Oleh: @balasaJr & @rani_basyarudin
Malam semakin menghitam. Langit
mencerahkan wajahnya lewat senyum bulan berbentuk sabit. Pula ribuan bintang,
benih rindu milikku yang berserakan. Aku seperti biasa, menghabiskan waktu
bersama lembar demi lembar buku. Sekarang, aku memang gemar membaca, sambil
mencari pedoman untuk membaca hatinya. Maklum, sebagai seorang lelaki, di hadapan
wanita, ‘salah’ adalah milik kita yang hakiki.
Benar kata orang, buku adalah
sebenar-benarnya teman. Menjalani hubungan jarak jauh akan selalu dihantui
kesepian, selain bayangan sang pujaan tentunya.
Sudah pukul 11 malam, detik berputar
pada poros waktu, seperti detak jantungku yang berputar pada poros rindu. Sementara
Tuhan, poros rotasi cinta. Aku dan dia berputar di dalamnya. Dalam kuasa-Nya.
Dalam takdir-Nya.
Selepas isya tadi, dia berkata padaku
baru saja minum obat. Kasihan dia, sakit. Kelelahan, gejala typus kata dokter.
Semoga saja ini bukan karena dia lelah menunggu aku pulang. Andai aku ada di
sampingnya sekarang, tentu aku akan menjaganya dalam lelap, sambil mengelus
rambutnya yang halus.
Malam semakin larut, otakku mulai
jengah pada aksara yang aku baca, tokohnya membuat aku iri. Cerita cinta satu
kota. Ah...
Mataku kini beralih menuju Blackberry
hitam yang sedari tadi diam. Lampu di kanan atas layar pun tak lagi mengedip. Ibu
jariku bak balerina handal menari-nari di atas gadget keluaran perusahaan Kanada itu. Recent Update, tempat yang ia tuju. Ah, dia baru saja mengganti display picture-nya. Bangun dan tak
memberi aku kabar, padahal di sini khawatirku berdebar. Tunggu sampai nanti aku
komplain padanya.
“Udah
sehat?”
“Syuudaah. Udah bisa ngeledekin kamu
lagi :p”
Lihatlah, betapa dengan mudahnya dia membuat
aku tersenyum. Emosiku kandas, kalah oleh cerianya yang lugas.
“Cuma
sekedar ngeledekin? Terus apa bedanya kamu sama yang lain?”
“Sebenernya aku pengen ngejorokin kamu
ke got, tapi entar aja kalo ketemu. Aku beda, kan, sama yang lain?”
“Hemm..Menarik.
Beda. Bolehlah kamu ngejorokin aku ke got, asal aku bisa tetap jatuh di kamu.”
“Masalahnya, kamu terlalu kuat untuk
jatuh L”
“Karang
sekalipun bisa terbelah oleh kikisan ombak. Apa lagi aku, sepertinya aku akan
kuat setelah jatuh di kamu.”
“Aku...nggak pernah sekuat ombak. Aku
hanya palung, yang di dalamnya, kamu tak pernah ingin bermuara.”
Kata-katanya
selalu begitu, selalu membuat puisi mendayu.
“Apa
kamu pikir aku juga sekuat karang? Selama ini aku hanya mengarang, agar ada
paragraf kita dari kalimat indah yang semoga tak sementara.”
“Ya. Kamu adalah pengarang yang
tulisannya tak pernah mampu kubaca.”
“Kamu
serius Rani? Tidakkan kamu dengar suara angin malam? Tuhan sedang membacakan
tulisanku, tentang kerinduan yang teramat dalam. Padamu.”
“Aku t’lah lelah. Kucoba melihat,
mataku tak sedikitpun menangkap kelebatmu. Kubuka telingaku lebar-lebar, namun
yang kudengar hanya detak jantungku sendiri. Aku mulai meraba, hanya angin yang
menelusup di sela jariku. Sekarang, aku akan diam, menanti kamu pulang. Entah
kapan.”
“Kamu
pernah mengatakan bahwa aku kurang peka, mungkin saat ini baiknya kamu katakan
itu pada dirimu sendiri! Entahlah Rani. Terkadang aku geli bila melihat tulisan
di belakang truk, “pulang malu tak pulang rindu”, aku merasa tersindir, pula tersihir.
Di sini, aku sedang merajut masa depan kita, meski lewat jarak, agar ketika aku
kembali pulang, bukan giliran kamu yang beranjak.”
“Kamu yang merajut, aku yang tertusuk
jarumnya. Berdarah aku mengejarmu, tapi langkahmu menjauh tak tergapai. Mungkin
sudah saatnya aku berhenti percaya bahwa kamu nyata.”
“Tunggu
dulu Rani! Kamu harus percaya aku ini nyata! Maafkan aku membuatmu berdarah,
tapi tidakkah kamu ingat, bersamaku kamu tak pernah hilang arah? Setelah aku
pikir matang, sikapmu benar adanya. Tunggulah aku dalam diam, percayalah setiap
jejak langkahku, menuju ke kamu.”
“Bertahun aku menunggu, aku mulai bosan
memeluk lututku sendiri ketika dingin yang harusnya kau tepis dengan pelukan
itu menyerangku. Bukankah sebuah penantian itu ada untuk sesuatu yang akan
kembali? Lalu aku namai apa ini, jika kamu bahkan lupa arti kata ‘pulang’.”
Bertahanlah
sayang, tunggu aku di bulan akhir, hulu cintaku bermuara di hilir, di kamu yang
terakhir. Saat ini aku memang belum mampu menepis dingin untukmu, bahkan untuk
rinduku juga. Tapi ketahuilah, jika kamu menanyakan arti pulang, maka
renggangkanlah jemarimu, pejamkan mata indahmu kemudian biarkan aku memelukmu
dari belakang. Mengikatkan jemariku pada jarimu. Saat itulah aku pulang, dengan
memberimu perhiasan paling mewah
melebihi cincin permata, genggamanku pada sela jemarimu.”
“Menunggu. Tak satupun orang yang
kutemui menyukainya. Tapi aku, untuk cinta sebesar kamu, aku rela menghabiskan
waktu dengan memeluk lututku yang membeku, karena aku tahu, aku bisa memelukmu
tanpa perlu kau hadir. Melihatmu walau mataku tertutup. Mendengarmu meski kamu
tak bersuara. Setelah ini, akan kututup mataku. Dengan begitu, mata dan hatiku
hanya akan dipenuhi olehmu. Ya, kamu saja.”
“Terima
kasih untuk kepercayaan dan kerelaan menunggu ini. Sebelum kamu memejamkan mata
kemudian bertemu aku, jangan lupa menyapa Tuhan, pemilik semesta, pemilik rasa
kita. Sekarang, memejamlah kuntum bunga mekar. Selamat tidur, duhai getar yang
ku nanti tanpa sabar. I miss you.”
Barisan kata-katanya melumpuhkan aku,
meradangkan rinduku pada seru paling dekat. Tunggu aku pulang sayang, kemudian
aku pastikan kita akan saling terikat. Dengan janji, sehidup semati atas nama
Tuhan dan kitab suci.
070515; 12:41 PM
ReplyDelete