Tuesday 15 July 2014

Gadis Kantor Pos

Standard

Jatuh cinta padanya itu seperti melompat dari gedung pencakar langit. Otakku berkata ini bodoh dan mendekati ajal. Sementara hatiku berkata, kau pasti bisa terbang.

Aku pertama kali melihat senyum itu di Kantor Pos, dua bulan lalu. Kalian tahu, Tuhan memang benar-benar pelukis yang Agung. Ia tidak hanya menggambar pelangi cembung di kanvas langit setelah hujan. Ia juga melukiskannya di wajah gadis itu, sebuah pelangi cekung yang timbul sehabis aku berdesakan dalam antrian. Sebentar, kupikir seharusnya berdesakan bukan berarti mengantri. Entahlah.Yang jelas, senyum itu yang membuat aku  melompat dari gedung pencakar langit setelah sebelumnya mempercayai kata hatiku.

Jadwal pertemuanku dengannya masih satu bulan lagi. Tapi, semenjak pertemuan pertama kami, aku selalu mencuri-curi waktu untuk melihat senyumnya. Dia akan ada di senin dan jum’at, di loket kanan kursi tunggu. Aku tahu karena aku terbiasa datang di hari itu dan melihatnya selalu ada di sana. Meski hanya beberapa menit. Karena tentu akan aneh bila aku duduk berlama-lama di kursi tunggu, apalagi jika sedang sepi.

Hampir dua bulan aku habiskan hanya dengan menikmati senyumnya dari kejauhan. Sama seperti hari ini. Aku terlalu takut untuk menemuinya. Walaupun sebenarnya, aku seorang pria pemberani. Aku berani memulai percakapan lebih dulu. Aku berani memuji wanita yang cantik menurutku. Jika kalian tak percaya, tanyakan saja pada Surti, mantan pacarku. Aku langsung memuji kecantikannya saat pertama kami berjumpa. Kemudian menggodanya dengan siulan. Di depan pangkalan ojek waktu itu.

Makin lama, rasa ini makin menggebu. Ada getar di dada saat mata kami tak sengaja bertemu. Seperti getar pada senar gitar, yang melantunkan nada merdu. Namun, tiba-tiba saja senar itu putus. Pak Satpam menepuk pundakku, membuyarkan lamunan, menanyakan keperluan. “Menunggu orang, Pak”, kataku gagap. Kemudian keluar meninggalkan lukisan Tuhan.
***

Ini jum’at terakhir di bulan kedua. Akhir bulan depan aku akan bertemu langsung dengannya. Hanya saja, aku sudah tidak sabar ingin menatapnya dekat. Hari ini, dengan tekad bulat, aku datang menjinjing sesuatu. Sebuah surat. Aku akan mengirimkan ini untuknya. Aku belum menuliskan alamat di amplop ini, sengaja aku biarkan dia yang membantuku menuliskannya.

Kertas di dalam amplop pun masih putih. Kosong. Tidak ada coretan sama sekali. Aku pernah mendengar sebuah lirik lagu dari radio tetangga, “kita terlahir bagai selembar kertas putih, tinggal kulukis dengan tinta pesan damai, kan terwujud harmoni”. Nantinya, dia yang akan menuliskan ‘kita’ di kertas putih ini. Karena tentu kalian tahu, kami akan menjadi harmoni yang penuh damai dalam kata itu. Kemudian, surat ini akan aku kirimkan ke hatinya. Tepat sesuai rencanaku. Semoga ini jum’at berkah.

Aku datang dengan pakaian terbaikku. Celana kain hitam yang aku beli di lelong kemarin. Kemeja kotak-kotak dengan sedikit lubang di kerah leher belakang. Dan sepatu pantopel hitam. Sebelumnya, aku jarang menggunakan sepatu. Langkahku terasa janggal hari ini. Biasanya hanya sandal jepit.

Di dalam, orang-orang mengular tepat di depan loket yang menghadap kursi tunggu. Tapi mereka tidak membawa surat, juga barang bungkusan. Aku tidak melihat amplop atau kotak di sana. Hanya kertas lecek, meski sebagian ada yang masih bagus. Menurut hematku, itu sebuah kertas rekening. Aku pernah melihatnya di rumah Pak Darto, pemilik kontrakan yang aku tinggali. Mungkin saja memang rekening, entah listrik atau air, aku tidak pernah bisa membedakannya.

Aku masih duduk di kursi tunggu. Tidak langsung menghampirinya. Aku membiarkan mataku memerhatikan senyum gadis itu dari jauh. Membiarkan bibir pelangi cekung miliknya menghipnotis mataku. Pipinya tertarik ke atas. Matanya kecil, dilindungi bulu mata jari penari. Lentik. Alisnya nyaris menyatu. Bertemu tepat di tengah. Tempat hidung bangirnya berdiri mewah. Mata ini selesai pemanasan. Sekarang, waktunya aku menghampirinya langsung. Membawa suratku. Semoga kuat. Tak gagap.

Aku merapikan pakaianku, kemudian melangkah maju.

“Silahkan, ada yang bisa dibantu?” katanya sambil tersenyum.

Ya Tuhan, dia tersenyum padaku. Hanya padaku. Pelangi itu kini tepat di depan mataku Tuhan. Izinkan aku memotongnya. Akan aku pajang dengan figura di ruang tamuku.

“Ng..anu. Mau kirim surat,” jawabku sambil menyodorkan amplop yang sedari tadi aku pegang.

“Alamatnya?”

“Bisa tolong dituliskan, mbak?”

“Ya..”

“Alamat hati mbaknya.”

Dia menatapku bingung. Kini, giliran aku yang memamerkan senyumku. Dengan barisan gigi agak kuning hasil cetakan rokok dan kopi.

“Sekalian di sini mbak. Kita.” Aku tak sengaja menyentuh tangannya ketika mengambil kembali amplop itu, dan dengan sengaja menahannya cukup lama, kemudian mengeluarkan secarik kertas putih di dalamnya. Dia melihatku aneh. Lalu mundur satu langkah.

“SATPAM!!”
***

Seharusnya ini hari menyenangkan untukku. Inilah hari dimana aku akan menatapnya dekat. Tapi setelah kejadian kemarin. Tentu saja tidak. Aku bahkan enggan datang ke sana. Aku tahu, hari ini dia akan berpindah ke loket sebelah kanan pintu keluar. Untuk melayani kami, penerima BLSM. Kalian tahu, dengan bantuan langsung pemerintah pun, aku tidak bisa mendapatkan cintaku, apalagi memperbaiki hidupku. Omong kosong!

Jatuh cinta padanya memang seperti melompat dari gedung pencakar langit. Dan harusnya, aku percaya kata otakku.


1 comment: