Aku
baru saja keluar. Di dalam, air bah tumpah dari ceruk mata empat kepala. Sesuatu
yang aneh bin langka. Biasanya, keluarga pasien yang akan melakukannya. Entah kenapa
kini mereka yang justru ambil bagian. Dua orang dokter saling memeluk sambil
sesenggukan. Erat sekali. Seperti sepasang kekasih yang sudah ratusan purnama
tak bertemu. Atau mungkin seperti Malin Kundang yang diberi waktu sedikit lebih
lama oleh kutukan ibunya untuk mengadu. Seorang asisten perawat berdiri
mematung. Layaknya sosok yang ia tatap. Seorang lainnya menggenggam tangannya
kuat-kuat.
Meski
sudah lima tahun aku mengabdi, pemandangan ini tetap saja terasa ganjil. Tidak,
bukan berarti kami –dokter dan perawat di sini—bisa menyampaikan kabar buruk
dengan perasaan biasa saja. Malah menurutku, tugas kami lebih berat daripada
Jibril yang diutus Tuhan membawa wahyu. Aku tidak bohong. Tak pernah ada
cara baik untuk menyampaikan berita kematian.
Sebenarnya,
semua ini ada hubungannya dengan dinding-dinding rumah sakit yang seringkali
bercat putih. Warna itu dipilih semata-mata agar tempat ini terlihat seperti surga.
Terang. Bercahaya. Tak ada tempat lebih baik untuk menunda mati selain
tempat ini.
“Sebelum
ke surga, lebih baik kau singgah ke tempat yang seperti surga,” kata temanku
saat kami baru pulang dari rumah bordir.
“Sehari-hari
kita sudah di sana,” jawabku.
“Rumah
sakit? Itu neraka!”
“Suatu
malam aku pernah melihat beberapa teman kita merentangkan sayap dan terbang
menuju kamar pasien. Mereka bercahaya. Tak mungkin itu terjadi di neraka!”
“Kau
terlalu banyak minum.”
Jika
kau berpikir seperti temanku juga, kau salah besar. Sejak aku keluar dan
jalan-jalan sekarang, aku kembali melihat sayap di punggung mereka. Memang tidak
semuanya. Beberapa di antaranya berekor bahkan bertanduk. Tapi tak jauh lebih
banyak dari mereka yang bersayap dan terbang ke kamar-kamar pasien.
Saat
aku menuju ke luar, hendak mencari udara segar, di ujung lorong, aku
berjumpa seorang renta yang sedang duduk di kursi dekat tangga darurat. Wajahnya
kusut. Rambut putihnya menjalar dari dalam kopiah hitam yang ia kenakan. Baju batik
korpri dan sarung kotak-kotak biru hitamnya, seperti tak pernah menyentuh
setrikaan. Baunya benar-benar tak tertolong dan bisa saja merontokkan paru-paru
jika aku terlalu dalam menarik napas.
“Maaf,
Kek, sedang apa di sini?” tanyaku ramah.
“Menunggu,”
ucapnya singkat.
“Keluarga?”
“Bukan.”
“Lantas?”
“Seseorang
yang akan mengajakku pulang.”
“Keluarga?”
“Bukan.”
“Kapan
ia datang?”
“Aku
tak tahu.”
“Sudah
berapa lama Kakek menunggu?”
“Dua
puluh tahun.”
Aku
tercengang. Selama ini, aku tak pernah melihatnya di sini. Sudah hampir setahun
aku menjadi dokter jaga di lantai ini. Mungkin
ia pasien baru yang mengalami depresi, batinku.
“Apa
kau lihat malaikat-malaikat itu?” katanya sambil menunjuk ke arah dua orang
perawat yang baru saja keluar kamar pasien.
“Ya,
aku melihatnya,” jawabku terbata. Ternyata,
bukan cuma aku yang melihatnya, pikirku. Aku merasa bertemu seorang teman.
“Kau
yakin mereka malaikat? Kau pernah bertemu malaikat?”
“Mereka!”
“Tempat
ini adalah surga,” katanya. Aku heran, tiba-tiba saja kakek berkata demikian. “Terkadang
Izrail juga datang ke mari. Beberapa orang yang kutemui mengatakannya. Izrail
yang mengajak mereka keluar. Tak jarang ada pula yang langsung diajaknya
pulang. Ke rumah Tuhan, katanya.”
Aku
mendengarkan setiap ucapan kakek itu dengan takzim. Paling tidak, ia sudah dua
kali membenarkan keyakinanku selama ini; perkara malaikat bersayap dan surga.
“Kenapa
ada yang tak langsung pulang?”
“Mereka
masih punya utang di sini.”
“Maksudmu?”
“Urusan mereka belum selesai.”
“Ah,
….”
Saat
kakek itu membuka mulutnya, dan akan mengeluarkan dalil-dalil keyakinanya,
suara tangis yang ramai dan langkah kaki yang cepat mengambil semua
perhatianku. Seseorang yang tadi sempat kulihat di ruang operasi –lelaki yang
wajahnya rusak penuh luka bakar seperti besi karatan—dibawa terbang dua orang
malaikat menyusuri lorong menuju pintu belakang. Dari depan pintu masuk,
ibu dan istriku berlari ke arahnya.
Aku
masih diam. Pandanganku tetap memaku mereka. Kakek itu tak lagi aku pedulikan. Ibu
menyetop kedua malaikat itu, sambil berteriak menyebut namaku. Sementara istriku
langsung memeluk lelaki yang terbaring di hadapannya. Malaikat itu melarang dua
orang manusia yang sedang histeris untuk membuka kain yang menutupi wajah
lelaki itu. Nanti saja, setelah
dibersihkan, katanya sendu.
Aku
tetap bergeming. Sementara ibu dan istriku terus-menerus meneriakkan namaku. Ketika
aku hendak menghampiri mereka, yang hanya berjarak beberapa langkah di depanku,
kakek itu menarik tanganku dan kembali bersuara.
“Mari
kutemani kau menunggu,” katanya sambil tersenyum.***
Pontianak, 16
November 2014
280515; 08:21 AM
ReplyDelete