terjawab di suatu sore yang ramah, ketika arus sungai kesedihan itu mulai
mengombang-ambingkan hati, kakek bercerita padaku, tentang negeri di atas awan.
“Negeri
itu ada di lapis langit ketujuh, namanya negeri keringkerontang. Bukan mata air
yang menjadi asal-usul namanya, melainkan air mata.”
Aku
memerhatikan cerita kakek dengan seksama, tak satu kata pun melompat dari
mulutku. Kakek memang senang mendongeng. Sejak ibuku meninggal, sepuluh tahun
lalu, ia yang mengambil peran itu. Seringnya, kakek mendongeng tiba-tiba.
Seperti saat sekarang ini, ketika aku sedang duduk di bantaran sungai kesedihan.
Ingin menentramkan diri karena patah hati. Entah dari mana ia datang, saat aku
memalingkan wajah, ia sudah ada di sebelah.
“Di
sana, cinta adalah sesuatu yang langka. Sudah berabad-abad penghuninya hidup
dalam hampa.” Mendengar itu, aku merasa dibikin mengambang. Tahu benar kakekku akan
apa yang dirasakan cucunya sekarang. Padahal, walau duduk di tepi sungai ini,
aku sedang tidak meratap. Setidaknya, itu yang otakku bilang. Atau jangan-jangan,
wajahku yang berkata demikian.
“Penghuninya
terlalu sibuk mengurusi cinta orang-orang bumi, sehingga cintanya sendiri
mereka abaikan,” kakek melanjutkan ceritanya dengan terbatuk.
“Benar
malaikat dan bidadari?” tanyaku penasaran. Untuk sementara, dukaku terkubur
cerita kakek.
“Kau
sudah tahu rupanya,” jawab kakek sambil menggaruk siku kanannya.
Ternyata,
dugaanku benar, tapi aku masih kurang mengerti bagaimana hubungan malaikat dan
bidadari. Apakah mereka berpasang-pasangan seperti manusia, atau diciptakan
untuk sendiri, hanya saja sekali lagi, orang-orang sering berkata bahwa
malaikat itu lelaki dan bidadari adalah wanita, dan karena perkataan orang-orang itu aku berkesimpulan; malaikat telah mengabaikan cinta bidadari,
ataupun sebaliknya.
“Di
sudut-sudut taman negeri keringkerontang, tidak ada lagi pasangan malaikat dan
bidadari yang menggambar awan. Mereka duduk sendiri-sendiri memandang matahari
atau bulan, menyibukkan diri dengan membersihkan busur dan panah-panah hati
cinta orang bumi, sambil menikmati secawan rindu yang mereka peras dari jarak
dan temu sejoli-sejoli itu. Selalu begitu, setiap hari,” kakek melanjutkan tanpa
aku minta.
Mataku
tak lepas dari wajahnya. Sedangkan matanya, seperti teropong, bulat besar
memandang jauh entah apa di seberang. Kerutan di sekitar kelopak matanya, tidak
menutupi cahaya mata kakek. Ada bias-bias yang muncul. Mungkin karena saat itu
langit sedang mempersiapkan pertunjukan andalannya di ufuk barat; senja.
Mendengar
lanjutan cerita kakek dan merasai senja seperti sekarang ini, membuat aku
kembali teringat pada mantan pacarku. Ia tinggal di seberang. Kemarin sore, aku
mengajaknya ke kafe Serasan. Kafe pinggir sungai yang menjadi tempat favorit
kami. Aku datang terlebih dahulu dan memilih duduk di kursi paling pojok, yang
tepat berdiri di atas sungai. Tempat itu memungkinkan aku dan ia bisa menikmati
senja dan segala kehidupannya dengan lebih mempesona. Sayangnya, sore itu ia
tidak datang, tanpa kabar. Dan malamnya, selepas isya, ia mengirimkan pesan
singkat padaku, menginginkan hubungan kami diakhiri dan tak mau lagi bertemu.
“Dulunya,
negeri itu bernama surga, tempat tinggal sempurna untuk cinta dan keabadian.”
Telingaku terbakar mendengar cerita kakek, mataku yang tadinya takjub akan
cahaya yang memancar dari matanya berubah memicing. Jika surga saja bisa
berubah menjadi negeri keringkerontang, kenapa bumi tidak? Tapi tak kupotong
dengan tanyaku. Dan, ia terus saja bercerita.
“Hingga
suatu ketika, Tuhan menciptakan makhluk bernama manusia, yang kemudian
dijatuhkan ke bumi karena melanggar aturan di sana. Sejak saat itu, keadaan
berubah perlahan. Malaikat dan bidadari terlalu asik mengikuti perkembangan
orang-orang di bawah awan. Menyiasati cinta miliknya untuk orang-orang di bumi,
membagikan sesuka hati lalu mengambilnya kembali. Bagi mereka, senyum orang
bumi adalah ingkar yang paling dinanti. Bentuk cinta sederhana yang mereka beri
untuk keindahan atau penyesalan di masa depan. Mereka memang tidak bisa
mengendalikan hati semua orang bumi, dan disitulah letak keseruan permainan
ini. Menjodohjodohkan, menjadi trend
di negeri atas awan seabad setelah manusia bumi pertama diturunkan.”
“Jadi
kita yang ada di bumi hanya mainan bagi mereka di langit?” Pertanyaan itu
terlontar begitu saja. Betapa sialnya jadi manusia, hatinya tak lebih seperti
peliharaan. Padahal patah hati itu begitu menyakitkan. Sebenarnya, aku mulai
merasa tersindir oleh cerita kakek. Karena senyumku saat bersamanya dulu,
mungkin saja akan berbuah penyesalan. Aku cukup pesimis itu akan tetap menjadi
keindahan. Dan, apa mungkin, putusnya hubungan kami, karena penghuni negeri
atas awan?
“Aku
belum menyelesaikan ceritaku,” kakek protes.
“Lanjutkanlah,”
jawabku kecut.
“Istilah
itu sendiri mereka dapat dari pasangan bumi, yang seringkali berpikir telah
dipertemukan dengan jodohnya di bulan pertama mereka dijadikan korban panah
penghuni surga. Ya Tuhan, jika ia memang
jodohku, dekatkanlah, jika bukan,maka jadikanlah ia jodohku. Begitu kira-kira
doa yang acapkali memecah tawa penghuni surga. Tawa yang kemudian mencandu telinga
penghuninya, membuat mereka menyebarkan cintanya untuk orang bumi dan melupakan
cinta di negerinya; untuk dirinya sendiri dan teman seabadi.” Kakek bercerita
sambil mempraktikkan seseorang yang tengah berdoa.
Perutku
gatal terpingkal mendengar doa itu. Aku mulai bisa tertawa lepas semenjak tadi
malam. Kakek benar-benar mengikuti perkembangan anak muda, pikirku.
“Kenapa
tertawa? Sudah lupa kau, Nak, pada patah hatimu?”
Aku
kembali diam. “Ah, kakek ini,” kataku malu-malu. “Lanjutkan, Kek.”
“Setiap
malaikat atau bidadari, bisa mengendalikan lebih dari sepasang hati orang bumi.
Ibarat catur, mereka menguasai lebih dari satu pion. Mulai dari raja sampai
prajurit, mereka yang pegang kendali.”
Aku
kembali berpikir, mesti aku tidak tahu pasti berapa jumlah penghuni negeri
keringkerontang, bila satu bisa mengendalikan lebih, tentu banyak waktu yang
mereka habiskan untuk hati-hati itu. Dan, sudah pasti, karena permainan ini,
teman seabadi malaikat atau bidadari merasa sepi. Di negeriku, permainan hadir
untuk mengusir sepi, tapi di sana sebaliknya, justru permainan jodoh-menjodohkan
ini adalah trend penyebab sunyi.
Tapi
terkadang tidak juga. Aku pernah beberapa kali bertengkar dengannya karena
terlalu asik bermain playstation,
atau game-game online. Ia cemburu dan
merasa diduakan. Lihatlah, betapa egoisnya wanita. Tak mau dibandingkan satu
sama lain tapi merasa diduakan oleh sebuah permainan. Padahal, sejak dulu,
fitrah lelaki memanglah bermain, tentu saja selain memimpin. Kupikir tak ada
ayah yang sempurna bila tak bisa mengajak anaknya bermain. Tapi tentu tidak
seperti malaikat atau bidadari penghuni negeri keringkerontang itu, kami
–lelaki bumi, tidak memainkan hati orang lain, apalagi wanita. Setidaknya, itu
bukan aku.
“Kau
mendengarkan ceritaku?” Kakek memecah lamunanku. Mungkin sejak tadi ia memperhatikan
aku dari balik keriputnya. Karena sejak ceritanya mulai menyinggung masalah
hati, aku mulai melebarkan pandanganku ke arah sungai kesedihan, sambil
berharap, semoga kesedihanku hanyut bersama arusnya.
Aku
mengangguk, kakek benarkan letak kopiah putih di kepalanya dan kain sarungnya
yang tertiup angin, kemudian kembali melanjutkan kisahnya.
“Setiap
malam, kehampaan mengunjungi teman seabadi penghuni negeri keringkerontang,
menjinjing riuh masa lalu untuk kembali diputarkan dalam ingatan. Sudut-sudut
kafe mulai jarang didatangi, setelah sebagian dari mereka terlalu dalam
memainkan permainan ini, pavilion menjadi tempat sakral yang tidak boleh
ditinggalkan. Mereka hanya sesekali keluar untuk turun ke bumi, memanah hati penghuninya
kemudian kembali untuk mengendalikannya dari dalam sana. Bahkan ada seorang
malaikat yang akhirnya tinggal di bumi karena tidak ingin sedetik pun
tertinggal dari perkembangan hati yang ia mainkan.”
Lewat
telinga, cerita kakek terjebak di kepala, dan berhasil mengundang potret-potret
masa laluku ikut serta. Semakin panjang ia bercerita, semakin banyak wajah
mantan pacarku berlalulalang bersamanya. Rasa-rasanya ingin aku meminta kakek
menghentikan ceritanya, namun aku juga penasaran akan nasib malaikat atau
bidadari yang terabaikan di atas sana. Juga, nasib malaikat yang satu ini.
“Ada
malaikat yang akhirnya tinggal di bumi?”
“Boleh
aku selesaikan lebih dahulu ceritaku?”
Aku
jawab pertanyaannya dengan membusurkan pandanganku tepat pada matanya.
“Perubahan
itu membuat air mata teman seabadi penghuni negeri keringkerontang yang merasa
sepi seringkali jatuh. Tumpah deras, meresap ke dalam awan, tertampung
sementara waktu, hingga tak bisa lagi ditahan dan harus dilahirkan. Kejadian semacam
ini tidak hanya terjadi di malam hari. Hampir setiap waktu ada air mata yang
tercurah.”
Kakek
menghentikan ceritanya sampai di situ. Azan magrib terpaksa mengakhiri cerita
kakek. Wajah mantan pacarku dan jumlah penghuni negeri keringkerontang masih
bertarung di dalam kepala. Dan wajah cantik itu tetap jadi pemenangnya. Sekali
lagi, aku tidak tahu pasti jumlah penghuni negeri keringkerontang, tapi jika
itu terjadi selama berabad-abad, mungkin cerita kakek adalah sebab aliran air
di sungai kesedihan kota kami.
“Pulanglah.
Mandi, dan sholat. Selepas dari surau nanti, kita lanjutkan cerita ini.” Aku
mencium tangan Kakek kemudian ia
beranjak dari duduknya dan berjalan menyusuri bantaran sungai menuju surau di
dekat jembatan. Di langkah ketiganya ia membalikkan badan dan memanggilku,
“Nak, memang benar, ada malaikat yang tinggal di bumi, dan ia menetap di
hatimu.”
Kakiku
mengakar tanah, tubuhku kaku. Kakek menjauh perlahan tanpa menoleh, bayangannya
tinggi bergerak di atas sungai kesedihan kota kami. Aku merasa tak pernah memainkan
hati, juga mengawasi cinta orang lain. Atau, apa mungkin cinta kedua orang
tuaku?
Kerajaan
mantan pacar di kepalaku runtuh. Terkudeta kata-kata kakek.**
Pontianak, 27 Mei 2014
170515; 02:52 PM
ReplyDelete