Sunday, 1 September 2013

Sekotak Sepi

Standard

Pagi ini rindu mengetuk atap rumahku. Datang beramai-ramai. Menjinjing sekotak sepi. Oleh-oleh katanya.
*
“Kamu bertamu terlalu pagi rindu, bahkan aku belum sempat gosok gigi”, keluhku.
Beberapa hari ini rindu selalu datang bertamu, tepatnya sejak rumahku mulai ditinggal penghuninya. Sering terlalu pagi, kadang juga di malam hari. Rindu memang tak kenal waktu. Tidak sehari sekali, bisa dua kali. Tiga kali sehari pun pernah, seperti orang minum obat. Padahal rinduku kini tiada pengobat.
Sebagai tuan rumah yang baik, aku selalu mempersilahkan rindu masuk. Aku buka pintu rumahku lebar-lebar. Aku ajak mereka duduk. Ruang tamu rumahku kini tidak lagi luas, sedang aku renovasi akibat pematahan kemarin. Karenanya, ada beberapa di antara mereka yang menunggu di luar. Di pekarangan, hingga teras depan.
Bila biasanya tuan rumah yang memberi jamuan, kini berbeda. Rindu yang menjamu aku. Disuguhinya beberapa toples berisi kenangan dan juga snack-snack kebiasaan. Ingin menolak, tapi tidak bisa. Aku pandangi toples itu, sengaja tidak aku buka. Terlalu indah untuk aku makan kemudian keluar sebagai kotoran. Biarlah mata yang melahap, lidahku enggan menguyah masa lalu.
“Rindu memang paling pandai memindai waktu”, aku berujar dalam hati sembari lobus oksipetalis dalam kepala mulai memamah isi toples yang disuapi mata.
Perlahan, aku merasa seperti dalam masa yang berbeda. Tidak asing tapi bukan sekarang. Aku berada di depan sepasang mata yang ketika menatapnya dalam, aku melihat diriku di masa depan. Aku berada di depan sepotong bibir yang ketika tersenyum, aku melihat pelangi cekung penuh kedamaian. Aku berada di depan sebentuk tubuh yang ketika memelukku, grativasi seakan hilang. Aku berada di depan sepuluh buah jari tangan yang ketika menyentuhku, aku tahu ini tempat jemariku pulang. Aku berada di depan sepasang kaki yang ketika ia berjalan, kami selalu berusaha berdampingan. Kemudian aku sadar. Aku berada di depan sekeping hati yang begitu aku kenali, penghuni rumahku sebelum sepi.
“Dasar rindu!”
Rindu tersenyum. Entahlah, mereka memang selalu begitu setiap kali datang ke rumah. Hanya sekedar senyum, atau menertawakan aku di dalam hati. Aku tak pernah tahu.
Mataku sepertinya ingin melahap yang lain. Tak kenal kenyang. Mungkin karena aku punya sepasang mata kembar, kanan dan kiri yang sejalan tapi dengan perut yang berbeda. Jika tadi mata kanan yang melahap, sekarang giliran mata kiri yang mulai lapar. Bisa saja sebaliknya. Ia melirik snack kebiasaan.
“Ah, sudahlah mata, apa kau tidak bosan?”, aku protes kepadanya. Mata diam. Protesku sama sekali tidak ia perdulikan. Dimakannya hingga habis tak bersisa.
“Dasar rakus! Mata sipit yang banyak makan. Apa kau tidak lihat kantung matamu yang sudah membesar? Ini akibat kau yang terlalu sering sarapan snack itu setiap pagi! Aku harus beralasan apa lagi pada teman-temanku nanti? Disengat binatang, kelilipan, semua sudah aku katakan! Bodoh!”. Aku kesal dengan tingkahnya. Setiap pagi. Setiap hari. Selalu begitu. Semoga tingkah itu cepat dibunuh waktu.
Aku lupa kalau sedang ada rindu di rumahku. Aku takut tidak sopan. Jangan sampai ia berpikir kekesalanku ini karena kedatangannya sekarang. “Hehe, maaf ya”. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Ada rasa diubun-ubunku yang entah apa.
“Jadi bagaimana kabarnya sekarang?”, tanyaku iseng, sambil mencoba mengalihkan perhatian.
“Dia baik-baik saja”.
“Apa kamu pernah mengunjunginya? Sudah punya rumah baru?”
Keisenganku begitu antusias. Lagi – lagi rindu hanya tersenyum. “Ah, sok manis”, kataku cemberut.
“Ini”. Rindu menyodorkan sebuah kotak kepadaku.
“Apa ini?”, tanyaku penasaran sambil menggoyangkan kotak itu.
“Ini oleh-oleh untukmu. Sepeninggalan penghuni lama sampai kamu bertemu dengan penghuni baru, kami selalu membagikan ini sebagai oleh-oleh”.
“Jadi ini oleh-oleh dari kalian atau penghuni rumahku dulu?”
“Ini oleh-oleh dari kepergian dan kehilangan”.
Sontak aku terdiam. Kepergiannya memang membuat aku kehilangan. Ya, aku kehilangan. Kehilangan dia, indah yang sementara. Kemudian kotak itu aku buka perlahan, aku takut isinya akan mengejutkanku. Dan, benar saja. Di dalam kotak itu hanya berisi sekeping cermin dan sendiri yang berserakan.
“Hanya untuk isi kotak yang seperti ini kalian membawanya beramai-ramai? Apa sebegitu berat?”, tanyaku heran.
Rindu mengangguk. “Lihatlah ke arah cermin di dalam kotak itu. Lihat mata yang menatapmu, lihat sosok di depanmu sekarang, lihat apakah dia benar kamu”.
Seenaknya saja dia menyuruh aku setelah pertanyaanku hanya dijawab sekenanya. Dasar diktator. Walaupun begitu, tetap saja aku melakukan apa yang dikatakannya. Mungkin rindu itu tukang hipnotis. Aku menatap dalam mata orang di cermin, fokusku hanya pada dia.
Aku mengenalnya, air wajahnya aku hafal. Tiba- tiba samar. Cahaya kemudian berpijar. Aku menutup mataku, terlalu silau. Terang mendadak gelap. Seketika aku berdiri di antara sendiri yang sedari tadi berserakan di dalam kotak. Aku terjebak.

1 comment: