Sunday, 16 November 2014

Menunggu

Standard
Aku baru saja keluar. Di dalam, air bah tumpah dari ceruk mata empat kepala. Sesuatu yang aneh bin langka. Biasanya, keluarga pasien yang akan melakukannya. Entah kenapa kini mereka yang justru ambil bagian. Dua orang dokter saling memeluk sambil sesenggukan. Erat sekali. Seperti sepasang kekasih yang sudah ratusan purnama tak bertemu. Atau mungkin seperti Malin Kundang yang diberi waktu sedikit lebih lama oleh kutukan ibunya untuk mengadu. Seorang asisten perawat berdiri mematung. Layaknya sosok yang ia tatap. Seorang lainnya menggenggam tangannya kuat-kuat.

Meski sudah lima tahun aku mengabdi, pemandangan ini tetap saja terasa ganjil. Tidak, bukan berarti kami –dokter dan perawat di sini—bisa menyampaikan kabar buruk dengan perasaan biasa saja. Malah menurutku, tugas kami lebih berat daripada Jibril yang diutus Tuhan membawa wahyu. Aku tidak bohong. Tak pernah ada cara baik untuk menyampaikan berita kematian.

Sebenarnya, semua ini ada hubungannya dengan dinding-dinding rumah sakit yang seringkali bercat putih. Warna itu dipilih semata-mata agar tempat ini terlihat seperti surga. Terang. Bercahaya. Tak ada tempat lebih baik untuk menunda mati selain tempat ini.

“Sebelum ke surga, lebih baik kau singgah ke tempat yang seperti surga,” kata temanku saat kami baru pulang dari rumah bordir.

“Sehari-hari kita sudah di sana,” jawabku.

“Rumah sakit? Itu neraka!”

“Suatu malam aku pernah melihat beberapa teman kita merentangkan sayap dan terbang menuju kamar pasien. Mereka bercahaya. Tak mungkin itu terjadi di neraka!”

“Kau terlalu banyak minum.”

Jika kau berpikir seperti temanku juga, kau salah besar. Sejak aku keluar dan jalan-jalan sekarang, aku kembali melihat sayap di punggung mereka. Memang tidak semuanya. Beberapa di antaranya berekor bahkan bertanduk. Tapi tak jauh lebih banyak dari mereka yang bersayap dan terbang ke kamar-kamar pasien.

Saat aku menuju ke luar, hendak mencari udara segar, di ujung lorong, aku berjumpa seorang renta yang sedang duduk di kursi dekat tangga darurat. Wajahnya kusut. Rambut putihnya menjalar dari dalam kopiah hitam yang ia kenakan. Baju batik korpri dan sarung kotak-kotak biru hitamnya, seperti tak pernah menyentuh setrikaan. Baunya benar-benar tak tertolong dan bisa saja merontokkan paru-paru jika aku terlalu dalam menarik napas.

“Maaf, Kek, sedang apa di sini?” tanyaku ramah.

“Menunggu,” ucapnya singkat.

“Keluarga?”

“Bukan.”

“Lantas?”

“Seseorang yang akan mengajakku pulang.”

“Keluarga?”

“Bukan.”

“Kapan ia datang?”

“Aku tak tahu.”

“Sudah berapa lama Kakek menunggu?”

“Dua puluh tahun.”

Aku tercengang. Selama ini, aku tak pernah melihatnya di sini. Sudah hampir setahun aku menjadi dokter jaga di lantai ini. Mungkin ia pasien baru yang mengalami depresi, batinku.

“Apa kau lihat malaikat-malaikat itu?” katanya sambil menunjuk ke arah dua orang perawat yang baru saja keluar kamar pasien.

“Ya, aku melihatnya,” jawabku terbata. Ternyata, bukan cuma aku yang melihatnya, pikirku. Aku merasa bertemu seorang teman.

“Kau yakin mereka malaikat? Kau pernah bertemu malaikat?”

“Mereka!”

“Tempat ini adalah surga,” katanya. Aku heran, tiba-tiba saja kakek berkata demikian. “Terkadang Izrail juga datang ke mari. Beberapa orang yang kutemui mengatakannya. Izrail yang mengajak mereka keluar. Tak jarang ada pula yang langsung diajaknya pulang. Ke rumah Tuhan, katanya.”

Aku mendengarkan setiap ucapan kakek itu dengan takzim. Paling tidak, ia sudah dua kali membenarkan keyakinanku selama ini; perkara malaikat bersayap dan surga.

“Kenapa ada yang tak langsung pulang?”

“Mereka masih punya utang di sini.”

“Maksudmu?”

 “Urusan mereka belum selesai.”

“Ah, ….”

Saat kakek itu membuka mulutnya, dan akan mengeluarkan dalil-dalil keyakinanya, suara tangis yang ramai dan langkah kaki yang cepat mengambil semua perhatianku. Seseorang yang tadi sempat kulihat di ruang operasi –lelaki yang wajahnya rusak penuh luka bakar seperti besi karatan—dibawa terbang dua orang malaikat menyusuri lorong menuju pintu belakang. Dari depan pintu masuk, ibu dan istriku berlari ke arahnya.

Aku masih diam. Pandanganku tetap memaku mereka. Kakek itu tak lagi aku pedulikan. Ibu menyetop kedua malaikat itu, sambil berteriak menyebut namaku. Sementara istriku langsung memeluk lelaki yang terbaring di hadapannya. Malaikat itu melarang dua orang manusia yang sedang histeris untuk membuka kain yang menutupi wajah lelaki itu. Nanti saja, setelah dibersihkan, katanya sendu.

Aku tetap bergeming. Sementara ibu dan istriku terus-menerus meneriakkan namaku. Ketika aku hendak menghampiri mereka, yang hanya berjarak beberapa langkah di depanku, kakek itu menarik tanganku dan kembali bersuara.

“Mari kutemani kau menunggu,” katanya sambil tersenyum.***



Pontianak, 16 November 2014

1 comment: