Pagi ini rindu mengetuk atap rumahku. Datang
beramai-ramai. Menjinjing sekotak sepi. Oleh-oleh katanya.
*
“Kamu bertamu terlalu pagi rindu, bahkan aku
belum sempat gosok gigi”, keluhku.
Beberapa hari ini rindu selalu datang bertamu,
tepatnya sejak rumahku mulai ditinggal penghuninya. Sering terlalu pagi, kadang
juga di malam hari. Rindu memang tak kenal waktu. Tidak sehari sekali, bisa dua
kali. Tiga kali sehari pun pernah, seperti orang minum obat. Padahal rinduku
kini tiada pengobat.
Sebagai tuan rumah yang baik, aku selalu
mempersilahkan rindu masuk. Aku buka pintu rumahku lebar-lebar. Aku ajak mereka
duduk. Ruang tamu rumahku kini tidak lagi luas, sedang aku renovasi akibat pematahan kemarin. Karenanya, ada beberapa di antara mereka yang menunggu di
luar. Di pekarangan, hingga teras depan.
Bila biasanya tuan rumah yang memberi jamuan, kini
berbeda. Rindu yang menjamu aku. Disuguhinya beberapa toples berisi kenangan
dan juga snack-snack kebiasaan. Ingin menolak, tapi tidak bisa. Aku
pandangi toples itu, sengaja tidak aku buka. Terlalu indah untuk aku makan
kemudian keluar sebagai kotoran. Biarlah mata yang melahap, lidahku enggan
menguyah masa lalu.
“Rindu memang paling pandai memindai waktu”,
aku berujar dalam hati sembari lobus oksipetalis dalam kepala mulai memamah isi
toples yang disuapi mata.
Perlahan, aku merasa seperti dalam masa yang
berbeda. Tidak asing tapi bukan sekarang. Aku berada di depan sepasang mata
yang ketika menatapnya dalam, aku melihat diriku di masa depan. Aku berada di
depan sepotong bibir yang ketika tersenyum, aku melihat pelangi cekung penuh
kedamaian. Aku berada di depan sebentuk tubuh yang ketika memelukku, grativasi
seakan hilang. Aku berada di depan sepuluh buah jari tangan yang ketika
menyentuhku, aku tahu ini tempat jemariku pulang. Aku berada di depan sepasang
kaki yang ketika ia berjalan, kami selalu berusaha berdampingan. Kemudian aku
sadar. Aku berada di depan sekeping hati yang begitu aku kenali, penghuni
rumahku sebelum sepi.
“Dasar rindu!”
Rindu tersenyum. Entahlah, mereka memang
selalu begitu setiap kali datang ke rumah. Hanya sekedar senyum, atau menertawakan
aku di dalam hati. Aku tak pernah tahu.
Mataku sepertinya ingin melahap yang lain. Tak
kenal kenyang. Mungkin karena aku punya sepasang mata kembar, kanan dan kiri
yang sejalan tapi dengan perut yang berbeda. Jika tadi mata kanan yang melahap,
sekarang giliran mata kiri yang mulai lapar. Bisa saja sebaliknya. Ia melirik snack
kebiasaan.
“Ah, sudahlah mata, apa kau tidak bosan?”, aku
protes kepadanya. Mata diam. Protesku sama sekali tidak ia perdulikan.
Dimakannya hingga habis tak bersisa.
“Dasar rakus! Mata sipit yang banyak makan.
Apa kau tidak lihat kantung matamu yang sudah membesar? Ini akibat kau yang
terlalu sering sarapan snack itu setiap pagi! Aku harus beralasan apa
lagi pada teman-temanku nanti? Disengat binatang, kelilipan, semua sudah aku
katakan! Bodoh!”. Aku kesal dengan tingkahnya. Setiap pagi. Setiap hari. Selalu
begitu. Semoga tingkah itu cepat dibunuh waktu.
Aku lupa kalau sedang ada rindu di rumahku.
Aku takut tidak sopan. Jangan sampai ia berpikir kekesalanku ini karena
kedatangannya sekarang. “Hehe, maaf ya”. Aku menggaruk kepalaku yang tidak
gatal. Ada rasa diubun-ubunku yang entah apa.
“Jadi bagaimana kabarnya sekarang?”, tanyaku
iseng, sambil mencoba mengalihkan perhatian.
“Dia baik-baik saja”.
“Apa kamu pernah mengunjunginya? Sudah punya
rumah baru?”
Keisenganku begitu antusias. Lagi – lagi rindu
hanya tersenyum. “Ah, sok manis”, kataku cemberut.
“Ini”. Rindu menyodorkan sebuah kotak
kepadaku.
“Apa ini?”, tanyaku penasaran sambil
menggoyangkan kotak itu.
“Ini oleh-oleh untukmu. Sepeninggalan penghuni
lama sampai kamu bertemu dengan penghuni baru, kami selalu membagikan ini
sebagai oleh-oleh”.
“Jadi ini oleh-oleh dari kalian atau penghuni
rumahku dulu?”
“Ini oleh-oleh dari kepergian dan kehilangan”.
Sontak aku terdiam. Kepergiannya memang
membuat aku kehilangan. Ya, aku kehilangan. Kehilangan dia, indah yang sementara.
Kemudian kotak itu aku buka perlahan, aku takut isinya akan mengejutkanku. Dan,
benar saja. Di dalam kotak itu hanya berisi sekeping cermin dan sendiri yang
berserakan.
“Hanya untuk isi kotak yang seperti ini kalian
membawanya beramai-ramai? Apa sebegitu berat?”, tanyaku heran.
Rindu mengangguk. “Lihatlah ke arah cermin di
dalam kotak itu. Lihat mata yang menatapmu, lihat sosok di depanmu sekarang,
lihat apakah dia benar kamu”.
Seenaknya saja dia menyuruh aku setelah
pertanyaanku hanya dijawab sekenanya. Dasar diktator. Walaupun begitu, tetap saja
aku melakukan apa yang dikatakannya. Mungkin rindu itu tukang hipnotis. Aku
menatap dalam mata orang di cermin, fokusku hanya pada dia.
Aku mengenalnya, air wajahnya aku hafal. Tiba-
tiba samar. Cahaya kemudian berpijar. Aku menutup mataku, terlalu silau. Terang
mendadak gelap. Seketika aku berdiri di antara sendiri yang sedari tadi
berserakan di dalam kotak. Aku terjebak.
070515; 12:12 PM
ReplyDelete