Thursday, 11 September 2014

Pertanda

Standard

Ini adalah malam ketiga aku terbangun ditengahnya. Dan, kau masih jadi orang pertama yang muncul untuk aku ingat. Tidak, aku tahu betul, namamu tidak dimulai dari abjad A, sehingga secara otomatis jadi yang terdepan di absensi kepala. Pun, kau bukan wanita pertama dalam hidupku, yang lantas harus aku spesialkan dalam tahta tertinggi ingatan. Kau, wanita yang akhirnya menetap, dan hidup dalam dadaku; bersama dukaku.

Kau adalah manis kesekian yang menjadi pahit. Pertemuan kita yang mencipta taman bunga di musim semi perlahan berubah gersang, diterpa kemarau panjang. Aku menyebut kesekian, karena bukan kau  satu-satunya manis yang pernah aku rasa, dan meninggalkan luka diakhir cerita. Setidaknya, kau tidak sendirian menyakitiku. Hanya saja, kau memang yang pertama mampu memberiku sakit sedemikian parah. Ibarat kata, aku seorang lelaki dan kau gula untuk setiap kopi. Tentu kau tahu, aku bukan orang yang menyenangi pahit minuman yang bagi sebagian orang pemancing inspirasi itu. Aku menyenanginya, karena kau ada di sana. Di tiap teguk. Dua sampai tiga cangkir setiap hari. Hingga akhirnya aku mecandumu. Itu hari-hari membahagiakan. Aku menikmatinya, kemudian ingin mati karenanya di saat semua berubah jadi hari yang tanpa kau.

Kupikir semua akan seperti sedia kala. Seperti saat aku berhasil melupakan masa laluku dan menjalani hari bersamamu. Nyatanya tidak, mereka –beberapa teman wanita yang kujadikan kandidat penggantimu, tetap tak mampu melengkapi apa yang telah kau bawa pergi. Malah, ada yang memaksakan kehadiranmu di kencan pertama kami. Parfum, memang mesin waktu. Aku menciumnya dan merasaimu. Padahal, segala bentuk mesin menyebalkan itu sudah aku musnahkan. Sebab, kata orang, cara terbaik melupakan adalah membuang yang tersisa. Meski ada beberapa foto kita yang masih tertinggal dan tanpa sengaja aku temukan semalam.

Sial.

Mungkin memang harus kuakui. Aku merindukanmu. Ah, lagi-lagi aku menyerah pada hati. Jadi, bagaimana kabarmu sekarang?
*

Sama seperti dua malam sebelum ini, kau datang dan pergi tanpa permisi dalam mimpiku. Kau memang selalu begitu. Tentu aku ingat, saat-saat kita menjadi dekat. Waktu itu, entah angin langit mana yang secara tiba-tiba membawa pesan singkatmu ke ponselku.

Udah tidur, Bang?

Pesan singkat yang kemudian membawa kita begadang hingga dini hari. Menjadi awal hari-hari yang saling memberi kabar. Menangkap getar. Menjalinnya menjadi lembar-lembar kata dan gambar dalam bingkai ingatan senyum lebar.

Kata orang, menjalin hubungan dengan seseorang yang punya kesamaan menjamin kelanggengan. Tapi nyatanya tidak. Dan lagi-lagi kau benar. Yang ‘katanya’ itu, seringkali menyesatkan. Kita memang sama-sama senang membaca, hanya saja, setiap cerita selalu memiliki akhir, katamu.  Ah, aku terlalu banyak ingat tentang kau.

Aku sering berpikir, pertemuan pertama kita di perpustakaan waktu itu benar-benar konyol. Bukan konyol sebenarnya, hanya sedikit aneh. Itu kali pertama aku berani bicara pada wanita asing yang menarik perhatianku. Sebelumnya, aku tak pernah melakukan itu. Bila boleh kuterangkan, bukan takut, hanya saja itu bukan gayaku.

“Kumcer Milana? Buku bagus tuh,” kataku tanpa memandang matamu.

“O, ya. Udah baca?”

Kita pun bicara panjang lebar, tapi tak menemukan luas waktu yang mencukupi. Kau tampak terburu-buru. Kita pun mengakhirinya dengan senyum tanpa tahu nama masing-masing.

Selepas itu, sebenarnya aku tidak terlalu memikirkanmu. Aku hanya takjub pada diriku sendiri. Aku baru saja bicara pada seorang wanita asing yang menarik perhatianku, bermodal sebuah buku. Ternyata, artikel manfaat membaca yang aku baca tempo hari itu benar.

Tapi, sepertinya Tuhan berkehendak lain. Atau mungkin kata orang yang kali ini benar, jodoh tak lari kemana. Kita kembali bertemu di toko buku. Aku sudah melihatmu sejak menjejakkan kaki di depan pintu. Kau datang berdua dengan seorang teman wanitamu (belakangan aku tahu, ia adalah kemenakanmu). Tidak, aku tidak langsung menguntitmu. Aku hanya menjaga jarak waktu itu. Mencari posisi yang pas agar kau dapat melihatku. Setidaknya, aku ingin tahu, apakah kau masing ingat aku, begitu pikirku.

Dan, viola.. kau menyapa. Lagi-lagi, isi percakapan kita tak jauh dari buku. Sesekali aku memerhatikan teman yang berada di sampingmu. Agaknya ia kurang nyaman dengan percakapan kita, atau mungkin kehadiranku. Perpisahan kita kali ini membawa bekal senyum lebar. Kita saling mengantongi nama dan nomor telepon. Ah, ranum sekali merah di pipimu waktu itu. Tawamu pun terasa renyah dalam telingaku. Segala hal tentangmu mendekam di kepalaku. Mengendap. Meski belum sempat menginap. Karena semua kembali bertambah, lewat puluhan pesan singkat.
*

“Ada kertas Abang yang keselip di buku kamu?” kataku dari seberang. Di malam saat siang harinya kita bertemu untuk makan bersama, sekaligus menepati janjiku mengembalikan bukumu.

“Bentar. Ndak ada, Bang. Yang ada uang lima ribu,” katamu bingung.

Semoga saja kau tidak menuduhku modus waktu itu. Meski memang kuakui, aku melakukannya. Aku sengaja meminjam bukumu. Aku lupa judulnya. Aku hanya ingat, aku akan mengembalikan buku itu seminggu setelahnya, di sebuah makan siang bersama. Semua terencana. Untuk wanita semenarik kau, otakku selalu mampu berpikir lebih cepat daripada ketika harus memahami cerpen-cerpen Murakami.

Kita bertemu di sebuah gerai makanan cepat saji. Aku sedang ingin mocca float dan kangen kulit ayamnya, katamu. Meski aku paling anti dengan fastfood, akhirnya aku menurut juga. Paling tidak, itu awal yang baik untuk aku tahu apa yang kau suka. Karena untuk hobi, aku sudah tahu satu. 

Entah sadar atau tidak. Di saat kau asik dengan makananmu. Aku seperti terhipnotis. Mataku memaku parasmu. Seakan kau pusat tata surya dan aku berotasi dalam orbitnya. Mata kecilmu terbingkai indah oleh kacamata dengan frame hitam. Mungkin sebenarnya kau tidak benar-benar membutuhkan kacamata untuk melihat. Hanya saja, Tuhan tidak ingin karya terbaiknya cepat rusak. Hingga Ia memberinya figura.

Rambutmu tergerai panjang. Lurus dan hitam. Seperti langit tanpa bintang. Kau menghabiskan makananmu dengan lahap layaknya anak kecil. Sisa saus tersesat di bawah bibirmu. Anehnya aku justru merasa gemas dan lucu.

Uang lima ribu yang terselip di bukumu itu, bukan sebuah kesengajaan. Aku sedang membaca, ketika teman yang aku tunggu datang, hanya uang itu, sisa kembalian minuman yang ada di atas meja dan aku gunakan sebagai pembatas. Aku tidak sedang melancarkan modus kedua. Atau mungkin Tuhan yang sengaja melakukannya? Yang jelas, karenanya, kita kembali bertemu. Sekedar menghabiskan sore sekaligus mengembalikan kepunyaanku, katamu.
*

Maaf, kita putus. Makasih buat enam bulan ini. Makasih buat semuanya.

Pesan itu masih aku simpan dalam folder ponselku. Pesan yang benar-benar singkat, untuk memutuskan cerita yang singkat pula. Aku berharap penulis cerita kita tidak benar-benar menamatkan kisah ini. Semoga Ia hanya sedang tidak punya ide untuk melanjutkannya.

Setelah menerima pesan itu, aku berusaha menghubungimu. Meminta temu. Paling tidak kau beri aku penjelasan, atau satu alasan mengapa memilih berpisah. Sebab, selama ini, aku rasa hubungan kita baik-baik saja. Itu hal yang berat, kamu tak punya salah apa pun, tapi semua memang lebih baik begini, katamu.

Kisah yang singkat, debar yang singkat, rindu yang panjang. Selama dua bulan ini aku mencoba segalanya untuk melupakanmu. Kepala aku kosongkan, tapi hati semakin terisi. Aku ingin kau hilang, tapi rindu selalu datang. Bukannya aku tak berani menanyakan kabar. Hanya saja gengsi ini terlalu besar. Kau yang mencampakkanku. Dan aku tak ingin kau jadi besar kepala karena akulah yang pertama menghubungimu.

Seminggu lalu kau mengembalikan buku yang kau pinjam dariku lewat temanmu. Aku bahkan sudah lupa kau pernah meminjam buku itu. Mungkin kau memang tak ingin lagi melihat wajahku. Hingga untuk mengembalikannya saja, kau minta bantuan seorang teman. Sejak hari itu, aku berjanji pada diriku sendiri; tak akan ada kau lagi di hati.

Sialnya, aku kembali terbangun malam ini. Itu gara-gara kau yang hadir lagi dalam mimpiku. Tidak. Aku tidak akan melakukannya. Menghubungimu, sama saja dengan menghancurkan benteng yang telah berbulan-bulan aku bangun lewat satu sentuhan. Walau sudah tiga malam kau datang tiba-tiba. Sebentar, bukankah buku ini yang kemarin kau pinjam?

Buku dengan kover warna merah mencolok itu tiba-tiba menarik mataku. Bidadari yang Mengembara, tertulis tegas di depan. Aku membuka lembar demi lembar. Semua cerpen di buku ini sudah aku baca. Entah kenapa, jemariku sangat ingin membolak-balikkannya. Sampai di pertengahan buku, aku terdiam. Tuanku Imam Bonjol menatapku dalam.

Aku segera mengambil ponsel di meja tepi ranjang. Tanpa pikir panjang, aku menulis sebuah pesan dan mengirimkannya.

Kamu udah tidur?***


Pontianak, 11 September 2014

3 comments:

  1. Kerenn..

    "cara terbaik melupakan seseorang adalah membuang apa yang tersisa" kalo menurut ku kenapa harus melupakan seseorang? Kalo kita bisa berdamai dengan masa lalu, menerima nya sebagai bagian dari jalan hidup yang harus disyukuri :)

    Oh.. kapan-kapan mampir lah juga baca sedikit cerita di : http://callmedreamerrr.blogspot.com/ :)

    ReplyDelete
  2. kita damai, belum tentu yang lain juga
    hahaha
    siap siap :D

    ReplyDelete