Tuesday 24 December 2013

Pagi yang Lain

Standard

Dia memeluk tubuhku dari belakang, kemudian mengecup tengkukku. Hangat menyeruak keseluruh penjuru tubuh.  Aku sedikit bergelinjang dibuatnya. Tangannya aku biarkan melingkar di perutku. Membuat rasa hangat ini kian menyengat. Jantungku berdebar cepat, selalu begitu, seperti baru pertama kali. Aku coba untuk menikmatinya dalam diam. Sebentar lagi masakan ini siap dihidangkan. Hingga tiba-tiba ia memutar tubuhku. 
“Selamat pagi, sayang. I love you,” dia menyapaku sebelum akhirnya mendaratkan bibirnya di bibirku. Aku rasa, aku tak perlu membalas sapaannya dengan kata-kata. Bibirku sudah cukup mewakilinya.
“Tumben udah bangun? Ini aku buatin kamu nasi goreng.”  
Pagi ini senyumnya masih seperti biasa, mempesona. Senyum yang aku kenal sebagai pagi, walau seringnya aku yang bangun lebih dulu. Aku akan selalu menjadi seekor ayam jantan yang membangunkan dunianya. Meski nyatanya aku seorang betina.
“Ini sudah jadi, makan dulu, gih.” 
Aku meletakkan sepiring nasi goreng, lengkap dengan telur mata sapi setengah matang dan irisan mentimun, tidak lupa kerupuk mamang kesukaannya. Pula segelas air putih dingin. Ya, dia berbeda dari lelaki kebanyakan. Jika lelaki umumnya menyenangi kopi, dia malah menyukai air putih. Lebih lezat katanya. Belum lagi kebiasaan-kebiasaannya yang lain. Selalu meneguk air putih setiap bangun tidur, sebelum melakukan kegiatan apapun, kecuali mencium keningku. Itu pun kalau memang dia bangun lebih cepat daripada aku. Terkadang, ketika aku hendak bangun, kemudian melihat dia bergerak lebih dulu. Aku akan berpura-pura tidur, hanya untuk menikmati kasih sayang yang turun dari ujung bibirnya pada bening keningku.
Selain itu dia juga tidak merokok. Sejak aku mengenalnya hingga kami berumah tangga, tak pernah sekalipun aku melihatnya membakar benda mematikan itu. “Aku menyayangi dirimu, diriku, juga masa depan kita. Aku tidak ingin mati karena digerogoti penyakit, kemudian meninggalkan keluarga kita bersama penyesalanku. Aku tidak ingin itu. Aku lebih ingin mati karena usia, karena menghabiskan waktu bersamamu dengan bahagia.” Begitu katanya, ketika aku iseng menanyakan alasan kenapa dia tidak merokok di malam pertama pernikahan kami.
Ia mengunyah sambil sesekali melirikku yang sedang merapikan alat memasakku tadi. Biasanya, dia akan menyuruhku duduk di sampingnya, memintaku untuk menemaninya makan. Dan, tentu saja aku akan siap sedia melakukan itu untuknya. Pada kunyahan pertama dia pasti akan bertingkah layaknya Pak Bondan, menyuap perlahan nasi goreng di sendoknya ke dalam mulut, kemudian mengecap dan memuji masakanku.
“Selalu enak, rasa yang pas, suasana yang pas. Ada kamu, ada sarapan. Pagi ini aku hidup”, katanya sambil tersenyum dalam topangan rahangnya yang tegas. Bila sudah begitu, aku akan kembali menghidangkannya sepotong senyum senang dengan taburan rona merah di pipiku yang berisi.
Walaupun pagi ini sedikit berbeda, dia tetap menjalankan kebiasaan lucunya yang lain. Selalu menyisihkan kuning telur setengah matang untuk dia nikmati paling akhir. Bagian putih telur akan dia makan lebih dulu untuk menemani nasi goreng menari di mulutnya. Juga mentimun, yang bagiku hanya sebagai hiasan pendukung penampilan sebuah makanan, dijadikannya teman kunyahan. Aku teringat. Bila kami sedang makan di luar, aku pasti selalu memindahkan potongan mentimun yang ada di piringku ke piringnya. Sambil kemudian dia mulai mengomeli aku yang tidak suka makan sayur, bahkan sepotong mentimun. Wajahnya yang mengomel sambil menguyah pasti membuat aku tertawa. Sewotnya sama seperti ibuku, yang seringkali memarahiku karena tidak menghabiskan sayur yang sengaja dituangnya di piring saat aku kecil. 
Satu yang tidak pernah lepas darinya saat makan. Kerupuk. Apalagi kerupuk mamang, kerupuk favoritnya. Pernah, suatu ketika di warung bakso, saat kami baru-baru pacaran. Dia menggombali aku dengan kerupuk. “Aku kalau makan sukanya sama kerupuk. Tapi kalau jatuh cinta, sukanya sama kamu.” Gombalan yang aneh. Atau mungkin aku yang aneh, karena begitu menyenanginya. Spontanitas yang mengejutkan. Sepotong senyum ranum dengan rona merah di pipiku yang berisi kembali aku hidangkan.
“Sayang, terima kasih untuk sarapan lezatnya pagi ini,” katanya menyudahi kunyahan terakhir kuning telur setengah matang itu. Aku menghampirinya. Memintanya menggeser kursi kemudian duduk di pangkuannya.
“Sama-sama sayang. Terima kasih juga telah menjadikan aku pendampingmu. Sekarang, aku di sini untuk berbakti kepadamu, di tiap hariku, di setiap tarikan napasku”, jawabku sambil mengalungkan lenganku pada lehernya. Aku merasakan napasnya mengalun di pipiku, begitu dekat. Hangat. Semakin dekat. Aku memejamkan mata. Sedikit memiringkan kepala. Mulai menempelkan bibirku pada bibirnya.
“YUR.. SAYUUUURR.. SAYUURNYAA BUU SSAAYUUUURRR!!”
Aku terkejut, lalu membuka mata, dan mendapati tubuhku tengah duduk di kursi meja makan, bersama album-album foto pernikahan kami yang berserakan.
“Ah, aku kembali memimpikannya. Di hari ke-18 setelah ia meninggal. Pasti karena menikmati album foto ini semalaman.”
Aku menyeka air mataku di sudut pipi, kemudian bangkit mengambil gelas menuju dispenser. Aku meneguk segelas air putih sesaat setelah bangun, sama seperti kebiasaan mendiang suamiku.

1 comment: