“Ceritakan
padaku perihal jodoh,” kata gadis itu sambil memainkan jari tangan kekasihnya
di bangku taman kota.
Maka,
diceritakanlah padanya sebuah kisah yang sudah lama hidup dalam tubuhnya: sewaktu
mereka pertama kali bertemu, sang lelaki tak melepaskan pandangannya barang
sedetik pada perempuan itu. Mereka hanya berjarak kurang lebih lima meter.
Dibatasi jejeran teman-temannya yang sedang membaca kolom-kolom di mading
sekolah. Tentu itu bukan rentang yang jauh untuk menikmati degub jantung yang
melaju dan waktu yang berjalan lambat. Lamat-lamat, tanpa lelaki itu sadari, ia
melangkah menghampiri perempuan yang sejak tadi mengalihkan netranya.
“Namaku
Asa, Angkasa Dirga. Kelas XI B,” katanya sambil menyodorkan tangan kanannya dan
senyum yang merekah. Perempuan yang ada di depannya bingung. Badannya mematung.
Bergeming. Lelaki di hadapannya kembali tersenyum dan segera mengambil tangan
perempuan itu dan menyalaminya.
“Ale.
Alena Admaja. Murid pindahan baru,” ucapnya gagap.
Sejak
pertemuan itu mereka menjadi dekat. Ruang kelas mereka yang bersebelahan
memberi kesempatan untuk saling curi pandang. Bila sedang istirahat atau
pelajaran tengah kosong, akan ada saja alasan bagi keduanya untuk saling
mengunjungi. Pun bila salah satu di antara mereka izin keluar meninggalkan
kelas, mata mereka akan sibuk mencari sosok idaman hati, menelusup di pintu dan
saling melempar senyum saat tak sengaja mata keduanya bertemu.
Di
bulan kedua, setelah pertemuan pertama mereka, keduanya memutuskan untuk
menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih.
“Sejak
kapan kau menyukaiku?” Tanya Ale saat mereka sedang belajar bersama untuk ujian
akhir semester.
“Aku
cinta, bukan suka.”
“Iya,
sejak kapan?”
“Sejak
pertama aku melihatmu, dan aku mengajakmu kenalan. Kata orang, begitu jodoh
dipertemukan”
Pipi
keduanya tertarik ke atas. Namun, dengan tiba-tiba, Ale yang berada di samping
menyondongkan kepalanya tepat di depan mata Asa.
“Kau
percaya cinta pada pandangan pertama?”
“Bapak
dan ibu saling cinta di pertemuan pertama mereka. Pacaran dari SMA hingga
menikah. Ada alasan untuk tidak percaya?”
***
Hubungan
kedua pasangan itu sempat mengalami pasang surut. Apalagi semenjak mereka lulus
SMA dan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi yang berbeda. Menjadi
mahasiswa ternyata tidak seperti apa yang mereka pikirkan selama ini. Tugas yang
menumpuk dan rentetan kegiatan kampus membuat keduanya jarang memiliki waktu
bersama.
“Aku
merasa kita semakin jauh,” ucap Ale di teras depan rumahnya saat Asa
mengunjunginya di akhir pekan. Matanya menerawang ke sekitar, memandangi
pot-pot bunga besar yang sebenarnya tak butuh perhatian.
“Aku
juga merasa begitu. Bahkan saat berdua denganmu sekarang pun aku merasakannya.”
“Bagaimana
menurutmu? Aku sempat berpikir, mungkin kita harus mulai jalan sendiri-sendiri.
Kita sama-sama sibuk dengan urusan masing-masing.”
Asa
tersenyum getir. “Belakangan ini kita hanya kurang komunikasi. Itu saja,”
ujarnya dalam.
“Bagaimana
kalau kita tidak jodoh? Bagaimana kalau cinta pada pandangan pertama yang
pernah kau ucap itu tak ada?”
“Buktinya
aku ada! Bapak ibuku contohnya! Sudahlah, ini hanya perkara komunikasi. Kita
saling sayang. Saling cinta. Kenapa harus repot cari alasan untuk pisah?”
Asa
uring-uringan. Ale tersenyum. Dadanya terasa hangat. Lilin di hatinya yang
selama ini redup kini terang benderang. Cahayanya menempus pipinya; merona.
“Sayang dan cinta itu beda?” tanyanya manja.
Mendengar
pertanyaan itu, dan melihat senyum kekasihnya, Asa seperti melihat pelangi
cekung di wajah Ale. Pelangi yang lahir dari gerimis kecil, yang bisa saja
berubah menjadi hujan lebat disertai petir bila angin keduanya berubah kencang.
Asa merangkul Ale, kemudian mengacak-acak rambutnya pelan.
***
Hari
ini seharusnya adalah tahun ketujuh mereka memadu kasih. Setahun lalu, saat
merayakan ulang tahun hari jadi mereka yang keenam, Asa sempat menyampaikan
maksudnya untuk melamar Ale di waktu dekat. Ale sumringah. Taman bunga di
kepalanya warna-warni, penuh kupu-kupu dan kumbang yang beradu merdu.
“Sungguh?”
tanyanya tak percaya.
“Ya.”
“Kau
yakin kita jodoh?”
“Kenapa
tidak?”
“Kau
yakin aku cinta sejatimu?”
Asa
diam sejenak. Tangannya menggenggam tangan Ale. Mata kekasihnya, ditatapnya
dalam. “Perkara jodoh di tangan Tuhan, aku hanya bisa mengupayakan dan telah
kulakukan bersamamu selama enam tahun ini. Aku yakin kau cinta sejatiku. Ah,
mungkin tidak begitu. Bukannya aku tak yakin atau tak berani berjanji. Aku hanya
tak ingin berlebihan. Aku mencintaimu sekarang dan semoga, di setiap hari esok.”
Ale
memeluknya. Tiba-tiba. Begitu saja. Tanpa rencana. Air matanya menetes. Bahagia.
Asa tak sadar apa yang baru saja ia katakan. Kalimat itu tak pernah ia
persiapkan. Bahkan, sempat ia pikirkan saja tidak. Beberapa saat dunia terasa
diam. Keduanya tengah terbang. Tinggi. Melayang.
Tiga
bulan setelah niat itu diikrarkan, orang tua Asa datang berkunjung ke rumah
Ale. Mempererat silaturahmi sekaligus menyampaikan niat untuk meminang anak
gadis semata wayang di rumah itu. Tuan rumah menyambut baik maksud kedatangan
tamunya. Disuguhkannya berbagai macam kue dan diberinya kopi sebagai penghangat
suasana. Pagi harinya, ruang tempat mereka menjamu tamunya itu dirapikan. Guci-guci
besar diberi hiasan bunga pada atasnya. Taplak meja kaca mereka ganti. Figura-figura
di dinding pun tak lupa dibersihkan.
Semua
merasa hangat dan hikmat. Sesekali tawa pecah saat dua keluarga itu saling
menceritakan tingkah anaknya. Seisi ruangan sudah tahu kisah cinta keduanya
yang dirajut sejak SMA. Sampai pada akhirnya, di jeda yang tak begitu lama,
orang tua Ale, terutama ibunya, mulai angkat suara.
“Begini,
ada satu hal lagi, perkara uang mahar.”
“O,
ya. Maaf, kira-kira berapa?”
“Tiga
puluh lima juta.”
“Tapi…”
Kedua
belah pihak berbicara panjang lebar. Menegosiasikan sejumlah uang yang diminta
keluarga Ale. Bagi mereka, jumlah itu pantas mengingat jabatan yang dipunya
kepala keluarga mereka dan Ale yang merupakan anak satu-satunya. Bagi keluarga
Asa, uang itu terlalu banyak, belum lagi untuk acara resepsi pernikahan nanti. Tak
ada kata sepakat yang dibuat. Keduanya teguh pada kemauan masing-masing.
Tiga
minggu berselang, kedua keluarga kembali bertemu. Lagi-lagi, sepakat, bukan hal
yang dicapai. Sejak saat itu, Bapak Asa melarang anaknya kembali menjalin kasih
dengan Ale. Begitu juga sebaliknya.
“Sudah
dua kali Bapak ke sana. Cukup! Jangan bikin malu lagi!”
Asa
tak berani melawan. Walau masih tetap percaya pada cintanya, perintah orang tua
bukan hal yang harus dilanggar. Ia hanya mencoba berpikir, jodoh ada di tangan
Tuhan dan ia telah mengupayakan, begitu yang ia katakan untuk menabahkan diri.
***
“Lalu
bagaimana dengan Ale?” Tanya gadis itu pada kekasihnya.
“Ia
akhirnya menikah dengan anak kenalan ayahnya,” jawab lelaki yang duduk di
sampingnya itu.
Gadis
itu mengangguk pelan. Membenarkan duduknya dan menarik lengan lelaki di
sebelahnya dan mengalungkannya di lehernya.
“Menurutmu
kita jodoh?” tanyanya tiba-tiba.**
Pontianak, 2 November 2014
**Cerpen ini
berjumlah seribu kata. Dibuat untuk tantangan #ProsaNadimu @KampusFiksi. Temanya
berasal dari pacar saya. Dan, semoga bukan kita.
270515; 08:57 AM
ReplyDelete