Ini
adalah malam ketiga aku terbangun ditengahnya. Dan, kau masih jadi orang
pertama yang muncul untuk aku ingat. Tidak, aku tahu betul, namamu tidak
dimulai dari abjad A, sehingga secara otomatis jadi yang terdepan di absensi
kepala. Pun, kau bukan wanita pertama dalam hidupku, yang lantas harus aku
spesialkan dalam tahta tertinggi ingatan. Kau, wanita yang akhirnya menetap,
dan hidup dalam dadaku; bersama dukaku.
Kau
adalah manis kesekian yang menjadi pahit. Pertemuan kita yang mencipta taman
bunga di musim semi perlahan berubah gersang, diterpa kemarau panjang. Aku
menyebut kesekian, karena bukan kau satu-satunya manis yang pernah aku rasa, dan
meninggalkan luka diakhir cerita. Setidaknya, kau tidak sendirian menyakitiku.
Hanya saja, kau memang yang pertama mampu memberiku sakit sedemikian parah.
Ibarat kata, aku seorang lelaki dan kau gula untuk setiap kopi. Tentu kau tahu,
aku bukan orang yang menyenangi pahit minuman yang bagi sebagian orang
pemancing inspirasi itu. Aku menyenanginya, karena kau ada di sana. Di tiap
teguk. Dua sampai tiga cangkir setiap hari. Hingga akhirnya aku mecandumu. Itu
hari-hari membahagiakan. Aku menikmatinya, kemudian ingin mati karenanya di
saat semua berubah jadi hari yang tanpa kau.
Kupikir
semua akan seperti sedia kala. Seperti saat aku berhasil melupakan masa laluku
dan menjalani hari bersamamu. Nyatanya tidak, mereka –beberapa teman wanita
yang kujadikan kandidat penggantimu, tetap tak mampu melengkapi apa yang telah
kau bawa pergi. Malah, ada yang memaksakan kehadiranmu di kencan pertama kami.
Parfum, memang mesin waktu. Aku menciumnya dan merasaimu. Padahal, segala
bentuk mesin menyebalkan itu sudah aku musnahkan. Sebab, kata orang, cara
terbaik melupakan adalah membuang yang tersisa. Meski ada beberapa foto kita
yang masih tertinggal dan tanpa sengaja aku temukan semalam.
Sial.
Mungkin
memang harus kuakui. Aku merindukanmu. Ah, lagi-lagi aku menyerah pada hati.
Jadi, bagaimana kabarmu sekarang?
*
Sama
seperti dua malam sebelum ini, kau datang dan pergi tanpa permisi dalam
mimpiku. Kau memang selalu begitu. Tentu aku ingat, saat-saat kita menjadi
dekat. Waktu itu, entah angin langit mana yang secara tiba-tiba membawa pesan
singkatmu ke ponselku.
Udah tidur, Bang?
Pesan
singkat yang kemudian membawa kita begadang hingga dini hari. Menjadi awal
hari-hari yang saling memberi kabar. Menangkap getar. Menjalinnya menjadi
lembar-lembar kata dan gambar dalam bingkai ingatan senyum lebar.
Kata
orang, menjalin hubungan dengan seseorang yang punya kesamaan menjamin
kelanggengan. Tapi nyatanya tidak. Dan lagi-lagi kau benar. Yang ‘katanya’ itu,
seringkali menyesatkan. Kita memang sama-sama senang membaca, hanya saja,
setiap cerita selalu memiliki akhir, katamu. Ah, aku terlalu banyak ingat tentang kau.
Aku
sering berpikir, pertemuan pertama kita di perpustakaan waktu itu benar-benar
konyol. Bukan konyol sebenarnya, hanya sedikit aneh. Itu kali pertama aku
berani bicara pada wanita asing yang menarik perhatianku. Sebelumnya, aku tak
pernah melakukan itu. Bila boleh kuterangkan, bukan takut, hanya saja itu bukan
gayaku.
“Kumcer
Milana? Buku bagus tuh,” kataku tanpa memandang matamu.
“O,
ya. Udah baca?”
Kita
pun bicara panjang lebar, tapi tak menemukan luas waktu yang mencukupi. Kau
tampak terburu-buru. Kita pun mengakhirinya dengan senyum tanpa tahu nama
masing-masing.
Selepas
itu, sebenarnya aku tidak terlalu memikirkanmu. Aku hanya takjub pada diriku
sendiri. Aku baru saja bicara pada seorang wanita asing yang menarik
perhatianku, bermodal sebuah buku. Ternyata, artikel manfaat membaca yang aku
baca tempo hari itu benar.
Tapi,
sepertinya Tuhan berkehendak lain. Atau mungkin kata orang yang kali ini benar,
jodoh tak lari kemana. Kita kembali bertemu di toko buku. Aku sudah melihatmu
sejak menjejakkan kaki di depan pintu. Kau datang berdua dengan seorang teman
wanitamu (belakangan aku tahu, ia adalah kemenakanmu). Tidak, aku tidak
langsung menguntitmu. Aku hanya menjaga jarak waktu itu. Mencari posisi yang
pas agar kau dapat melihatku. Setidaknya, aku ingin tahu, apakah kau masing
ingat aku, begitu pikirku.
Dan,
viola.. kau menyapa. Lagi-lagi, isi percakapan kita tak jauh dari buku.
Sesekali aku memerhatikan teman yang berada di sampingmu. Agaknya ia kurang
nyaman dengan percakapan kita, atau mungkin kehadiranku. Perpisahan kita kali
ini membawa bekal senyum lebar. Kita saling mengantongi nama dan nomor telepon.
Ah, ranum sekali merah di pipimu waktu itu. Tawamu pun terasa renyah dalam
telingaku. Segala hal tentangmu mendekam di kepalaku. Mengendap. Meski belum
sempat menginap. Karena semua kembali bertambah, lewat puluhan pesan singkat.
*
“Ada
kertas Abang yang keselip di buku kamu?” kataku dari seberang. Di malam saat
siang harinya kita bertemu untuk makan bersama, sekaligus menepati janjiku mengembalikan
bukumu.
“Bentar.
Ndak ada, Bang. Yang ada uang lima ribu,” katamu bingung.
Semoga
saja kau tidak menuduhku modus waktu itu. Meski memang kuakui, aku
melakukannya. Aku sengaja meminjam bukumu. Aku lupa judulnya. Aku hanya ingat,
aku akan mengembalikan buku itu seminggu setelahnya, di sebuah makan siang
bersama. Semua terencana. Untuk wanita semenarik kau, otakku selalu mampu
berpikir lebih cepat daripada ketika harus memahami cerpen-cerpen Murakami.
Kita
bertemu di sebuah gerai makanan cepat saji. Aku sedang ingin mocca float dan kangen kulit ayamnya,
katamu. Meski aku paling anti dengan fastfood,
akhirnya aku menurut juga. Paling tidak, itu awal yang baik untuk aku tahu apa
yang kau suka. Karena untuk hobi, aku sudah tahu satu.
Entah
sadar atau tidak. Di saat kau asik dengan makananmu. Aku seperti terhipnotis.
Mataku memaku parasmu. Seakan kau pusat tata surya dan aku berotasi dalam
orbitnya. Mata kecilmu terbingkai indah oleh kacamata dengan frame hitam.
Mungkin sebenarnya kau tidak benar-benar membutuhkan kacamata untuk melihat.
Hanya saja, Tuhan tidak ingin karya terbaiknya cepat rusak. Hingga Ia
memberinya figura.
Rambutmu
tergerai panjang. Lurus dan hitam. Seperti langit tanpa bintang. Kau menghabiskan
makananmu dengan lahap layaknya anak kecil.
Sisa saus tersesat di bawah bibirmu. Anehnya aku justru merasa gemas dan lucu.
Uang
lima ribu yang terselip di bukumu itu, bukan sebuah kesengajaan. Aku sedang
membaca, ketika teman yang aku tunggu datang, hanya uang itu, sisa kembalian
minuman yang ada di atas meja dan aku gunakan sebagai pembatas. Aku tidak
sedang melancarkan modus kedua. Atau mungkin Tuhan yang sengaja melakukannya?
Yang jelas, karenanya, kita kembali bertemu. Sekedar menghabiskan sore
sekaligus mengembalikan kepunyaanku, katamu.
*
Maaf, kita
putus. Makasih buat enam bulan ini. Makasih buat semuanya.
Pesan itu masih aku simpan dalam folder ponselku. Pesan
yang benar-benar singkat, untuk memutuskan cerita yang singkat pula. Aku
berharap penulis cerita kita tidak benar-benar menamatkan kisah ini. Semoga Ia
hanya sedang tidak punya ide untuk melanjutkannya.
Setelah menerima pesan itu, aku berusaha menghubungimu.
Meminta temu. Paling tidak kau beri aku penjelasan, atau satu alasan mengapa
memilih berpisah. Sebab, selama ini, aku rasa hubungan kita baik-baik saja. Itu
hal yang berat, kamu tak punya salah apa pun, tapi semua memang lebih baik
begini, katamu.
Kisah yang singkat, debar yang singkat, rindu yang
panjang. Selama dua bulan ini aku mencoba segalanya untuk melupakanmu. Kepala
aku kosongkan, tapi hati semakin terisi. Aku ingin kau hilang, tapi rindu
selalu datang. Bukannya aku tak berani menanyakan kabar. Hanya saja gengsi ini
terlalu besar. Kau yang mencampakkanku. Dan aku tak ingin kau jadi besar kepala
karena akulah yang pertama menghubungimu.
Seminggu lalu kau mengembalikan buku yang kau pinjam
dariku lewat temanmu. Aku bahkan sudah lupa kau pernah meminjam buku itu.
Mungkin kau memang tak ingin lagi melihat wajahku. Hingga untuk
mengembalikannya saja, kau minta bantuan seorang teman. Sejak hari itu, aku
berjanji pada diriku sendiri; tak akan ada kau lagi di hati.
Sialnya, aku kembali terbangun malam ini. Itu gara-gara
kau yang hadir lagi dalam mimpiku. Tidak. Aku tidak akan melakukannya. Menghubungimu,
sama saja dengan menghancurkan benteng yang telah berbulan-bulan aku bangun
lewat satu sentuhan. Walau sudah tiga malam kau datang tiba-tiba. Sebentar,
bukankah buku ini yang kemarin kau pinjam?
Buku dengan kover warna merah mencolok itu tiba-tiba
menarik mataku. Bidadari yang Mengembara, tertulis tegas di depan. Aku membuka
lembar demi lembar. Semua cerpen di buku ini sudah aku baca. Entah kenapa,
jemariku sangat ingin membolak-balikkannya. Sampai di pertengahan buku, aku
terdiam. Tuanku Imam Bonjol menatapku dalam.
Aku segera mengambil ponsel di meja tepi ranjang. Tanpa
pikir panjang, aku menulis sebuah pesan dan mengirimkannya.
Kamu udah
tidur?***
Pontianak, 11 September 2014
Kerenn..
ReplyDelete"cara terbaik melupakan seseorang adalah membuang apa yang tersisa" kalo menurut ku kenapa harus melupakan seseorang? Kalo kita bisa berdamai dengan masa lalu, menerima nya sebagai bagian dari jalan hidup yang harus disyukuri :)
Oh.. kapan-kapan mampir lah juga baca sedikit cerita di : http://callmedreamerrr.blogspot.com/ :)
kita damai, belum tentu yang lain juga
ReplyDeletehahaha
siap siap :D
260515; 06:49 PM
ReplyDelete