Sunday 23 November 2014

Pada Sebuah Cermin

Standard
Sekarang kau tak bisa lagi menghindar. Ia sudah berada tepat di hadapanmu. Semua gerak-gerikmu dalam penglihatannya. Bahkan, jika sehelai bulu hidung kesayanganmu mendadak offside keluar goanya pun, ia pasti tahu. Kau sudah tak mungkin ke mana-mana.

Alasan kedatangannya hanya untuk satu hal. Selalu itu, sejak dua tahun lalu; perkara janji yang urung kau tepati. Kau bisa memandang dari sorot matanya yang penuh harap. Seperti seorang bocah yang melihat coklat di tangan ibunya. Apa kau ingin membunuhnya lagi? Bibir yang ada di hadapanmu memang tak pernah mengatakan apa yang ia inginkan. Tapi dalam hatinya, suara itu lantang.

Tentu kau ingat, sebuah pesan singkat dari seorang wanita yang akhirnya membuat orang di hadapanmu kembali datang.

“Memang lebih baik jika kau tak hadir. Aku tak ingin dicekoki pertanyaan-pertanyaan tentang dirimu yang pasti membuatku malu.”

Ia merasakannya, sama sepertimu. Apa kau  ingin membunuhnya lagi?

Ia menunduk saat kau menunduk. Ia tak sedikit pun memejamkan matanya saat kau menatapnya tajam. Ia menantangmu. Sekali lagi.

“Cepat sarjana!” katanya.

Kau bergeming.

“Urus skripsimu!” seru kalian kompak.


1 comment: