Dia
memeluk tubuhku dari belakang, kemudian mengecup tengkukku. Hangat menyeruak
keseluruh penjuru tubuh. Aku sedikit bergelinjang
dibuatnya. Tangannya aku biarkan melingkar di perutku. Membuat rasa hangat ini
kian menyengat. Jantungku berdebar cepat, selalu begitu, seperti baru pertama
kali. Aku coba untuk menikmatinya dalam diam. Sebentar lagi masakan ini siap
dihidangkan. Hingga tiba-tiba ia memutar tubuhku.
“Selamat
pagi, sayang. I love you,” dia menyapaku sebelum akhirnya mendaratkan bibirnya
di bibirku. Aku rasa, aku tak perlu membalas sapaannya dengan kata-kata.
Bibirku sudah cukup mewakilinya.
“Tumben
udah bangun? Ini aku buatin kamu nasi goreng.”
Pagi
ini senyumnya masih seperti biasa, mempesona. Senyum yang aku kenal sebagai
pagi, walau seringnya aku yang bangun lebih dulu. Aku akan selalu menjadi
seekor ayam jantan yang membangunkan dunianya. Meski nyatanya aku seorang
betina.
“Ini
sudah jadi, makan dulu, gih.”
Aku
meletakkan sepiring nasi goreng, lengkap dengan telur mata sapi setengah matang
dan irisan mentimun, tidak lupa kerupuk mamang kesukaannya. Pula segelas air
putih dingin. Ya, dia berbeda dari lelaki kebanyakan. Jika lelaki umumnya
menyenangi kopi, dia malah menyukai air putih. Lebih lezat katanya. Belum lagi
kebiasaan-kebiasaannya yang lain. Selalu meneguk air putih setiap bangun tidur,
sebelum melakukan kegiatan apapun, kecuali mencium keningku. Itu pun kalau memang
dia bangun lebih cepat daripada aku. Terkadang, ketika aku hendak bangun,
kemudian melihat dia bergerak lebih dulu. Aku akan berpura-pura tidur, hanya
untuk menikmati kasih sayang yang turun dari ujung bibirnya pada bening
keningku.
Selain
itu dia juga tidak merokok. Sejak aku mengenalnya hingga kami berumah tangga,
tak pernah sekalipun aku melihatnya membakar benda mematikan itu. “Aku
menyayangi dirimu, diriku, juga masa depan kita. Aku tidak ingin mati karena
digerogoti penyakit, kemudian meninggalkan keluarga kita bersama penyesalanku.
Aku tidak ingin itu. Aku lebih ingin mati karena usia, karena menghabiskan
waktu bersamamu dengan bahagia.” Begitu katanya, ketika aku iseng menanyakan
alasan kenapa dia tidak merokok di malam pertama pernikahan kami.
Ia
mengunyah sambil sesekali melirikku yang sedang merapikan alat memasakku tadi.
Biasanya, dia akan menyuruhku duduk di sampingnya, memintaku untuk menemaninya
makan. Dan, tentu saja aku akan siap sedia melakukan itu untuknya. Pada
kunyahan pertama dia pasti akan bertingkah layaknya Pak Bondan, menyuap
perlahan nasi goreng di sendoknya ke dalam mulut, kemudian mengecap dan memuji
masakanku.
“Selalu
enak, rasa yang pas, suasana yang pas. Ada kamu, ada sarapan. Pagi ini aku
hidup”, katanya sambil tersenyum dalam topangan rahangnya yang tegas. Bila
sudah begitu, aku akan kembali menghidangkannya sepotong senyum senang dengan
taburan rona merah di pipiku yang berisi.
Walaupun
pagi ini sedikit berbeda, dia tetap menjalankan kebiasaan lucunya yang lain.
Selalu menyisihkan kuning telur setengah matang untuk dia nikmati paling akhir.
Bagian putih telur akan dia makan lebih dulu untuk menemani nasi goreng menari
di mulutnya. Juga mentimun, yang bagiku hanya sebagai hiasan pendukung
penampilan sebuah makanan, dijadikannya teman kunyahan. Aku teringat. Bila kami
sedang makan di luar, aku pasti selalu memindahkan potongan mentimun yang ada
di piringku ke piringnya. Sambil kemudian dia mulai mengomeli aku yang tidak
suka makan sayur, bahkan sepotong mentimun. Wajahnya yang mengomel sambil
menguyah pasti membuat aku tertawa. Sewotnya sama seperti ibuku, yang
seringkali memarahiku karena tidak menghabiskan sayur yang sengaja dituangnya
di piring saat aku kecil.
Satu
yang tidak pernah lepas darinya saat makan. Kerupuk. Apalagi kerupuk mamang,
kerupuk favoritnya. Pernah, suatu ketika di warung bakso, saat kami baru-baru
pacaran. Dia menggombali aku dengan kerupuk. “Aku kalau makan sukanya sama
kerupuk. Tapi kalau jatuh cinta, sukanya sama kamu.” Gombalan yang aneh. Atau
mungkin aku yang aneh, karena begitu menyenanginya. Spontanitas yang
mengejutkan. Sepotong senyum ranum dengan rona merah di pipiku yang berisi
kembali aku hidangkan.
“Sayang,
terima kasih untuk sarapan lezatnya pagi ini,” katanya menyudahi kunyahan
terakhir kuning telur setengah matang itu. Aku menghampirinya. Memintanya
menggeser kursi kemudian duduk di pangkuannya.
“Sama-sama
sayang. Terima kasih juga telah menjadikan aku pendampingmu. Sekarang, aku di
sini untuk berbakti kepadamu, di tiap hariku, di setiap tarikan napasku”,
jawabku sambil mengalungkan lenganku pada lehernya. Aku merasakan napasnya
mengalun di pipiku, begitu dekat. Hangat. Semakin dekat. Aku memejamkan mata.
Sedikit memiringkan kepala. Mulai menempelkan bibirku pada bibirnya.
“YUR..
SAYUUUURR.. SAYUURNYAA BUU SSAAYUUUURRR!!”
Aku
terkejut, lalu membuka mata, dan mendapati tubuhku tengah duduk di kursi meja
makan, bersama album-album foto pernikahan kami yang berserakan.
“Ah,
aku kembali memimpikannya. Di hari ke-18 setelah ia meninggal. Pasti karena
menikmati album foto ini semalaman.”
Aku
menyeka air mataku di sudut pipi, kemudian bangkit mengambil gelas menuju
dispenser. Aku meneguk segelas air putih sesaat setelah bangun, sama seperti
kebiasaan mendiang suamiku.
Keren.. Sugoiiii... (y)
ReplyDelete120515; 06:53 PM