Tuesday 23 September 2014

Ayah dan Penghuni Pohon-Pohon Tinggi

Standard
Dimuat di Suara Merdeka edisi 14 Desember 2014

Air yang masuk membangunkanku. Awalnya kupikir sedang bermimpi, namun dingin yang tiba-tiba menyentuh tanganku yang menggantung di bibir kasur membuat aku sadar. Aku segera mengidupkan lampu, menuju ruang tamu dan berteriak memanggil ibu. Barang-barang elektronik aku larikan ke lantai dua. Ibu masih linglung di pintu kamarnya.

“Air pasang lagi, Bu!”

Kami berlari naik-turun tangga, menyelamatkan perabot di lantai bawah.

Malam itu aku dan para tetangga dibuat sibuk oleh air pasang. Kemarin, hujan hanya sekali mengetuk atap rumah kami. Bahkan, airnya tak sempat pindah dan bermukim di tempayan-tempayan samping rumah. Tapi, air sungai Kapuas tiba-tiba saja meninggi. Kiriman nikmat Tuhan itu datang berbondong-bondong, menyapa tanpa pertanda.

“Hujan di hulu pasti deras sekali. Sudah dua kali tahun ini,” kataku pada ibu.

“Doakan saja air surut dan ayahmu segera pulang.”

Aku diam. Belakangan, air pasang memang membawa serta ayah pulang. “Kalau ayah merasa punya rumah, ia pasti pulang.” Aku bersuara, kemudian meninggalkan ibu naik ke lantai dua.

Di tepi jendela, mataku leluasa memandang hamparan coklat air sungai Kapuas. Dengan jembatan Kapuas 1 yang gagah mengangkanginya. Gertak[1] tempat kami biasa berlalu-lalang hilang terendam. Beberapa sandal pun ikut hanyut ke tengah sungai. Perlahan, gerimis mulai turun, ribut beramai-ramai bersama angin, mengepak-ngepakkan atap seng tetangga yang lepas pakunya. Langit gulita. Jendela aku tutup, berlindung dari tusukan sejuk.

Aku kembali memikirkan kata-kata ibu. Ayah pergi dari rumah saat aku berusia sepuluh tahun. Tiga bulan setelah kakek wafat. Sebenarnya, sudah lama ayah ingin pergi ke hulu. Ke kampung halamannya. Namun selalu saja dilarang kakek. Entah karena apa. Seperti ada rahasia di antara mereka berdua.

“Itu cerita lalu, lupakan saja. Sekarang kita sudah tinggal di sini,” kata kakek sekali waktu saat bertengkar perihal ayah yang ingin kembali ke hulu.

“Aku mau bertemu ibu,” pekik ayah.

Aku tak tahu apa yang mereka ributkan. Ibu selalu saja diam saat aku tanya tentang ayah dan kakek. Pun, ketika aku menanyakan nenek. Ibu hanya berkata bahwa nenek sudah meninggal. Sementara ayah dan kakek tak pernah menanggapi. Aku bingung kenapa ayah ingin menemuinya.

Yang aku tahu dari keluarga kami: awalnya, kakek dan ayah merantau ke mari. Hanya berdua tanpa keluarga lain. Ayah, anak kakek satu-satunya. Mereka pindah ke Pontianak saat ayah berumur lima tahun. Kemudian kakek bekerja sebagai kuli angkut pelabuhan, dan saat usia belasan ayah sudah mulai membawa sampan untuk mengangkut orang-orang dari seberang ke pusat kota. Ayah dan ibu bertemu di sana, mereka jatuh cinta, menikah dan melahirkan aku seorang. Ibu anak yatim piatu yang besar di panti asuhan. Jadilah kami keluarga pendatang, saudara-saudara kami hanya ada hulu saja.

Kakek orang yang menyenangkan. Entah apa yang membuat ia dan putranya bertengkar. Setiap malam kakek sering mendongeng. Satu yang paling aku ingat, cerita tentang Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie saat pertama kali membuka kota ini. Beliau diganggu kuntilanak. Penghuni pohon-pohon tinggi. Kata kakek, hantu wanita itu senang tertawa atau kadang merintih tiba-tiba. Suaranya selalu membuat bulu kuduk merinding. Rambut panjangnya seperti akar-akar beringin. Wajahnya rusak tak beraturan. Beruntung aku tak pernah melihatnya langsung.

Mengenai kuntilanak, temanku juga pernah bercerita. Ia suka mengganggu ibu yang tengah hamil tua dan menculik bayinya. Selain itu, saat hujan panas tiba, biasanya mereka akan muncul. Duduk di dahan pohon tempat mereka tinggal.

“Pantas ibu melarangku bermain saat hujan panas, nanti dikencingi kuntilanak,” kataku menjelaskan padanya waktu itu.

“Kau hanya perlu menyelipkan rumput muda di telinga sebagai penangkalnya.” Aku ingat betul nasehat temanku. Hingga kini pun, saat hujan panas turun, aku masih melakukannya.

Temanku yang satu itu sudah meninggal lima tahun lalu. Mayatnya tak pernah ditemukan sejak dinyatakan hilang dan berhari-hari dalam pencarian. Kata sebagian orang, itu bulan-bulan puake[2] meminta korban. Jika aku tidak salah, pada malam sebelum ia hilang, aku melihatnya mengayuh sampan ke tepi jembatan Kapuas, sambil menenteng gulungan benang. Kupikir ia pergi memancing. Tapi, kata ibu –mendengar cerita dari para tetangga, ia hilang saat magrib menjelang. Sejak saat itu, ibu semakin sering mengingatkan aku untuk tidak ke tepi sungai saat azan berkumandang. Nanti kau dimakan puake dan hilang, katanya.

Aku tidak serta-merta percaya kata-kata ibu. Pernah sekali waktu, aku mangkir sholat magrib dan duduk di bantaran sungai. Ibu berjalan lebih dulu di depanku menuju surau di ujung gertak. Aku sengaja memperlambat langkah dan pergi ke bawah jembatan Kapuas. Kepulangan matahari membuat tempat itu remang. Hanya lampu-lampu kuning lima watt di sepanjang gertak yang menjadi sumber terang. Tak ada yang aku perbuat. Duduk dan menunggu waktu sholat selesai. Terkadang, kupikir, temanku tak pernah pergi. Siapa tahu ia hanya jalan-jalan dan lupa pulang.

Tiba-tiba sepotong tangan menjewer telingaku.

“Apa yang kau lakukan di sini?” suara ibu memekik.

“Aku hanya mau lihat puake itu!” kataku dengan kepala mengikuti tarikan tangannya.

Bodo bale[3]!”

Ibu menarikku pulang. Sepanjang jalan ia mengoceh. Panjang lebar. Bahkan gertak itu pun masih kurang luas. Ia melanjutkannya di ruang tamu.

“Jangan takabur! Kau pikir kenapa temanmu itu tenggelam? Di hulu sana, banyak pohon ditebang. Banyak tambang yang bikin air jadi coklat seperti sekarang. Belum lagi pabrik di tepi sungai itu. Kemarin, satu kampung di seberang gatal-gatal. Kalau bukan puake yang jadi penjaga. Hancur sungai kita, Nak!”

Aku hanya diam. Tak melawan, juga tak berani menatap wajah ibu. Kupikir, puake sedang ada di hadapanku.
*

Ibu datang menghampiriku. Guratan keriput di pipinya tampak jelas di bawah sinar lampu. Matanya merah. Telapak kakinya pun masih basah. Meninggalkan jejak-jejak hitam di lantai kayu rumah kami. Ibu duduk sebentar di sampingku, kemudian berjalan menuju kamarnya.

Aku kasihan melihat ibu. Terkadang aku juga mengutuk ayah. Ia semakin jarang pulang. Hanya kiriman uangnyalah yang sampai di rumah. Sesekali juga ada oleh-oleh yang ia titipkan pada temannya untuk kami. Dulu, satu dua tahun pertama ia kembali ke hulu, tiap dua bulan sekali ia pulang. Meski hanya dua atau tiga hari saja. Itu pun dengan satu hari yang ia khususkan untuk ke seberang. Ke rumah touke cukong kayu, bos besar tempat ia bekerja.

Ayah hampir tak pernah menanyakan bagaimana sekolahku. Tidak seperti saat kakek masih ada dan ia tinggal di sini bersama kami. Waktu itu, setiap malam ayah menemani aku belajar. “Kau harus pintar dan tak boleh jadi orang tertinggal,” katanya. “Biar ayah ibumu saja yang seperti ini.” Jika sudah begitu, semangatku berlipat-lipat.

Suatu hari aku pernah bertanya pada ibu, saat ayah baru saja kembali pergi. Kedatangannya semakin singkat kali ini. Hanya menginap semalam. Aku bahkan tak sempat bicara padanya. Ia hanya menyapaku dua kali; saat datang dan hendak pergi.

“Kenapa ayah cepat sekali pergi, Bu?”

“Di seberang, truk, parang dan chain saw[4] telah menunggu ayah untuk kembali ke hulu.”

“Memangnya apa pekerjaan ayah?”

“Memburu pembunuh nenek.”

Aku tidak mengerti maksud perkataan ibu. Aku hanya melihat wajahnya merah padam. Matanya penuh kaca. Lidahku mendadak kelu saat mendengar kata-katanya. Mungkin ini alasan kenapa ayah dan kakek tak pernah menanggapi pertanyaanku perihal nenek. Jika nenek benar dibunuh, bukankah itu sudah belasan tahun lamanya. Kenapa baru sekarang ayah mencari? Dan, bukankah sebagian besar daerah hulu adalah hutan dengan pohon-pohon tinggi?

Sekarang umurku sudah belasan dan masih saja tak mengerti yang dikatakan ibu. Yang aku tahu, ayah hanyalah seorang penebang pohon biasa. Bekerja di perusahaan kayu besar milik seorang tionghoa.

Malam itu aku tertidur di dipan samping jendela. Tiba-tiba, aku mendengar suara tawa cekikikan seorang wanita. Semilir angin berputar di tengkukku. Bulu kudukku merinding. Tak lama, suara itu berubah menjadi tangis. Tampak sedih dan dalam. Semua luka di bumi seakan sedang dijabarkan. Aku bergeming. Tak aku gerakkan sedikit pun tubuhku. Lebih tepatnya, aku beku dalam takut. Aku berusaha membaca doa-doa yang aku hapal. Suara itu meninggi rendah. Seperti tertiup angin. Datang dan pergi. Aku tak berani membuka mata. Wajahku kututupi tangan. Tak boleh ada sedikit pun lubang untuk aku melihat. Tak boleh ada sedikit pun celah untuk cahaya masuk. Kemudian suara itu menghilang, berganti denyit langkah kaki seseorang. Ada yang datang menghampiriku.

Mendadak, mataku silau. Seperti ada lampu neon terang tepat di depan bola mata. Remang kemudian datang. Tawa cekikikan wanita itu mengikutinya. Aku melihat ayah sedang menenteng chain saw dan mengarahkannya pada sebuah pohon besar. Di salah satu rantingnya, seseorang bergaun putih panjang dengan rambut hitam menggantung hingga pantat, duduk sambil menggendong bayi. Wajahnya tertutup rambut setengah. Setengahnya lagi hancur. Bola matanya terlalu ke samping. Hanya tertahan di ujung kelopak sebelum jatuh. Pipinya penuh koreng, berwarna rongsokan besi tua. Dari lubang hidungnya menetes darah. Tepat di bibirnya, belatung bergantung.

“Kau harus mati!” teriak ayah. Entah kenapa aku bisa mendengar suaranya. Lantang. Suara mesin chain saw dan cekikikan kuntilanak itu padam.

Aku memekik memanggil ayah. Namun, suaraku tak keluar. Tertahan di ujung lidah. Malah tawa wanita itu yang semakin kencang. Kakinya ia ayun-ayunkan. Kemudian terbang dari atas dahan. Turun menuju ayah. Ayah tak melihat ke atas. Matanya menembak tepat batang pohon itu. Aku berkali-kali memanggilnya. Tetap saja tak bersuara. Sial. Kakiku pun tak bisa melangkah. Memaku tanah. Seperti ada akar pohon yang membelit. Aku mencoba teriak berulang-ulang. Sia-sia. Kuntilanak itu tepat berdiri di depan ayah. Ayah terkejut. Gergaji chain saw berusaha ia hunuskan ke wanita itu. Namun, terjepit di batang pohon. Ayah jatuh terduduk. Bayi di gendongan wanita itu entah kemana. Tangannya menjalar ke depan. Hendak mencekik leher ayah. Aku berteriak sekuat tenaga. Kakiku aku paksa melangkah. Keras. Tak bisa bergerak. Jantungku berdegup cepat. Seluruh tubuhku meronta. Hingga aku tersungkur di tanah.

Aku terbangun. Kemudian duduk. Napasku tergesa. Entah memburu apa. Ibu sudah ada di depanku, berdua dengan ayah.

“Kau baik-baik saja?” tanya ayah. Aku diam, tak menjawab. Segera kurobohkan tubuhku di peluknya.

“Ayahmu kembali pulang disurutnya air pasang, kan?” tanya ibu minta disetujui.

“Tak usah pergi lagi. Biar air tak pernah pasang. Biar tak ada kuntilanak datang,” kataku terisak.

Kulihat ayah dan ibu saling pandang. “Aku pulang untuk tinggal,” kata ayah lantang.**


Pontianak, 7 Juli 2014




[1] Gertak: jalan atau jembatan dari kayu di tepian sungai Kapuas.
[2] Puake: hantu, setan, penjaga sungai, biasa berwujud buaya, ular atau ikan besar.
[3] Bodo bale: bodoh sekali.
[4] Chain Saw: merek mesin gergaji kayu

3 comments:

  1. Keren :-)
    Inget Chain Saw kalau orng kampung ditempatku bilang Sengso :-D

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasih bang :D
      yang sering kedengeran emang sengso sih, itu pun sempet cari-cari juga aslinya apa hehehe

      Delete