Sunday, 29 September 2013

JEMBATAN KAPUAS

Standard

NET

Di sini, aku yang termuda. Usiaku baru 7 tahun dan aku seorang cancer. Aku beruntung dilahirkan Tuhan menjadi jembatan dan baru dibangun setelah reformasi. Aku mewah. Tidak seperti teman lamaku, atau lebih tepatnya seniorku itu, dirinya hanya seharga Rp 6,06 Miliyar, sedangkan aku Rp 110 Miliyar. Kalian bisa lihat sendiri, kan?

Sebagai seorang cancer, aku penyayang yang baik, karenanya siapa saja aku perbolehkan melewatiku. Aku tidak pilih kasih seperti seniorku itu. Hanya untuk kendaraan pribadi dan angkutan umum. Sok eksklusif sekali menurutku. Belum lagi, sewaktu pertama kali dia menjejakkan rangka betonnya di bumi khatulistiwa, dia meminta tarif untuk setiap mereka yang lewat. Merasa ingin dihargai? Harganya Rp 6,06 Miliyar, sedangkan aku Rp 110 Miliyar. Kalian bisa lihat sendiri, kan?

Aku tahu segala tentang dia, bukan karena aku yang kepo ya. Banyak anak muda yang seringkali menghabiskan waktu di selangkangan jalanku. Dari merekalah aku mendengar semuanya, tentang seniorku itu. Beragam hal yang mereka lakukan di sana. Ada yang sekedar nongkrong bersama temannya, ada yang bercumbu dengan pacarnya, ada yang memancing ikan, ada juga yang duduk melingkar sambil mencium benda-benda berbau tajam, mungkin lem. Ya, selangkangan tengah kakiku yang membelah Sungai Kapuas itu memang tempat favorit mereka. Semoga saja puake tidak sedang lapar saat mereka ada di sana. Bagaimana, harganya Rp 6,06 Miliyar, sedangkan aku Rp 110 Miliyar. Kalian bisa lihat sendiri, kan?

Tapi sebenarnya, aku kasian dengan seniorku itu, usianya sudah 31 tahun. Beberapa bagian tubuhnya ada yang berkarat, mungkin karena kurang dirawat. Belum lagi kemarin, sebuah tongkang bauksit sempat menabraknya. Tulang kakinya bergeser kurang lebih 10 cm, akibatnya dia sempat dikucilkan sementara. Ya, lagi-lagi aku tahu dari mereka yang seringkali menghabiskan waktu di selangkangan jalanku. Dan, karenanya sekarang beban punggungku semakin bertambah, kendaraan roda empat semuanya dialihkan padaku, dia hanya kebagian kendaraan roda dua. Tapi, tak apa lah, toh aku muda, pula kuat. Harganya Rp 6,06 Miliyar, sedangkan aku Rp 110 Miliyar. Kalian bisa lihat sendiri, kan?
*
Anak muda itu terlalu banyak bicara, menghargakan diri dengan sejumlah uang. “Harganya Rp 6,06 Miliyar, sedangkan aku Rp 110 Miliyar. Kalian bisa lihat sendiri, kan?”

Satu hal baik yang saya lihat darinya, selain banyak bicara, ia juga banyak mendengar. Hanya saja sepertinya ia kurang membaca. Menurut saya, anak muda yang seringkali menghabiskan waktu di selangkangan jalannya pasti memiliki gadget semua, namanya juga anak muda zaman sekarang selalu ingin mengikuti perkembangan teknologi, ya, walaupun cuma untuk sekedar jaga gengsi. Apa kalian seperti mereka? Andaikan benar memang dia rajin membaca, pasti dia akan tahu bagaimana keadaan ekonomi pada masa orde baru, pula dia akan tahu bagaimana pemimpin kalian membuat kebijakan pengaturan lalu lintas untuk mengurangi dampak kemacetan bagi dirinya, jembatan.

Mungkin saja, anak muda yang seringkali menghabiskan waktu di selangkangan jalannya memang tidak pernah berbicara tentang itu, dan mungkin memang tidak tahu. Sehingga ia tidak pernah mendengar. Hey, tunggu sebentar, kalau tidak salah tadi saya mendengar kalian membaca cerita darinya kalau saya “sok mengeksklusifkan diri”. Begini, jika kalian bertemu dengannya nanti, tolong sampaikan padanya, jika dulu saya tidak pernah meminta bayaran untuk setiap mereka yang lewat, ia tidak akan pernah mendapat panggilan “jembatan tol”. Ya, tol itu jalan bebas hambatan dan dikenakan tarif setiap kita melewatinya. Saya sempat merasakannya dulu, sebelum pertengahan tahun 1990-an, setelah akhirnya kebijakan tol tersebut dicabut. Saya merasa lebih nyaman dengan cukup menjadi jembatan tanpa tol, banyak orang bisa lalu lalang tanpa harus mengeluarkan sejumlah uang. Takdir saya untuk membantu, benar-benar berlaku. Namun, lucunya sampai sekarang masih saja ada yang memanggil saya jembatan tol. Itu hanya kenangan. Kenangan yang selalu saja dimunculkan Tuhan, meski saya selalu berusaha untuk melupakan.

Kalau tidak salah, saya juga mendengar kalian membaca doanya, puake yang semoga tidak sedang lapar. Saya bersyukur, ia masih tahu tentang itu. Sebagai penghuni baru Sungai Kapuas sudah seharusnya ia menghormati penghuni lama. Maksud saya, ya, puake yang menjadi kepercayaan di sini, entah yang berwujud buaya, ular ataupun yang lain. Hanya saja sayangnya sekarang seperti kalian yang lupa, seenaknya mengabaikan budaya dan tradisi. Puake lebih sering saya dengar sebagai bentuk caci maki, padahal sebenarnya ia adalah penjaga sungai, penjaga alam dalam bentuk kearifan lokal. Ataukah perlu puake meminta korban terlebih dahulu agar kalian menjadi sadar? Biar nanti saya sampaikan.

Tunggu sebentar, jangan-jangan tongkang yang menabrak saya kemarin kerjaan puake itu, karena saya ditabrak dua kali. Kata orang, hal yang kebetulan itu tidak mungkin terjadi dua kali. Jadi, bagaimana dengan yang saya alami? Tapi siapa yang ingin puake itu sadarkan, kalian atau pemimpin kalian?

Sepertinya saya sudah bercerita panjang lebar, semoga saja kalian menemukan luasnya. Kalau kalian bertanya bagaimana bisa, ingatlah saya sudah 31 tahun di sini, melintang mengangkangi Sungai Kapuas ini. Pembicaraan orang tua, remaja dan anak-anak sudah sering saya dengar. Dari zaman Suharto yang katanya bapak pembangunan, sampai zaman SBY bapak pencitraan. Cerita para tetua, hingga jenakanya anak muda Pontianak saya tahu betul. Beginilah saya, senior tua seharga Rp 6,06 Miliyar, sedangkan ia Rp 110 Miliyar. Kalian bisa lihat sendiri, kan?

Friday, 13 September 2013

Percakapan Konspirasi Penantian

Standard


Malam semakin menghitam. Langit mencerahkan wajahnya lewat senyum bulan berbentuk sabit. Pula ribuan bintang, benih rindu milikku yang berserakan. Aku seperti biasa, menghabiskan waktu bersama lembar demi lembar buku. Sekarang, aku memang gemar membaca, sambil mencari pedoman untuk membaca hatinya. Maklum, sebagai seorang lelaki, di hadapan wanita, ‘salah’ adalah milik kita yang hakiki.

Benar kata orang, buku adalah sebenar-benarnya teman. Menjalani hubungan jarak jauh akan selalu dihantui kesepian, selain bayangan sang pujaan tentunya.

Sudah pukul 11 malam, detik berputar pada poros waktu, seperti detak jantungku yang berputar pada poros rindu. Sementara Tuhan, poros rotasi cinta. Aku dan dia berputar di dalamnya. Dalam kuasa-Nya. Dalam takdir-Nya.

Selepas isya tadi, dia berkata padaku baru saja minum obat. Kasihan dia, sakit. Kelelahan, gejala typus kata dokter. Semoga saja ini bukan karena dia lelah menunggu aku pulang. Andai aku ada di sampingnya sekarang, tentu aku akan menjaganya dalam lelap, sambil mengelus rambutnya yang halus.

Malam semakin larut, otakku mulai jengah pada aksara yang aku baca, tokohnya membuat aku iri. Cerita cinta satu kota. Ah...

Mataku kini beralih menuju Blackberry hitam yang sedari tadi diam. Lampu di kanan atas layar pun tak lagi mengedip. Ibu jariku bak balerina handal menari-nari di atas gadget keluaran perusahaan Kanada itu. Recent Update, tempat yang ia tuju. Ah, dia baru saja mengganti display picture-nya. Bangun dan tak memberi aku kabar, padahal di sini khawatirku berdebar. Tunggu sampai nanti aku komplain padanya.

“Udah sehat?”

“Syuudaah. Udah bisa ngeledekin kamu lagi :p”

Lihatlah, betapa dengan mudahnya dia membuat aku tersenyum. Emosiku kandas, kalah oleh cerianya yang lugas.

“Cuma sekedar ngeledekin? Terus apa bedanya kamu sama yang lain?”

“Sebenernya aku pengen ngejorokin kamu ke got, tapi entar aja kalo ketemu. Aku beda, kan, sama yang lain?”

“Hemm..Menarik. Beda. Bolehlah kamu ngejorokin aku ke got, asal aku bisa tetap jatuh di kamu.”

“Masalahnya, kamu terlalu kuat untuk jatuh L

“Karang sekalipun bisa terbelah oleh kikisan ombak. Apa lagi aku, sepertinya aku akan kuat setelah jatuh di kamu.”

“Aku...nggak pernah sekuat ombak. Aku hanya palung, yang di dalamnya, kamu tak pernah ingin bermuara.”

Kata-katanya selalu begitu, selalu membuat puisi mendayu.

“Apa kamu pikir aku juga sekuat karang? Selama ini aku hanya mengarang, agar ada paragraf kita dari kalimat indah yang semoga tak sementara.”

“Ya. Kamu adalah pengarang yang tulisannya tak pernah mampu kubaca.”

“Kamu serius Rani? Tidakkan kamu dengar suara angin malam? Tuhan sedang membacakan tulisanku, tentang kerinduan yang teramat dalam. Padamu.”

“Aku t’lah lelah. Kucoba melihat, mataku tak sedikitpun menangkap kelebatmu. Kubuka telingaku lebar-lebar, namun yang kudengar hanya detak jantungku sendiri. Aku mulai meraba, hanya angin yang menelusup di sela jariku. Sekarang, aku akan diam, menanti kamu pulang. Entah kapan.”

“Kamu pernah mengatakan bahwa aku kurang peka, mungkin saat ini baiknya kamu katakan itu pada dirimu sendiri! Entahlah Rani. Terkadang aku geli bila melihat tulisan di belakang truk, “pulang malu tak pulang rindu”, aku merasa tersindir, pula tersihir. Di sini, aku sedang merajut masa depan kita, meski lewat jarak, agar ketika aku kembali pulang, bukan giliran kamu yang beranjak.”

“Kamu yang merajut, aku yang tertusuk jarumnya. Berdarah aku mengejarmu, tapi langkahmu menjauh tak tergapai. Mungkin sudah saatnya aku berhenti percaya bahwa kamu nyata.”

“Tunggu dulu Rani! Kamu harus percaya aku ini nyata! Maafkan aku membuatmu berdarah, tapi tidakkah kamu ingat, bersamaku kamu tak pernah hilang arah? Setelah aku pikir matang, sikapmu benar adanya. Tunggulah aku dalam diam, percayalah setiap jejak langkahku, menuju ke kamu.”

“Bertahun aku menunggu, aku mulai bosan memeluk lututku sendiri ketika dingin yang harusnya kau tepis dengan pelukan itu menyerangku. Bukankah sebuah penantian itu ada untuk sesuatu yang akan kembali? Lalu aku namai apa ini, jika kamu bahkan lupa arti kata ‘pulang’.”

Bertahanlah sayang, tunggu aku di bulan akhir, hulu cintaku bermuara di hilir, di kamu yang terakhir. Saat ini aku memang belum mampu menepis dingin untukmu, bahkan untuk rinduku juga. Tapi ketahuilah, jika kamu menanyakan arti pulang, maka renggangkanlah jemarimu, pejamkan mata indahmu kemudian biarkan aku memelukmu dari belakang. Mengikatkan jemariku pada jarimu. Saat itulah aku pulang, dengan memberimu  perhiasan paling mewah melebihi cincin permata, genggamanku pada sela jemarimu.”

“Menunggu. Tak satupun orang yang kutemui menyukainya. Tapi aku, untuk cinta sebesar kamu, aku rela menghabiskan waktu dengan memeluk lututku yang membeku, karena aku tahu, aku bisa memelukmu tanpa perlu kau hadir. Melihatmu walau mataku tertutup. Mendengarmu meski kamu tak bersuara. Setelah ini, akan kututup mataku. Dengan begitu, mata dan hatiku hanya akan dipenuhi olehmu. Ya, kamu saja.”

“Terima kasih untuk kepercayaan dan kerelaan menunggu ini. Sebelum kamu memejamkan mata kemudian bertemu aku, jangan lupa menyapa Tuhan, pemilik semesta, pemilik rasa kita. Sekarang, memejamlah kuntum bunga mekar. Selamat tidur, duhai getar yang ku nanti tanpa sabar. I miss you.”

Barisan kata-katanya melumpuhkan aku, meradangkan rinduku pada seru paling dekat. Tunggu aku pulang sayang, kemudian aku pastikan kita akan saling terikat. Dengan janji, sehidup semati atas nama Tuhan dan kitab suci. 

Tuesday, 10 September 2013

La Galau (end)

Standard


Hari ini gue ngerasa jadi remaja Indonesia seutuhnya, ya...hari ini gue galau. Padahal dalam angan gue, ini bakalan jadi hari yang indah buat gue. Gue bakalan seharian sama gebetan baru gue. Gebetan gue hari ini gak kuliah, sedangkan gue kuliah cuma sampe jam 12.00. Tapi demi ketemu dia, gue rela ninggalin kuliah gue, akhirnya gue cuma kuliah di jam pertama.
Di sini cerita kegalauan gue bermula, jam 09.00 gue kelar kuliah, gue sms dia, “Panda, nanti kita ketemu ya”. Gue sama dia memang udah punya panggilan kesayangan masing-masing. Gue biasa panggil dia “panda”, entah kenapa gue panggil dia dengan nama itu, gue juga bingung. Mungkin karena dia lucu kayak boneka panda, tapi gue gak pernah main boneka. Sedangkan panggilan sayang dia ke gue adalah “sapi”. Kata dia sih, itu karena gue yang hobi tidur. Padahal, setahu gue sapi itu hobinya makan. Entahlah, namanya juga jatuh cinta, semua bisa jadi gak masuk akal, apalagi cuma masalah nama. Orang yang namanya Markonah aja bisa berubah jadi Beby, Suparjo berubah jadi Honey. Begitulah cinta, membuat semua hal mustahil menjadi biasa.
Kembali ke cerita. Gak lama gebetan gue bales, “Iya pi, tapi aku mau ke kampus bentar, ada perlu sama dosen”.
Gue bales lagi, “Oke pandaku, nanti kalo udah kelar urusannya, kamu sms aku ya, kita pulang bareng”.
Gebetan gue bales lagi, “Oke sapi, aku pergi dulu ya....muuacch :* ”.
Gue mules bales, “Oke, TitiDj panda, muuaccchhhh”.
Gebetan gue bales, “Mulut kamu bau pi :p”.
Langsung gak gue bales ! Gue diem. Bukan karena dia ngatain gue, tapi karena pulsa gue habis.
Karena gak ada kerjaan, gue ke perpus, sambil nungguin sms dari gebetan gue. Maklumlah mahasiswa rajin, tiap menjelang mid, perpus di kampus gue mendadak ramai, gue gak tahu apa karena ada diskon, atau ada topeng monyet di sini, atau mungkin karena ada gue, tapi menurut gue yang terakhir itu jelas gak mungkin. Gue bolak-balik rak, baca-baca buku, gak lama hp gue geter, gebetan gue nelpon.
“Haloo, ini aku pi.”
”Yailah kamu, masa Bambang. Kamu dimana ?”
“Di hatimu, hhehe.”
“Alay kamu ah, udah pulang ?”
“Udah, kamu tunggu depan kampus kamu ya”
”Jangan, jangan di depan kampusku.” (dengan nada panik)
”Emangnya kenapa ?” (dengan nada curiga)
“Pokoknya jangan lewat depan kampusku.” (dengan nada Do)
“Pasti kamu lagi sama cewek lain !” (dengan nada curiga 2)
“Gak kok panda, jalan depan kampus aku kan lagi diperbaiki, mana bisa lewat.”
“Oh iya ya, dodol akunya, hhe. Aku jalan sekarang ya, assalamualaikum”.
”Tuuut tuuuuut tuuuuut” (gak ada kerjaan kali gebetan gue)
Gue langsung jalan, gue sama dia pake motor masing-masing. Dan itulah salah satu kebodohan gue, kenapa gak gue biarin dia jemput gue, kalo satu motor kan jauh lebih enak, gue bisa lebih deket sama dia meski masih enakan dia yang bisa peluk gue dari belakang. Tapi yang paling penting, gue bisa hemat bensin.
Sampai di dekat tikungan gue sama gebetan gue berpapasan dari arah yang berlawanan, dia ngeliat ke arah gue, dia senyum, gue bales nyengir. Lalu kita nikung bersamaan, dia nikung ke kiri, gue nikung ke kanan, akhirnya gue searah dengan dia sekarang. Waktu gue mau ngejejerin dia, dia langsung ngebut, “Wah, pasti gebetan gue pengen kayak di film-film india nih, kita main kejar-kejaran dulu, lari ke lapangan, joget-jogetan, muter-muterin pohon sambil nyanyi-nyanyi, terakhir kita baring sama-sama di bawah pohon, sedangkan motor kita nyangkut di pohon”, itu khayalan gue.
 Gebetan gue romantis!
 Gue seneng, semangat gue ngejar dia, meskipun jalan di kampus gue banyak lobang, gak gue pikirin, bagi gue, rasanya itu kayak gue lagi naik kuda putih, ngejar tuan putri bersepatu kaca, berparas cantik yang bawa lari jemuran daleman gue. Gue ngejar dia sambil senyum-senyum sendiri, pokoknya aku padamu.
Dikit lagi gue deket sama dia, tiba-tiba muncul seseekor yang gak pengen gue kenal, mantan pacar gebetan gue.
Akhirnya apa ?
Dia berdua jalan berjejeran. Lho bisa bayanginkan rasanya gimana, gue udah ngebut-ngebut ngejar dia naik kuda, joget-jogetan, ngelilingin pohon sampe pusing, dan dia malah jalan berjejeran sama mantan pacarnya.
Lho bisa bayanginkan rasanya gimana ?
Sakiiiiiiit, hati gue pilu, lebam jantung gue, kayak ditonjokin Tyson. Blaak...Blakkk..Blaak..Blakk...Bbraak! 
Pelan-pelan gue jalan di belakang dia, gue kesel sendiri, jadinya gue ngabsen binatang-binatang di bonbin, dan hari itu anjing, babi, sama buaya lagi gak masuk. Gue harap mereka cepat sembuh. Gue bingung gue harus gimana, gue gak punya gambaran sama sekali, di tv yang biasa gue tonton juga gak ada. Perlu lho tahu, di rumah gue cuma dapat TVRI sama KCTV, dan disini gue ngerasa banget kalo gue butuh Indosiar.
Gue bingung, motor gue bingung, Tyson juga bingung, kita semua bingung. Akhirnya gue salib dia dan ninggalin mereka. Hati gue terlalu sakit buat ngeliat itu semua. Gebetan gue sadar, gue udah gak di belakang dia, lalu dia nelpon gue.
“Halo pi, kamu di mana ?”
“Pi, jawab dong !”
“Pi, jangan gini.”
(Gue belom angkat telpon)
Akhirnya gue angkat.
“Iya, kenapa ?”
“Kamu dimana ?”
“Di jalan.”
“Jalan mana ?”
“Di sutoyo, kenapa ?”
“Kamu yang kenapa?”
“Aku gak kenapa-kenapa, udah dulu ya, lagi nyetir motor, nanti oleng.”
“Tuuuuuut tuuuuuuuut tuuuuuuuut.” (Giliran gue yang gak ada kerjaan)
Gue lanjut jalan, pikiran gue semakin gak karuan. Tiba-tiba mantan cowok gebetan gue nyalib gue, “Akiauu, dia dia dia lagi, tunggu lho !” teriak gue dalam hati. Gue kejar dia, gue banting kiri, salib kanan, sikut belakang, standing dan terbang. Don’t try this at street. Dan akhirnya gak terkejar. Udah. Gue bersyukur gue gak dapet ngejar itu cowok, gue gak mau ada keributan, gue gak mau masuk rumah sakit jiwa lagi.
Dalam hati yang panas, gue mencoba untuk berpikiran dingin. Hati gue terbakar api cemburu, diulek bibi pecel pake cabe 3. Minumnya es teh manis anget yang gak pake gula. Gak tahu ini apaan.
Sampai di rumah, gue langsung hubungin gebetan gue, karena pulsa gue habis, terpaksa gue nelpon dia pake telpon rumah. Gue nungguin sampe ibu gue pergi dulu, baru gue berani pake itu telpon. Ibu gue suka marah-marah gak jelas, apalagi kalo itu menyangkut pengeluaran bulanan, dan gue gak pengen ketangkap basah sama ibu gue lalu di awal bulan depan gue bakalan berhadapan one by one sama Hulk cerewet. Yah, ibu memang manusia terkuat di muka bumi ini.
Gue telpon gebetan gue, gak diangkat. Gue coba telpon lagi ada yang  angkat, dia bilang, “Maaf, nomor yang anda hubungi sedang berhubungan, silahkan coba beberapa saat lagi”. Operator sedeng nih. Gue coba terus sampe delapan kali tetap operator sedeng itu yang angkat, malah dipercobaan gue yang kesepuluh dia bilang, “Maaf, nomor yang anda hubungi sedang berhubungan, silahkan coba sekali lagi dan dapatkan payung cantik dari kami”. Aseeem.
Tiba-tiba hp gue geter, ada sms dari nomor yang gak gue kenal, isinya, “Yank, ini pacarmu, tolong isi pulsa 50 ribu di nomor baru aku ini yank, nanti uangnya aku ganti”. Gue gak yakin ini sms dari gebetan gue, emangnya gue masih o’on !  Pasti ini modus penipuan baru, dulu pulsa mama, sekarang pulsa pacar. Kreatif sekali orang Indonesia.
Akhirnya setelah berhari-hari racunnya mengendap di bantal dan masuk ke tenggorokan. Gue gak dapet kabar dari gebetan gue, gue telpon tetap operator sedeng yang jawab, gue sms kadang pending kadang gak terkirim, kadang hp gue marah karena keseringan gue pake sms. Gue udah nyari tiga kali puasa tiga kali lebaran tetep gak ketemu, gue udah coba cek ke rumahnya ternyata cuma alamat palsu, firasat gue dia balikan lagi sama mantan pacarnya, dan gue yakin dia Toyib. Gue nyesel, kenapa gue gak dapet waktu ngejar itu cowok, kalo aja dapet, gue yakin sekarang dia bukan lagi seseekor, dia pasti jadi seseorang buat gue. Dunia emang gak pernah ngertiin gue ! 9u3 g4LaU.
***
Setelah hari gue yang kelabu itu, malam berganti malam tanpa pernah tahu siapa pemiliknya. Tidur gue mulai gak normal. Kadang pake kaos + boxer, kadang singlet + sarung, kadang gak pake baju + kolor. Gak lah. Gak normalnya ini bukan dalam berpakaian, tapi jam tidur. Sekarang, paling awal gue tidur jam 12 malam, alhasil tiap ngampus, gue pasti telat. Entah kenapa gue begitu identik dengan kata telat, tiap ngampus telat, ngumpulin tugas telat, datang bulan juga telat. Padahal seharusnya bukan gue yang identik dengan kata telat, tapi kata telatlah yang identik dengan gue. Bingung ? Kita tanya Gallileo.
Kenapa gue pengen tidur awal ? Karena ditiap malam gue, gue selalu kebayang Panda. Panda putih hitam yang mulai disayang sapi hitam putih. Padahal warna kita udah sama, padahal dengan kemiripan seringkali orang berasumsi itu tanda-tanda jodoh. Tapi untuk gue dan Panda, sepertinya Tuhan buat pengecualian.
Ya, gue berusaha move-on.
Tapi tiap malem, tiap gue udah siap dipeluk Dewi Mimpi, gue pasti bangun lagi. Dan itu disebabkan oleh anjing tetangga gue. Kurang lebih udah tiga minggu tetangga gue pelihara anjing baru, dulu pernah ada tapi tiba-tiba ngilang, mungkin dikurbanin waktu lebaran kemaren. Anjing itu gue gak tahu ras apa, gue juga gak berani buat maksa-maksain dia ras apa karena urusan RASa Royko ahlinya.
Waktu pertama anjing itu jadi keluarga baru mereka, gue sih asik-asik aja, dari jauh gue liat anaknya baik, sopan, suka maen kejar-kejaran sama tukang koran, selalu izin lagi kalo mau pipis di tiang listrik depan. Terlihat seperti keluarga-keluarga normal lainnya. Tapi entah kenapa seminggu belakangan, bertepatan dengan hari kelabu gue, itu anjing suka ngelolong kayak orang nangis tiap malam. Kamar gue posisinya paling deket dengan rumah tetangga gue, cuma dibatesin pager beton, jadi gue sebagai tetangga yang baik selalu mendengarkan dengan seksama bunyi lolongan itu.
Gebetan hilang, pengen move-on, malah harus dengerin syair anjing.
Omongan orang tua dulu bilang, kalo ada suara anjing yang melolong kayak orang lagi nangis, artinya itu anjing lagi ngeliat setan. Gue yang parno sama hal yang begituan beginian (beginian ajalah, begituan kesannya jelek, sejelek silet, set set set seeeet), menjadi makin galau. Apakah benar ada setan di samping rumah ? Apakah benar omongan orang tua dulu ? Apakah benar setan dan anjing saling berhubungan ? Tombol biru untuk jawaban Benar, dan tombol merah untuk jawaban Salah. Waktunya 30 detik, dimulai dari sekarang !
Mendapat pertanyaan yang gak beradab itu, naluri Conan Edokondologit gue muncul. Gue pun mulai menyiapkan beberapa rencana pilihan, antara lain: mengundang Misteri Inc. untuk membantu gue, atau memanggil Ghost Buster atau mencari pemilik sepatu kaca yang tertinggal di tempat sol sepatu. Kalo gue mengundang Misteri Inc, gue takut Defny jadi cinlok sama gue, kasian Fred. Kalo gue manggil Ghost Buster gak mungkin, gue pecinta produk dalam negeri, mending gue panggil tim Dunia Lain atau Mister Tukul Jalan-Jalan, lumayan kan bintang tamunya tombo ngantuk. Kalo gue mencari pemilik sepatu kaca, hubungannya apa geblek ?
Oke. Daripada pusing, mending gue kerja sendiri. Tadi malam, lolongan tangis anjing kampret itu semakin menjadi. Pagi ini, dengan penuh keyakinan, berbekal dua jam nonton film Canon Conan dan SpongeBob, gue pun mendekati kandang anjing kampret itu dengan cara memanjat pohon jambu di belakang rumah gue. Hari ini banyak banget orang yang lewat, untung gue gak dikira mau maling mangga (yaiyalah, mana ada pohon jambu berbuah mangga, dodol !).
Posisi gue on the top, kandang anjing kampret tepat berada di bawah gue. Sebenernya gue kesel abis sama itu anjing, rasanya pengen gue kencingin dari atas, tapi niat mulia itu gue urungkan, gue gak mau nanti ada yang ngeliat dan teriak histeris, “MAMA, AKU MAU ITU MAAA !! UNYU BANGET MAAA !!”. Mamanya pingsan.
Ada beberapa trik yang bisa gue pake. Pertama, gue bius dengan amoniak tingkat tinggi, lalu gue culik, bawa ke ruang kosong dengan satu lampu, gue introgasi sambil mukulin itu anjing pake tulang. Kedua, gue pura-pura jatohin jambu, lalu dia nolongin gue buat ngambil jambu itu, lalu tangan kita gak sengaja kepegang, akhirnya kita kenalan. Ketiga, pake pendekatan men to men marking, lho cemen gue kerokin. Tapi sepertinya trik-trik itu tidak berprikeanjingan, gue juga gak mau Kak Seto dateng ke rumah gue, akhirnya gue lebih menggunakan pendekatan personal.
Gue mulai mengubah settingan dasi kupu-kupu gue menjadi transleter bahasa anjing. Pelajaran pertama. Kalo lho mau ngedeketin anjing, usahakan penampilan jangan menyerupai tulang berjalan. Ini yang sulit buat gue. Badan gue yang kayak tetelan atletis ini, tentu mengundang birahi si anjing untuk mencicipi gurihnya tulang lunak. Segala macam cara gue coba, selalu gagal. Gue gak bisa gemuk, mungkin itu yang buat Panda pergi dari gue, gue gak bisa jadi sapi seutuhnya.
Akhirnya, untuk bisa deket dengan itu anjing, gue pake cara Tarzan. Gue pun mencobanya. Gue tatap matanya dalam-dalam, lalu gue berkata dengan terbata, “Wawan teman anjing, anjing teman Wawan, kita semua teman !”. Berhasil. Si anjing mengerti, kita pun kenalan.
Ini adalah investigasi gue dengan anjing kampret laknat celalu dicakiti itu.
“Santai njing, niat gue baik, gue gak bakalan nyentuh lo (najis men). Tenang, lo berada di orang yang tepat sekarang, selesai kita ngobrol pun, lo gue jamin masih perawan.”
“Gue jantan goblok !”
(Anjingnya ngedumel)
“Sory-sory, jadi nama lo siapa ?”
“Nama gue Choki.
(Buseet !! Kerenan nama anjing dari nama gue.)
Ada perlu apa lo ?”
“Jujur ya, kita curhat-curhatan aja ni. Sebenernya gue terganggu dengan lolongan lo tiap malem. Gue jadi susah tidur, BAB gue gak lancar, gebetan gue hilang dan mungkin ngira gue homo.”
(Si anjing garuk kepala)
Intinya, lolongan lo buat gue, mungkin juga orang satu gang ini jadi terganggu. JADI TERGANGGU !! Jengjeng.”
Si anjing diem. Mungkin dia sedang merenungi dosa-dosa terkutuknya.
Gak lama, si anjing melolong nangis lagi.
Makin kenceng !!
Gue bingung setengah mati. Gue takut dikira tetangga gue mau perkosa anjingnya. Gue pun segera turun dari pohon dan masuk ke dalem rumah. Gue belom dapet info apa-apa dari si anjing, gue cuma dapet nama, tapi gue sempet curhat dikit.
Gue putusin pengumpulan data hari ini cukup sampai disini. Di hari berikutnya gue harus bisa dapet jawaban dari pertanyaan-pertanyaan biadab itu dan harus bisa mengakhiri jam tidur gak normal gue. Ini semua demi kuliah gue, demi seluruh umat manusia di dunia, Demi Moore juga.
***
Semakin hari semakin gue berusaha buat lupa, semakin bayangan Panda menghantui gue. Semakin menjadi-jadi pula anjing kampret itu menangisi malam gue. Menusuk gendang telinga gue dengan suara tangisan yang nyeremin, penuh penderitaan, dan istimewa. Ya, istimewa. Seperti seorang penyanyi yang menyanyi spesial untuk sang kekasih. Gue pengen tidur, malah dinina-boboin tangisan kenceng anjing kampret. Meskipun sebelumnya gue sempet nangis, tapi gue gak pernah ganggu orang lain dengan tangisan gue. Bagi gue, sedih gue itu cuma untuk gue dan bahagia gue untuk semua orang. Jadi, gue selalu nangis di ruang yang kedap suara, di mana cuma gue yang tahu dan cuma gue yang denger, hati gue.
Malam ini ada yang beda. Bukan karena sinar rembulan yang lebih mempesona, ataupun jejeran bintang yang parkir di langit lebih bercahaya. Malam ini, anjing itu nyaris tanpa suara. Mungkin tadi sore sang pemilik anjing sempet kasi anjing angonannya  minum Top One, atau mungkin si anjing lagi di-mute sama alam. Entahlah, yang jelas ini kabar gembira buat gue. Tapi, dibalik rasa gembira gue tersimpan rasa penasaran yang begitu menggebu, seperti bulu mata yang ketemu Syahrini, bawaannya pengen nempel terus. Akhirnya, gue, malem-malem, panjat pohon jambu di belakang rumah gue buat memastikan keadaan itu anjing. Gue takut dia gantung diri, secara tiap gue lewat rumah tetangga gue, gue biasa ngeliat lidah anjing itu melet-melet keluar bercucuran air liur. Mungkin dia sedang mencekik lehernya sendiri saat itu. Benar-benar anjing stres.
Supaya gue gak dilihat orang, malam itu gue sengaja pake hitam-hitam mirip MIB. Baju hitam, celana hitam, kulit hitam. Gue memang salah satu orang yang selalu menjunjung tinggi totalitas dalam setiap urusan.
Begitu sampai di atas pohon, gue langsung ngintip ke dalem kandang. Dan beruntung, itu anjing masih ada di sana. Dia terdiam aman. Anjing kampret itu selalu memandang jalan, hampir dalam setiap pertemuan gue dengan dia. Menurut gue ada seseorang seseekor yang sedang dia tunggu, atau mungkin dia rindu hidup bebas di atas tanah lepas. Bukan di ruangan 1x1 meter dengan jendela besi sebagai pembatas. Tiba-tiba gue merasa iba.
Dasi translater gue kembali gue pake. Untuk kedua kalinya, gue coba bicara sama dia. Gue sapa dia dengan suara pelan,” Njing”. Dia diem. Sekarang gue sapa lagi dengan sedikit mendesah, “Njingsssss”. Sekarang gue yang diem. Ini pertama kalinya gue mendesah di depan anjing. Gue nervous.
Hening sejenak.
“Dia  udah bukan milik gue lagi, dia udah ninggalin gue, dia lebih milih anjing kampung itu ketimbang gue, dia anjing !” kata anjing itu memecah sunyi.
Gue terkejut.
“Kampret, anjing bilang anjing”, celetuk gue dalem hati.
Belum sempet gue nanggepin, itu anjing kembali berceloteh, “Gue memang gak bisa jadi seperti yang dia mau atau mungkin memang dia bukan jodoh gue. Gue anjing kota sedangkan dia anjing kampung. Gue dikandang, dia bebas tanpa kurung. Gue selalu berusaha dan dia yang belum beruntung”.
Anjingnya nyengir.
“Terima kasih udah jadi telinga buat gue”.
Gue diem. Gue ngeliat kanan-kiri tapi gak ada makhluk lain selain gue. Gue jadi serem sendiri. Akhirnya gue cabut tanpa sepatah kata pun keluar dari mulut gue. Gue langsung masuk ke rumah menuju tempat favorit, kamar gue.
Di kamar, gue merenungi semua perkataan dari anjing kampret tadi. Mungkin dia ada benernya. Terkadang, seseorang yang udah kita pikir bakal jadi pasangan kita bisa aja ternyata bukan jodoh kita. Walaupun kita udah usaha buat deketin dia, walaupun kita udah ngerasa punya chemistry sama dia, walaupun kita udah sayang sama dia. Dan jawaban dari semua walaupun itu adalah karena dia belum beruntung untuk jadi pasangan kita.
Satu hal lagi, dalam setiap kegalauan hati seringnya kita memang cuma butuh telinga, butuh pendengar tanpa pendapat. Kita cuma butuh tempat mencurahkan untuk dapat melegakan dan menenangkan. Kita cuma butuh teman.
Sejak malam itu, anjing kampret udah gak pernah nangis tiap malam. Tidur gue pun jadi lebih nyenyak, lebih awal, dan dengan pagi yang lebih segar. Yang lebih penting lagi, gue udah belajar untuk merelakan Panda, meski merelakan gak selalu satu paket dengan melupakan. Sekarang gue lebih berani untuk move-on, kembali dekat dengan seseorang untuk menutupi lubang hati yang ditinggalkan dan mengisinya dengan kenangan-kenangan baru yang lebih mengesankan.

Sunday, 1 September 2013

Sekotak Sepi

Standard

Pagi ini rindu mengetuk atap rumahku. Datang beramai-ramai. Menjinjing sekotak sepi. Oleh-oleh katanya.
*
“Kamu bertamu terlalu pagi rindu, bahkan aku belum sempat gosok gigi”, keluhku.
Beberapa hari ini rindu selalu datang bertamu, tepatnya sejak rumahku mulai ditinggal penghuninya. Sering terlalu pagi, kadang juga di malam hari. Rindu memang tak kenal waktu. Tidak sehari sekali, bisa dua kali. Tiga kali sehari pun pernah, seperti orang minum obat. Padahal rinduku kini tiada pengobat.
Sebagai tuan rumah yang baik, aku selalu mempersilahkan rindu masuk. Aku buka pintu rumahku lebar-lebar. Aku ajak mereka duduk. Ruang tamu rumahku kini tidak lagi luas, sedang aku renovasi akibat pematahan kemarin. Karenanya, ada beberapa di antara mereka yang menunggu di luar. Di pekarangan, hingga teras depan.
Bila biasanya tuan rumah yang memberi jamuan, kini berbeda. Rindu yang menjamu aku. Disuguhinya beberapa toples berisi kenangan dan juga snack-snack kebiasaan. Ingin menolak, tapi tidak bisa. Aku pandangi toples itu, sengaja tidak aku buka. Terlalu indah untuk aku makan kemudian keluar sebagai kotoran. Biarlah mata yang melahap, lidahku enggan menguyah masa lalu.
“Rindu memang paling pandai memindai waktu”, aku berujar dalam hati sembari lobus oksipetalis dalam kepala mulai memamah isi toples yang disuapi mata.
Perlahan, aku merasa seperti dalam masa yang berbeda. Tidak asing tapi bukan sekarang. Aku berada di depan sepasang mata yang ketika menatapnya dalam, aku melihat diriku di masa depan. Aku berada di depan sepotong bibir yang ketika tersenyum, aku melihat pelangi cekung penuh kedamaian. Aku berada di depan sebentuk tubuh yang ketika memelukku, grativasi seakan hilang. Aku berada di depan sepuluh buah jari tangan yang ketika menyentuhku, aku tahu ini tempat jemariku pulang. Aku berada di depan sepasang kaki yang ketika ia berjalan, kami selalu berusaha berdampingan. Kemudian aku sadar. Aku berada di depan sekeping hati yang begitu aku kenali, penghuni rumahku sebelum sepi.
“Dasar rindu!”
Rindu tersenyum. Entahlah, mereka memang selalu begitu setiap kali datang ke rumah. Hanya sekedar senyum, atau menertawakan aku di dalam hati. Aku tak pernah tahu.
Mataku sepertinya ingin melahap yang lain. Tak kenal kenyang. Mungkin karena aku punya sepasang mata kembar, kanan dan kiri yang sejalan tapi dengan perut yang berbeda. Jika tadi mata kanan yang melahap, sekarang giliran mata kiri yang mulai lapar. Bisa saja sebaliknya. Ia melirik snack kebiasaan.
“Ah, sudahlah mata, apa kau tidak bosan?”, aku protes kepadanya. Mata diam. Protesku sama sekali tidak ia perdulikan. Dimakannya hingga habis tak bersisa.
“Dasar rakus! Mata sipit yang banyak makan. Apa kau tidak lihat kantung matamu yang sudah membesar? Ini akibat kau yang terlalu sering sarapan snack itu setiap pagi! Aku harus beralasan apa lagi pada teman-temanku nanti? Disengat binatang, kelilipan, semua sudah aku katakan! Bodoh!”. Aku kesal dengan tingkahnya. Setiap pagi. Setiap hari. Selalu begitu. Semoga tingkah itu cepat dibunuh waktu.
Aku lupa kalau sedang ada rindu di rumahku. Aku takut tidak sopan. Jangan sampai ia berpikir kekesalanku ini karena kedatangannya sekarang. “Hehe, maaf ya”. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Ada rasa diubun-ubunku yang entah apa.
“Jadi bagaimana kabarnya sekarang?”, tanyaku iseng, sambil mencoba mengalihkan perhatian.
“Dia baik-baik saja”.
“Apa kamu pernah mengunjunginya? Sudah punya rumah baru?”
Keisenganku begitu antusias. Lagi – lagi rindu hanya tersenyum. “Ah, sok manis”, kataku cemberut.
“Ini”. Rindu menyodorkan sebuah kotak kepadaku.
“Apa ini?”, tanyaku penasaran sambil menggoyangkan kotak itu.
“Ini oleh-oleh untukmu. Sepeninggalan penghuni lama sampai kamu bertemu dengan penghuni baru, kami selalu membagikan ini sebagai oleh-oleh”.
“Jadi ini oleh-oleh dari kalian atau penghuni rumahku dulu?”
“Ini oleh-oleh dari kepergian dan kehilangan”.
Sontak aku terdiam. Kepergiannya memang membuat aku kehilangan. Ya, aku kehilangan. Kehilangan dia, indah yang sementara. Kemudian kotak itu aku buka perlahan, aku takut isinya akan mengejutkanku. Dan, benar saja. Di dalam kotak itu hanya berisi sekeping cermin dan sendiri yang berserakan.
“Hanya untuk isi kotak yang seperti ini kalian membawanya beramai-ramai? Apa sebegitu berat?”, tanyaku heran.
Rindu mengangguk. “Lihatlah ke arah cermin di dalam kotak itu. Lihat mata yang menatapmu, lihat sosok di depanmu sekarang, lihat apakah dia benar kamu”.
Seenaknya saja dia menyuruh aku setelah pertanyaanku hanya dijawab sekenanya. Dasar diktator. Walaupun begitu, tetap saja aku melakukan apa yang dikatakannya. Mungkin rindu itu tukang hipnotis. Aku menatap dalam mata orang di cermin, fokusku hanya pada dia.
Aku mengenalnya, air wajahnya aku hafal. Tiba- tiba samar. Cahaya kemudian berpijar. Aku menutup mataku, terlalu silau. Terang mendadak gelap. Seketika aku berdiri di antara sendiri yang sedari tadi berserakan di dalam kotak. Aku terjebak.

Truth or Dare

Standard
“Kelar juga nih urusan”, kata Ambot sembari merapikan lembaran demi lembaran proposal penelitian skripsinya. “Mau kemana lagi?”
Hari itu seperti biasa kami berempat duduk di depan pelataran ruang sidang skripsi kampus kami. Gue, Acong, Jawe dan Ambot, laskar pejuang skripsi fakir sarjana. Gue dan mereka bertiga memang menjadi terbiasa nongkrong di sini. Maklum, sebagai anak semester 7,5 yang rajin, tajam dan terpercaya, kami sudah seharusnya ada di tempat ini, menggantikan senior kami yang sudah mulai sibuk dengan penelitian skripsinya.
Ada semacam tradisi unik yang entah disengaja atau tidak di kampus kami berkaitan dengan tempat tongkrongan. Ini merupakan hasil pengamatan gue selama tiga tahun lebih kuliah di sini. Berbekal lulus mata kuliah metodologi penelitian dengan nilai A dan juga lulus mata kuliah dasar-dasar logika dengan nilai Tuhan. Ya, nilai Tuhan.
Dasar-dasar logika merupakan mata kuliah paling angker di kampus gue, karena diampu oleh sesepuh kampus yang sudah tidak diragukan lagi ke-killer-annya. Saking angkernya, setiap mata kuliah dimulai, mendadak hening, bulu merinding dan tegang berkepanjangan, mungkin mata kuliah ini bisa untuk terapi impoten. Sudah banyak senior yang gugur dalam perkuliahan. Tak jarang mereka mengulang mata kuliah ini dua sampai tiga kali. Bahkan ada seorang senior gue yang udah mengulang empat kali, berhasil lulus dengan nilai B, itu pun setelah ikut SP (semester pendek). Entah karena mereka sayang dosen atau pengen modusin junior-juniornya, tiap tahun kelas mata kuliah ini tetap akan disesaki para senior.
Beda halnya dengan gue, gue berhasil dengan sempurna tanpa Andra & The Blackbron lulus dari kelas itu. Bukan gue sombong dengan mendeklarasikan diri gue kalau punya nilai Tuhan, tapi dosen gue sendiri yang bilang kalau nilai C nilai mahasiswa, nilai B nilai dosen, dan nilai A nilai Tuhan. Kadang gue ngerasa senang, tapi seringnya gue ngerasa ada yang salah dengan logika gue. Atau mungkin dosen gue khilaf.
Tradisi unik yang gue maksud, berkaitan dengan penelitian gue dengan judul pengaruh jumlah semester terhadap tempat tongkrongan ini dengan asumsi sebagai berikut, “Semakin banyak jumlah semester seseorang di kampus, maka semakin dekat pula tempat tongkrongan mereka ke ruang sidang”,  terbukti benar. Anak semester 7 ke atas, pasti lebih sering terlihat di depan ruang sidang dan ruang dosen; anak semester 5 ke atas, lebih sering terlihat nongkrong di selasar kampus ataupun di tempat-tempat sejuk dan rindang seperti di bawah pohon dan di depan mushola yang memang bersebelahan dengan ruang sidang; anak semester 3 ke atas, akan lebih sering terlihat nokrong di depan ruang kelas mereka masing-masing, dan butuh banyak langkah untuk sampai di ruang sidang meski tidak sampai 10.000 langkah Anline; dan anak semester 2 ke bawah akan lebih sering di kelas karena takut dengan seniornya. Studi penelitian gue ini hanya berlaku untuk mereka yang memikirkan tempat lain selain kantin kampus untuk menghabiskan waktu berharganya disela kehidupan organisasi.
“Eh, kemana lagi kita? Sibuk bener sama hape, temen ngomong dicuekin”, Ambot mulai kesal.
“Iye..iye..denger, ke rumah gue aja gimana, ada kaset baru nih, dvd-an dulu kita daripada pusing mikirin skripsi”, Acong memberi usul.
Sepakat. Kami pun akhirnya pergi menyambangi kediaman Acong yang memang tidak terlalu jauh dari kampus, 20 menit perjalanan dengan kuda besi (baca: motor).
***
“Eh, bosen gue dvd-an terus, ngapain kek yang lain, buka puasa masih setengah hari juga ini”, gerutu Jawe sambil memperlihatkan wajah tidak menariknya yang tampak tidak tertarik.
“Hemm. Gimana kalau kita main Truth or Dare?”, gue coba memberi usul.
“Nah, . . . . Itu apaan?”, Jawe cengengesan.
“Monyet! Truth or Dare itu main jujur-jujuran sama berani-beranian, ditentuinnya pake botol yang diputer, kalau kurang jelas, nih baca novel @WowKonyol halaman 217, gue baru hatam kemarin”, kata gue sambil nyodorin novel yang laknat kerennya itu ke mereka.
Sejujurnya, gue juga kurang paham dengan arti asli istilah Truth or Dare, gue mau googling terlalu buang waktu untuk jadi keren, akhirnya gue lebih milih untuk memberikan langsung novel itu ke mereka, supaya mereka paham sendiri karena ketidaktahuan akan lebih mengenyangkan apabila kita mencarinya sendiri, bukan sekedar bertanya atau minta disuapi.
Sebenarnya ini bukan mainan baru, waktu SMA dulu gue juga sering main beginian, tapi gue lupa namanya apa. Maklum, nilai sejarah gue memang sering jelek sejak SD, gue paling susah buat inget dengan nama-nama, nama sepeda kumbangnya Bung Tomo gue gak tahu, kapan rambut Pak Harto mulai memutih gue gak tahu, kapan Liverpool terakhir kali juara gue lupa, tanggal jadian gue aja gue sering lupa. Tapi masih ada yang lebih parah dari gue, sih, namanya Aurel, dia paling cepat untuk bisa lupain mantan.
“Gimana?”
“Boleh, seru juga kayaknya, tapi kita harus sepakat dulu nih, sebagai lelaki sejati kita harus pegang janji. Oke?”, Acong yang mulai antusias. “Oke. Akika, kan, lelaki jantan”, sambung Ambot.
“Jadi gini, karena ini bulan puasa segala tantangan yang bisa membatalkan puasa kita simpan untuk nanti setelah buka, kan hari ini kita udah janjian sama yang lain buat buka bareng di Seafood Gading, nah, di sana kita jalanin tantangan yang udah dikasi, biar gue yang catat, supaya gak lupa”, gue jelasin dengan semangat Dream Team Indonesia waktu dibantai Arsenal 0-7.
“Dan, jangan lupa ini bulan puasa, kita harus jawab jujur setiap pertanyaan, bohong itu dosa, ingat sugesti saya, bohong itu dosa dan mengurangi pahala puasa”, kata Acong sambil bergaya seperti Uya Kuya yang lagi hipnotis istrinya sendiri supaya mau sama dia.
 Mendengar teman-temannya mulai bersemangat, Jawe segera berlari ke dapur. Dibawanya satu botol air mineral 250 Ml dari kulkas, masih dengan air yang menetes dari luar permukaan bo888i tol. Gue pikir dia udah mulai gak tahan buat minum, secara cuaca Pontianak siang itu memang lumayan menyengat, maklum, lebah bernama garis khatulistiwa memang berdiam di wilayah ini. Belum lagi keringat yang terus menetes dari botol buat gue yakin kalau itu botol lagi keringat dingin, nervous digenggam Jawe yang bukan muhrimnya.
Tiba-tiba Jawe membuang air isi botol tersebut, dituangkannya ke dalam gelas tepat dihadapan kami semua. Bulir-bulir air yang perlahan tumpah dan memenuhi gelas itu tampak begitu menyegarkan, setiap tetesnya sangat menggairahkan, seperti air dingin dari kulkas yang terjun bebas di depan orang yang berpuasa, menggoda iman, bahkan untuk gue yang kurang pandai memberi perumpamaan.
“Woi! Serius bener”, Jawe memecah hening. Membuat lamunan kami akan segarnya air dingin pecah berkeping-keping. Nafsu gue patah hati.
“Kapan kita mulai, gue udah ngambil botol juga”
“Iye. . .iye sabar, orang sabar disayang Tuhan, pacar sabar diinjek-injek pasangan”, timpal gue.
“Yaelah die curhat. Sebelum mulai janji kelingking dulu buat semua perjanjian tadi”, Ambot menambahkan. Kelingkingnya mulai ia julurkan. Kelingking yang sebesar ibu jari.
Bagi kami, walaupun sudah menjadi anak kuliahan semester normal, janji kelingking tetap kami lakukan, meskipun merupakan ritual yang mungkin kekanakan bagi sebagian orang. Cara anak-anak yang menurut gue sangat dewasa. Tanpa janji kelingking kita gak akan punya banyak teman waktu TK. Itu pengalaman diri gue sendiri, karena gue gak pernah TK.
Terkadang kita harus belajar ke anak-anak bagaimana caranya bergaul, berjanji dan memaafkan. Bagaimana mereka bermain tanpa beban, bagaimana mereka berteman tanpa kepentingan, bagaimana mereka berjanji tanpa ingkar, bagaimana mereka bertengkar kemudian memaafkan. Hanya dengan janji kelingking, janji dengan jari paling manis di masa kecil.
“Kita mulai sekarang!”, gue memberi aba-aba.
“Duduk melingkar, biar gue yang pertama kali memutar botol ini. Kan, gue yang punya ide. Siap!”, gue mengambil ancang-ancang untuk memutar botol itu dengan kencang.
Botol berputar dengan kencang, Casey Stoner pun akan kalah kencang oleh kecepatan putaran botol itu. Lagian kenapa Casey Stoner bawa motor cuma muter-muter?
Mulut botol berhenti tepat di depan Ambot. Ambot mulai melirik genit ke gue. Gue agak gusar.
“Mbot, cuma mau mengingetin nih, lo itu pergi ke kampusnya nebeng gue. Cuma ngingetin aja sih”, kata gue dengan wajah malaikat.
“Curang, main gertak. Ya udah, gue pilih Jawe”, Ambot menentukan pilihannya.
Gue lega. Gue bebas sementara untuk jadi korban kejahilan Ambot. Gue punya pengalaman buruk dijahilin oleh dia. Gue pernah dibuat malu semalu-malunya malu. Foto gue tidur dengan mulut menganga dijadiin display picture BBM BB gue sendiri, tentunya dengan banyak editan di sana sini. Bukan hanya itu, foto gue di-share ke grup BBM kampus gue. Alhasil, pamor keren gue dihadapan para junior turun drastis. Sama kayak posisi QPR di klasmen liga Inggris musim lalu.
“We, pilih Truth or Dare?”, serang Acong walaupun bukan dia yang memilih korban. Matanya berbinar, terlihat sangat bersemangat dengan permainan ini.
“Tantangan aja lah”, jawab Jawe dengan wajah pas-pasan.
Ambot tersenyum sumringah, entah apa yang ada di kepala anak itu sekarang, gue sama Acong saling tatap, antara menunggu dan curiga hal aneh akan terjadi.
“Oke. Tantangan yang bakal gue kasi gak susah kok, lo cuma harus sedikit berani untuk menyampaikan kekesalan lo selama ini”, Ambot menjelaskan perlahan dengan suara dimainkan sedewasa mungkin.
Jawe bingung. Gue dan Acong sama-sama garuk kepala. Gue garuk kepala Acong, Acong garuk kepala gue.
“Apa sih yang mau dibilang sama ini orang, penasaran”,batin gue.
“Kan selama ini lo kesal sama dosen pembimbing lo yang rada ribet, sering ke luar kota dan banyak maunya itu. Lo lihat kan, nomor telpon sedot WC di tiang listrik depan”, kata Ambot sambil menunjuk tiang listrik yang tiap hari mangkal di depan rumah Acong.
Hening sejenak.
“Jadi maksudnya, gue mesti telpon nomor sedot WC terus ngaku dengan nama dosen pembimbing gue minta rumahnya disedot gitu?”, Jawe menebak kaget.
“Persis”, jawab Ambot ringan. Jawaban yang bertolak belakang dengan berat badannya.
“Monyet! Gak mau gue, entar kalau ketahuan bisa makin dipersulit skripsi gue.”
“Janji adalah janji, mau gak mau lo harus lakuin dong. Ini gue juga sekalian bantuin supaya lo bisa salurin kekesalan elo, gak cuma ngedumel terus ngetwit ngeluh mulu tiap hari di TL”, Ambot tetap berusaha menjelaskan sebijak mungkin.
“Ya, tapi entar kalau ketahuan gimana? Parah juga ide lo Mbot”, gue ikutan ngomong sambil cengengesan. Di satu sisi ini emang ide yang agak kelewatan, di sisi lain gue juga pengen dosen itu dikerjaian. Gue kesal sama itu dosen, tiap mata kuliah dia yang gue ambil nilainya selalu C. Ambot juga begitu, mungkin ini salah satu caranya melampiaskan kekesalan lewat orang lain. Ide yang kampret.
“Nih, pakai nomor hape gue, kalau lo takut ketahuan”, gue mencoba memberikan bantuan tanpa pikir panjang. Gue memang punya dua nomor hape, yang satu sebagai nomor tetap, yang satu lagi akan selalu gonta-ganti tergantung provider hape pacar atau gebetan gue. Mitosnya, nelpon ke sesama operator itu murah. Dan ini jadi salah satu strategi pacaran yang selalu gue terapkan.
“Tapi lo tahu alamat rumah dosen pembimbing lo itu kan?”, seruduk Acong sambil menyodorkan nomor telpon sedot WC yang tanpa kami sadari sudah dia renggut dari tiang listrik belia itu.
Jawe mengangguk pelan. Dengan pasti dia mulai mengetik nomor telpon biro jasa sedot WC. Gue, Acong dan Ambot tersenyum senang.
Saat telpon terhubung dan Jawe mulai dengan pasti berbicara layaknya orang dengan safety tank kembung di rumahnya bertanya-tanya kepada abang sedot WC yang bersuara cempreng, gue, Acong dan Ambot cuma bisa cengar-cengir sambil menahan tawa. Untung ada gigi, bibir dan tangan sebagai tembok penghalang tawa kami.
Sampai pada akhirnya Jawe menyebutkan nama dan alamat rumah dosen pembimbingnya itu, tiba-tiba tawa kami pecah. Dengan segera kami berlari ke luar rumah supaya gak kedengaran abang sedot WC.
Jawe keluar rumah sambil tersenyum lega kepada kami, sementara kami masih sibuk dengan kotak tertawa kami yang tiba-tiba pecah sampai membuat perut keram. Mungkin lebih keram dari wanita yang lagi PMS. Begitulah lelaki, memang harus sok tahu urusan wanita.
“Puas kalian?”, wajah Jawe tampak puas namun kesal.
“Hahaha. Puas pake banget!”, jawab kami serentak. Entahlah kenapa kami bisa menjawab dengan sama dan senada, mungkin kami bertiga memang berjodoh.
Kami kembali masuk kemudian duduk bersila membentuk segi empat, karena membentuk lingkaran sudah terlalu mainstream. Botol kembali diputar, kali ini Jawe yang mengambil giliran memutar botol. Sengaja diputarnya pelan, mungkin dia melakukannya supaya dia yang mendapat kesempatan untuk menunjuk korban. Aura balas dendam terpancar keluar dari ubun-ubunnya.
Tutup botol itu hampir berhenti tepat dihadapan jempol gue, gue mulai sumringah. Tapi tiba-tiba botol berputar pelan kemudian berhenti mengarah ke Acong.
“Hahaha, giliran gue. Jempol kaki lo bau sih, makanya botolnya gak mau berhenti di situ. Hahaha.”
“Kampret !”, gue protes. Gue kembali tegang. Maklum, kami berempat ini adalah sahabat kental, saking kentalnya persahabatan kami, orang-orang yang keracunan bisa meminum kami demi kesembuhan. Seperti susu memang. Manis, menyehatkan. Apa sih.
“Tegang bener lo, biasa aja kali”, kata Acong sambil menunjuk hidung pesek gue. Matanya begitu bercahaya, seperti sedang melihat masa depan di dalam ketegangan gue. “Gue pilih elo”, Acong kembali menunjuk hidung pesek gue.
“Jangan tunjuk ke sini juga kali, mentang-mentang mancung. Hidung gue ini pesek gegara gue gak pernah bohong”, gue sewot. “Gue pilih Dare aja.”
Belum Acong bertanya, gue udah keburu menetapkan pilihan. Udah jadi kebiasaan gue untuk selalu menetapkan pilihan bahkan sebelum diminta. Dunia percintaan membuat gue banyak belajar akan itu.
“Pas, sekarang gue cuma mau elo mencatat doang kok, catat di hape elo kalau nanti setelah buka puasa lo harus makan udang. Simpel, kan?”
DEG. “Gue alergi udang monyet!”
“Ah, paling cuma gatal-gatal jam 3 pagi, sekalian sahurkan? Jadi lo gak susah buat dibangunin”, Ambot kembali bicara dengan ringan.
Gue pasrah. Yang ada dipikiran gue sekarang cuma bagaimana caranya untuk tetap makan udang tanpa harus alergi. Apa gue harus minum persahabatan kami yang kental itu?
Tantangan itu gak gue catat, karena sudah pasti mereka bertiga akan ingat. Mencatat rencana bunuh diri bukan suatu hal yang menyenangkan, kecuali gue korban cuci otak para teroris.
Botol kembali diputar dan beruntungnya Acong kembali mendapat kesempatan untuk menunjuk korban. Sekarang gue agak tenang, barusan gue udah jadi korban. Walaupun korban bisa ditunjuk dua kali berurutan tapi gue merasa yakin gue akan bebas kali ini. Kalau gue dua kali beruntun kena jadi korban gak seru dong? Atau justru itu yang seru? Seketika, tenang menjadi tegang.
“Ue, gue pilih lo lagi”, kata Acong mantap. Tapi dengan nada bicara dan sorot mata yang berbeda.
“Gue lagi, gue lagi”, gue menghela nafas panjang, saking panjangnya ujung nafas gue gak bisa dilihat dengan kasat mata. Cuma Allah dan malaikat Izrail yang tahu. “Gue pilih Truth aja sekarang, entar malah disuruh yang aneh-aneh lagi. Gue trauma.”
Acong tersenyum aneh. Senyum yang biasa gue lihat kalau dia udah mulai membahas hal-hal serius. Sepertinya gue memberi jawaban pilihan yang salah. Dengan nada suara yang dipelankan, Acong melemparkan pertanyaan, “Bener, sekarang lo lagi deket sama Naya?”
JEGGER!
Lemparan pertanyaan dari Acong gue tangkap dengan kaget. Naya adalah salah satu junior gue yang pernah dideketin Acong, namun tanpa alasan pasti akhirnya Naya menjauhi Acong. Yang gue tahu mereka gak sempat jadian, hanya saja Acong sepertinya begitu tertarik dengan Naya, sempat beberapa kali waktu itu, Acong menggunakan foto Naya sebagai display picture BBM-nya. Dimana saat itu gue juga berpikir kalau mereka sudah jadian. Ternyata tidak, Naya sendiri yang cerita ke gue. Memang, sejak Naya menjauhi Acong dan kini Acong sudah pacaran dengan Dela, gue dan Naya jadi sering BBM-an, dia selalu curhat tentang apapun ke gue.
“Hmmm...”. Kamera di zoom in ke muka gue, tahi lalat gue mempertunjukkan pesonanya.
Gue masih tercengang dengan pertanyaan Acong, bibir gue beku, lidah terasa kaku. Ada rasa gak enak dalam hati gue. Naya dan Acong memang gak sempat pacaran, tapi Acong adalah sahabat gue dan suka sama dia. Gue sudah memikirkan ini sejak awal gue dan Naya BBM-an, tapi seringnya malah tersapu oleh rasa nyaman. Satu hal yang gue takutkan, Acong akan berpikir bahwa gue lah penyebab Naya menjauhinya. Dicap menusuk dari belakang bukanlah hal yang bisa dibanggakan, kecuali gue Rambo di perang Vietnam.
“Iii..iya”, gue jawab dengan terbata. Acong tersenyum kecut. Belum sempat dia bicara, gue buru-buru menempelkan telunjuk gue tepat ke bibirnya.
“Astagfirullah”, gue tersadar.
“...gue memang lagi dekat dengan Naya, tapi itu setelah lo udah gak dekat dengan dia dan lo udah pacaran sama Dela. Bukan gue yang buat Naya jauhin elo. Naya pernah bilang ke gue kalau yang buat dia ngejauhin lo itu karena....”, tiba-tiba gue diam. “Gue udah janji sama Naya kalau gue gak akan cerita ini ke elo. Sorry... seperti kata elo, lelaki sejati selalu pegang janji.”
Acong kembali tersenyum, senyum yang berbeda, sedikit ngehek.
“Santai aja kali, gugup amat jawabnya. Hahaha.. Gue gak marah kok, cuma ngetes lo doang, ternyata lo mikirin perasaan gue juga ya, gue terharu. Cini cini peyuk!”
“Hehehe”, gue cuma bisa nyengir kuda. “Kampret, gue dikerjain”, teriak gue dalam hati. Malu bercampur senang. Jawe dan Ambot hanya diam menonton kami berdrama seperti di film-film Korea.
Tiba-tiba Ambot dan Jawe bertepuk tangan serempak. “Orang sahabatan mesti gini, harus saling jujur dan memaafkan. Kalau gak ada yang ditutupin, kan enak. Lebih isis kalau kata orang Jawa”, Ambot bijak.
“Udah cukup dramanya? Udahan, yuk, mainnya. Udah mau ashar, entar mau bukber lagi, pulang dulu siap-siap”, sambung Jawe sambil memperhatikan jam tangannya.
Sementara mereka mulai berkemas, gue masih diam dengan perasaan kurang nyaman. Gue menghampiri Acong yang sedang di dapur mengisi air di botol yang tadi kami gunakan untuk bermain Truth or Dare.
“Sekali lagi maaf ye Cong”
“Hahaha.. Iye santai, asal lu gak lupa satu hal!”
“HAH ! Apaan?”
“Lo mesti makan udang kalau udah buka puasa entar”, katanya sambil tersenyum simpul. Senyumnya anak pramuka.

“IYE”, jawab gue bete.