Friday, 13 September 2013

Percakapan Konspirasi Penantian

Standard


Malam semakin menghitam. Langit mencerahkan wajahnya lewat senyum bulan berbentuk sabit. Pula ribuan bintang, benih rindu milikku yang berserakan. Aku seperti biasa, menghabiskan waktu bersama lembar demi lembar buku. Sekarang, aku memang gemar membaca, sambil mencari pedoman untuk membaca hatinya. Maklum, sebagai seorang lelaki, di hadapan wanita, ‘salah’ adalah milik kita yang hakiki.

Benar kata orang, buku adalah sebenar-benarnya teman. Menjalani hubungan jarak jauh akan selalu dihantui kesepian, selain bayangan sang pujaan tentunya.

Sudah pukul 11 malam, detik berputar pada poros waktu, seperti detak jantungku yang berputar pada poros rindu. Sementara Tuhan, poros rotasi cinta. Aku dan dia berputar di dalamnya. Dalam kuasa-Nya. Dalam takdir-Nya.

Selepas isya tadi, dia berkata padaku baru saja minum obat. Kasihan dia, sakit. Kelelahan, gejala typus kata dokter. Semoga saja ini bukan karena dia lelah menunggu aku pulang. Andai aku ada di sampingnya sekarang, tentu aku akan menjaganya dalam lelap, sambil mengelus rambutnya yang halus.

Malam semakin larut, otakku mulai jengah pada aksara yang aku baca, tokohnya membuat aku iri. Cerita cinta satu kota. Ah...

Mataku kini beralih menuju Blackberry hitam yang sedari tadi diam. Lampu di kanan atas layar pun tak lagi mengedip. Ibu jariku bak balerina handal menari-nari di atas gadget keluaran perusahaan Kanada itu. Recent Update, tempat yang ia tuju. Ah, dia baru saja mengganti display picture-nya. Bangun dan tak memberi aku kabar, padahal di sini khawatirku berdebar. Tunggu sampai nanti aku komplain padanya.

“Udah sehat?”

“Syuudaah. Udah bisa ngeledekin kamu lagi :p”

Lihatlah, betapa dengan mudahnya dia membuat aku tersenyum. Emosiku kandas, kalah oleh cerianya yang lugas.

“Cuma sekedar ngeledekin? Terus apa bedanya kamu sama yang lain?”

“Sebenernya aku pengen ngejorokin kamu ke got, tapi entar aja kalo ketemu. Aku beda, kan, sama yang lain?”

“Hemm..Menarik. Beda. Bolehlah kamu ngejorokin aku ke got, asal aku bisa tetap jatuh di kamu.”

“Masalahnya, kamu terlalu kuat untuk jatuh L

“Karang sekalipun bisa terbelah oleh kikisan ombak. Apa lagi aku, sepertinya aku akan kuat setelah jatuh di kamu.”

“Aku...nggak pernah sekuat ombak. Aku hanya palung, yang di dalamnya, kamu tak pernah ingin bermuara.”

Kata-katanya selalu begitu, selalu membuat puisi mendayu.

“Apa kamu pikir aku juga sekuat karang? Selama ini aku hanya mengarang, agar ada paragraf kita dari kalimat indah yang semoga tak sementara.”

“Ya. Kamu adalah pengarang yang tulisannya tak pernah mampu kubaca.”

“Kamu serius Rani? Tidakkan kamu dengar suara angin malam? Tuhan sedang membacakan tulisanku, tentang kerinduan yang teramat dalam. Padamu.”

“Aku t’lah lelah. Kucoba melihat, mataku tak sedikitpun menangkap kelebatmu. Kubuka telingaku lebar-lebar, namun yang kudengar hanya detak jantungku sendiri. Aku mulai meraba, hanya angin yang menelusup di sela jariku. Sekarang, aku akan diam, menanti kamu pulang. Entah kapan.”

“Kamu pernah mengatakan bahwa aku kurang peka, mungkin saat ini baiknya kamu katakan itu pada dirimu sendiri! Entahlah Rani. Terkadang aku geli bila melihat tulisan di belakang truk, “pulang malu tak pulang rindu”, aku merasa tersindir, pula tersihir. Di sini, aku sedang merajut masa depan kita, meski lewat jarak, agar ketika aku kembali pulang, bukan giliran kamu yang beranjak.”

“Kamu yang merajut, aku yang tertusuk jarumnya. Berdarah aku mengejarmu, tapi langkahmu menjauh tak tergapai. Mungkin sudah saatnya aku berhenti percaya bahwa kamu nyata.”

“Tunggu dulu Rani! Kamu harus percaya aku ini nyata! Maafkan aku membuatmu berdarah, tapi tidakkah kamu ingat, bersamaku kamu tak pernah hilang arah? Setelah aku pikir matang, sikapmu benar adanya. Tunggulah aku dalam diam, percayalah setiap jejak langkahku, menuju ke kamu.”

“Bertahun aku menunggu, aku mulai bosan memeluk lututku sendiri ketika dingin yang harusnya kau tepis dengan pelukan itu menyerangku. Bukankah sebuah penantian itu ada untuk sesuatu yang akan kembali? Lalu aku namai apa ini, jika kamu bahkan lupa arti kata ‘pulang’.”

Bertahanlah sayang, tunggu aku di bulan akhir, hulu cintaku bermuara di hilir, di kamu yang terakhir. Saat ini aku memang belum mampu menepis dingin untukmu, bahkan untuk rinduku juga. Tapi ketahuilah, jika kamu menanyakan arti pulang, maka renggangkanlah jemarimu, pejamkan mata indahmu kemudian biarkan aku memelukmu dari belakang. Mengikatkan jemariku pada jarimu. Saat itulah aku pulang, dengan memberimu  perhiasan paling mewah melebihi cincin permata, genggamanku pada sela jemarimu.”

“Menunggu. Tak satupun orang yang kutemui menyukainya. Tapi aku, untuk cinta sebesar kamu, aku rela menghabiskan waktu dengan memeluk lututku yang membeku, karena aku tahu, aku bisa memelukmu tanpa perlu kau hadir. Melihatmu walau mataku tertutup. Mendengarmu meski kamu tak bersuara. Setelah ini, akan kututup mataku. Dengan begitu, mata dan hatiku hanya akan dipenuhi olehmu. Ya, kamu saja.”

“Terima kasih untuk kepercayaan dan kerelaan menunggu ini. Sebelum kamu memejamkan mata kemudian bertemu aku, jangan lupa menyapa Tuhan, pemilik semesta, pemilik rasa kita. Sekarang, memejamlah kuntum bunga mekar. Selamat tidur, duhai getar yang ku nanti tanpa sabar. I miss you.”

Barisan kata-katanya melumpuhkan aku, meradangkan rinduku pada seru paling dekat. Tunggu aku pulang sayang, kemudian aku pastikan kita akan saling terikat. Dengan janji, sehidup semati atas nama Tuhan dan kitab suci. 

1 comment: