1.
Tong
di matanya kembali pecah. Air suci jatuh membanjiri sudut mata Aruna. Mata yang
kini mematung, menatap jasad suaminya diangkat menuju liang lahat. Di
sampingnya, Rama mencoba menenangkan Aruna sambil memandang sekitar. Wajah-wajah
penuh kesedihan peninggalan mendiang. Di dalam hati mereka hujan turun,
sementara di hati Rama dan Aruna pelangi baru saja lahir.
2.
Malam
pertama setelah pemakaman.
Di
luar, keluarga besar Aruna masih berkumpul. Memanjatkan doa dan tahlil untuk
mendiang suami Aruna. Di kamar, Aruna duduk menghadap kaca meja rias sambil
melepaskan kerudung merah yang menutupi kepalanya. Ya, merah. Bukan hitam
seperti pakaian orang berkabung kebanyakan. Merah adalah warna kesukaannya.
Sesuai arti namanya dalam bahasa sansekerta. Rambut panjang Aruna kini terurai.
Hitam bergelombang. Seperti saat mata menatap jauh aspal baru daerah
perbukitan. Mahkota di kepalanya itu kemudian ia sisir. Perlahan. Penuh kehati-hatian.
Aruna
memalingkan wajah, kemudian menjatuhkannya kembali ke tempat tidur. Tempat
tidur besar yang sebagian ditutupi selimut bermotif zebra. Dengan dua buah
bantal dan satu guling bermotif sama. Lalu tersenyum lega.
3.
Hari
kedua setelah pemakaman.
Aruna
baru saja melewati malam perdananya menjanda. Sendiri di kamar tidur sebesar
ruang tamu rumah tipe 60. Satria Birama, mendiang suaminya adalah seorang
pengusaha kaya. Anak pertama dari dua bersaudara yang sudah tidak memiliki
orang tua itu bergerak di bisnis properti dan telah memiliki beberapa anak
perusahaan di kota berkembang sebagian provinsi. Pertemuan pertama mereka pun
tidak jauh dari urusan bisnis ini. Dulu, Aruna adalah sekretaris salah satu
rekan bisnis Satria. Meeting yang
seringkali harus mempertemukan mereka, membuat Satria jatuh hati pada Aruna.
Gadis berambut panjang yang sangat suka memadukan pakaiannya dengan warna
merah. Ya, dulu Aruna tidak mengenakan kerudung. Kerudung mulai lekat pada diri
Aruna semenjak pernikahannya dengan Satria, tiga tahun empat hari lalu.
Setelah
mandi dan berganti pakaian, Aruna berjalan menuju meja rias sambil mengeringkan
rambut panjangnya dengan handuk. Tiba-tiba, langkah Aruna terhenti, tepat dua
meter di depan tujuannya. Aruna terdiam. Bergidik. Kemudian memandang
sekeliling. Ia melangkah ragu menuju meja rias. Di hadapannya, tergeletak
setangkai mawar merah dan sebuah tulisan berwarna serupa di bawahnya. PEMBUNUH!
4.
Hari
ketiga setelah pemakaman.
Mata
Aruna membengkak. Semalaman indranya itu tak bisa terpejam. Yang bisa ia
lakukan hanya duduk berselimut di tempat tidur. Seluruh tubuhnya dipenuhi
ketakutan. Bahkan seekor nyamuk pun tak berani menggigit tubuh putih mulus
Aruna. Badannya pucat, darah dalam dirinya seakan hilang. Berganti kegamangan. Kemarin
sore, ia sudah menghubungi Rama, bercerita kejadian kemarin pagi dan meminta
Rama untuk menemaninya malam ini. Tapi apa mau dikata, mantan bosnya itu baru
saja tiba di luar kota, mengurusi bisnisnya.
Aruna
memberanikan diri menuju kamar mandi. Kemihnya sudah tak tahan menahan kencing
semalaman. Celananya ia pelorotkan, lalu menduduki closet. Tak lama, tergambar
lega pada parasnya. Kemudian kembali takut. Was-was pada sekitar. Selesai
melepas sisa-sisa metabolismenya, Aruna segera menekan tombol flush. Seketika cairan berwarna merah
memenuhi kloset. Pekat dan anyir. Darah.
5.
Hari
pertama, kedua, dan ketiga setelah pemakaman.
Setiap
malam, semua keluarga dan tetangga berkumpul. Membaca yasin, mengumandangkan
tahlil. Aruna tetap di dalam kamar. Tidak keluar. Bukannya tidak kemana-mana.
Kamar Aruna cukup luas untuk dapat kemana-mana. Bila tiba waktu makan, terpaksa
harus diantarkan sampai ke depan pintu kamar, kemudian diambilnya sendiri
setelah sepi. Mereka semua khawatir. Terkadang, terdengar suara barang
dibanting. Sudah sering membujuk, namun tidak juga membuahkan hasil. Mereka
takut, jiwa Aruna terguncang akibat kematian suaminya.
6.
Hari
keempat setelah pemakaman.
Aruna
kembali menghubungi Rama. Memintanya hadir malam ini. Menemani rasa takutnya
yang menjadi-jadi.
“Darah
Rama, darah! Aku yakin itu darah. Entah apa lagi yang akan muncul hari ini.
Pulanglah, temani aku malam ini saja. Mana janji yang kau ucapkan dulu? Aku
sudah melakukan semua ini untukmu. Untuk kita!”
Aruna
membanting handphone-nya. Berderai.
Berantakan. Ia hendak berteriak, tapi takut terdengar ke luar. Batinnya sesak.
Rambut panjangnya yang bergelombang, tidak luput dari pelampiasan. Dijambaknya
sendiri. Acak-acakan. Kepalanya ia benturkan ke dinding. Berulang-ulang. Jarinya
menggaruk-garuk lengan. Kuat. Berdarah. Depresi. Ia menangis. Sesenggukan.
Tertahan. Terpejam. Ia lelah ketakutan.
7.
Dua
hari menjelang pemakaman.
Hari
ini hari spesial. Tepat tiga tahun ulang tahun pernikahan Aruna dan Satria. Malam
nanti, Aruna merencanakan makan malam dengan suaminya. Di rumah, dengan makanan
kesukaan Satria, masakan dirinya.
8.
30
menit menjelang makan malam.
Aruna
berjalan menuju dapur untuk mengambil makanan sambil menggenggam mawar merah
yang baru saja diberikan suaminya sebagai hadiah. Sebelum mambawa makanan itu
ke meja makan, ia menuangkan cairan dari dalam botol. Di sudut dapur, seseorang
memperhatikan Aruna. Singgih, adik Satria, seorang difabel.
9.
Satu
hari sebelum makan malam.
“Ayolah!
Lakukan saja. Kau yang bilang, ini tidak akan berlangsung lama. Sudah hampir
tiga tahun Aruna. Tiga tahun! Aku membiarkan kalian. Ini. Pakai ini. Setelah
ini aku tidak akan melepasmu lagi, dari pelukku”, kata Rama sambil memberikan
sebuah botol kecil kepada Aruna.