Sunday 1 September 2013

Truth or Dare

Standard
“Kelar juga nih urusan”, kata Ambot sembari merapikan lembaran demi lembaran proposal penelitian skripsinya. “Mau kemana lagi?”
Hari itu seperti biasa kami berempat duduk di depan pelataran ruang sidang skripsi kampus kami. Gue, Acong, Jawe dan Ambot, laskar pejuang skripsi fakir sarjana. Gue dan mereka bertiga memang menjadi terbiasa nongkrong di sini. Maklum, sebagai anak semester 7,5 yang rajin, tajam dan terpercaya, kami sudah seharusnya ada di tempat ini, menggantikan senior kami yang sudah mulai sibuk dengan penelitian skripsinya.
Ada semacam tradisi unik yang entah disengaja atau tidak di kampus kami berkaitan dengan tempat tongkrongan. Ini merupakan hasil pengamatan gue selama tiga tahun lebih kuliah di sini. Berbekal lulus mata kuliah metodologi penelitian dengan nilai A dan juga lulus mata kuliah dasar-dasar logika dengan nilai Tuhan. Ya, nilai Tuhan.
Dasar-dasar logika merupakan mata kuliah paling angker di kampus gue, karena diampu oleh sesepuh kampus yang sudah tidak diragukan lagi ke-killer-annya. Saking angkernya, setiap mata kuliah dimulai, mendadak hening, bulu merinding dan tegang berkepanjangan, mungkin mata kuliah ini bisa untuk terapi impoten. Sudah banyak senior yang gugur dalam perkuliahan. Tak jarang mereka mengulang mata kuliah ini dua sampai tiga kali. Bahkan ada seorang senior gue yang udah mengulang empat kali, berhasil lulus dengan nilai B, itu pun setelah ikut SP (semester pendek). Entah karena mereka sayang dosen atau pengen modusin junior-juniornya, tiap tahun kelas mata kuliah ini tetap akan disesaki para senior.
Beda halnya dengan gue, gue berhasil dengan sempurna tanpa Andra & The Blackbron lulus dari kelas itu. Bukan gue sombong dengan mendeklarasikan diri gue kalau punya nilai Tuhan, tapi dosen gue sendiri yang bilang kalau nilai C nilai mahasiswa, nilai B nilai dosen, dan nilai A nilai Tuhan. Kadang gue ngerasa senang, tapi seringnya gue ngerasa ada yang salah dengan logika gue. Atau mungkin dosen gue khilaf.
Tradisi unik yang gue maksud, berkaitan dengan penelitian gue dengan judul pengaruh jumlah semester terhadap tempat tongkrongan ini dengan asumsi sebagai berikut, “Semakin banyak jumlah semester seseorang di kampus, maka semakin dekat pula tempat tongkrongan mereka ke ruang sidang”,  terbukti benar. Anak semester 7 ke atas, pasti lebih sering terlihat di depan ruang sidang dan ruang dosen; anak semester 5 ke atas, lebih sering terlihat nongkrong di selasar kampus ataupun di tempat-tempat sejuk dan rindang seperti di bawah pohon dan di depan mushola yang memang bersebelahan dengan ruang sidang; anak semester 3 ke atas, akan lebih sering terlihat nokrong di depan ruang kelas mereka masing-masing, dan butuh banyak langkah untuk sampai di ruang sidang meski tidak sampai 10.000 langkah Anline; dan anak semester 2 ke bawah akan lebih sering di kelas karena takut dengan seniornya. Studi penelitian gue ini hanya berlaku untuk mereka yang memikirkan tempat lain selain kantin kampus untuk menghabiskan waktu berharganya disela kehidupan organisasi.
“Eh, kemana lagi kita? Sibuk bener sama hape, temen ngomong dicuekin”, Ambot mulai kesal.
“Iye..iye..denger, ke rumah gue aja gimana, ada kaset baru nih, dvd-an dulu kita daripada pusing mikirin skripsi”, Acong memberi usul.
Sepakat. Kami pun akhirnya pergi menyambangi kediaman Acong yang memang tidak terlalu jauh dari kampus, 20 menit perjalanan dengan kuda besi (baca: motor).
***
“Eh, bosen gue dvd-an terus, ngapain kek yang lain, buka puasa masih setengah hari juga ini”, gerutu Jawe sambil memperlihatkan wajah tidak menariknya yang tampak tidak tertarik.
“Hemm. Gimana kalau kita main Truth or Dare?”, gue coba memberi usul.
“Nah, . . . . Itu apaan?”, Jawe cengengesan.
“Monyet! Truth or Dare itu main jujur-jujuran sama berani-beranian, ditentuinnya pake botol yang diputer, kalau kurang jelas, nih baca novel @WowKonyol halaman 217, gue baru hatam kemarin”, kata gue sambil nyodorin novel yang laknat kerennya itu ke mereka.
Sejujurnya, gue juga kurang paham dengan arti asli istilah Truth or Dare, gue mau googling terlalu buang waktu untuk jadi keren, akhirnya gue lebih milih untuk memberikan langsung novel itu ke mereka, supaya mereka paham sendiri karena ketidaktahuan akan lebih mengenyangkan apabila kita mencarinya sendiri, bukan sekedar bertanya atau minta disuapi.
Sebenarnya ini bukan mainan baru, waktu SMA dulu gue juga sering main beginian, tapi gue lupa namanya apa. Maklum, nilai sejarah gue memang sering jelek sejak SD, gue paling susah buat inget dengan nama-nama, nama sepeda kumbangnya Bung Tomo gue gak tahu, kapan rambut Pak Harto mulai memutih gue gak tahu, kapan Liverpool terakhir kali juara gue lupa, tanggal jadian gue aja gue sering lupa. Tapi masih ada yang lebih parah dari gue, sih, namanya Aurel, dia paling cepat untuk bisa lupain mantan.
“Gimana?”
“Boleh, seru juga kayaknya, tapi kita harus sepakat dulu nih, sebagai lelaki sejati kita harus pegang janji. Oke?”, Acong yang mulai antusias. “Oke. Akika, kan, lelaki jantan”, sambung Ambot.
“Jadi gini, karena ini bulan puasa segala tantangan yang bisa membatalkan puasa kita simpan untuk nanti setelah buka, kan hari ini kita udah janjian sama yang lain buat buka bareng di Seafood Gading, nah, di sana kita jalanin tantangan yang udah dikasi, biar gue yang catat, supaya gak lupa”, gue jelasin dengan semangat Dream Team Indonesia waktu dibantai Arsenal 0-7.
“Dan, jangan lupa ini bulan puasa, kita harus jawab jujur setiap pertanyaan, bohong itu dosa, ingat sugesti saya, bohong itu dosa dan mengurangi pahala puasa”, kata Acong sambil bergaya seperti Uya Kuya yang lagi hipnotis istrinya sendiri supaya mau sama dia.
 Mendengar teman-temannya mulai bersemangat, Jawe segera berlari ke dapur. Dibawanya satu botol air mineral 250 Ml dari kulkas, masih dengan air yang menetes dari luar permukaan bo888i tol. Gue pikir dia udah mulai gak tahan buat minum, secara cuaca Pontianak siang itu memang lumayan menyengat, maklum, lebah bernama garis khatulistiwa memang berdiam di wilayah ini. Belum lagi keringat yang terus menetes dari botol buat gue yakin kalau itu botol lagi keringat dingin, nervous digenggam Jawe yang bukan muhrimnya.
Tiba-tiba Jawe membuang air isi botol tersebut, dituangkannya ke dalam gelas tepat dihadapan kami semua. Bulir-bulir air yang perlahan tumpah dan memenuhi gelas itu tampak begitu menyegarkan, setiap tetesnya sangat menggairahkan, seperti air dingin dari kulkas yang terjun bebas di depan orang yang berpuasa, menggoda iman, bahkan untuk gue yang kurang pandai memberi perumpamaan.
“Woi! Serius bener”, Jawe memecah hening. Membuat lamunan kami akan segarnya air dingin pecah berkeping-keping. Nafsu gue patah hati.
“Kapan kita mulai, gue udah ngambil botol juga”
“Iye. . .iye sabar, orang sabar disayang Tuhan, pacar sabar diinjek-injek pasangan”, timpal gue.
“Yaelah die curhat. Sebelum mulai janji kelingking dulu buat semua perjanjian tadi”, Ambot menambahkan. Kelingkingnya mulai ia julurkan. Kelingking yang sebesar ibu jari.
Bagi kami, walaupun sudah menjadi anak kuliahan semester normal, janji kelingking tetap kami lakukan, meskipun merupakan ritual yang mungkin kekanakan bagi sebagian orang. Cara anak-anak yang menurut gue sangat dewasa. Tanpa janji kelingking kita gak akan punya banyak teman waktu TK. Itu pengalaman diri gue sendiri, karena gue gak pernah TK.
Terkadang kita harus belajar ke anak-anak bagaimana caranya bergaul, berjanji dan memaafkan. Bagaimana mereka bermain tanpa beban, bagaimana mereka berteman tanpa kepentingan, bagaimana mereka berjanji tanpa ingkar, bagaimana mereka bertengkar kemudian memaafkan. Hanya dengan janji kelingking, janji dengan jari paling manis di masa kecil.
“Kita mulai sekarang!”, gue memberi aba-aba.
“Duduk melingkar, biar gue yang pertama kali memutar botol ini. Kan, gue yang punya ide. Siap!”, gue mengambil ancang-ancang untuk memutar botol itu dengan kencang.
Botol berputar dengan kencang, Casey Stoner pun akan kalah kencang oleh kecepatan putaran botol itu. Lagian kenapa Casey Stoner bawa motor cuma muter-muter?
Mulut botol berhenti tepat di depan Ambot. Ambot mulai melirik genit ke gue. Gue agak gusar.
“Mbot, cuma mau mengingetin nih, lo itu pergi ke kampusnya nebeng gue. Cuma ngingetin aja sih”, kata gue dengan wajah malaikat.
“Curang, main gertak. Ya udah, gue pilih Jawe”, Ambot menentukan pilihannya.
Gue lega. Gue bebas sementara untuk jadi korban kejahilan Ambot. Gue punya pengalaman buruk dijahilin oleh dia. Gue pernah dibuat malu semalu-malunya malu. Foto gue tidur dengan mulut menganga dijadiin display picture BBM BB gue sendiri, tentunya dengan banyak editan di sana sini. Bukan hanya itu, foto gue di-share ke grup BBM kampus gue. Alhasil, pamor keren gue dihadapan para junior turun drastis. Sama kayak posisi QPR di klasmen liga Inggris musim lalu.
“We, pilih Truth or Dare?”, serang Acong walaupun bukan dia yang memilih korban. Matanya berbinar, terlihat sangat bersemangat dengan permainan ini.
“Tantangan aja lah”, jawab Jawe dengan wajah pas-pasan.
Ambot tersenyum sumringah, entah apa yang ada di kepala anak itu sekarang, gue sama Acong saling tatap, antara menunggu dan curiga hal aneh akan terjadi.
“Oke. Tantangan yang bakal gue kasi gak susah kok, lo cuma harus sedikit berani untuk menyampaikan kekesalan lo selama ini”, Ambot menjelaskan perlahan dengan suara dimainkan sedewasa mungkin.
Jawe bingung. Gue dan Acong sama-sama garuk kepala. Gue garuk kepala Acong, Acong garuk kepala gue.
“Apa sih yang mau dibilang sama ini orang, penasaran”,batin gue.
“Kan selama ini lo kesal sama dosen pembimbing lo yang rada ribet, sering ke luar kota dan banyak maunya itu. Lo lihat kan, nomor telpon sedot WC di tiang listrik depan”, kata Ambot sambil menunjuk tiang listrik yang tiap hari mangkal di depan rumah Acong.
Hening sejenak.
“Jadi maksudnya, gue mesti telpon nomor sedot WC terus ngaku dengan nama dosen pembimbing gue minta rumahnya disedot gitu?”, Jawe menebak kaget.
“Persis”, jawab Ambot ringan. Jawaban yang bertolak belakang dengan berat badannya.
“Monyet! Gak mau gue, entar kalau ketahuan bisa makin dipersulit skripsi gue.”
“Janji adalah janji, mau gak mau lo harus lakuin dong. Ini gue juga sekalian bantuin supaya lo bisa salurin kekesalan elo, gak cuma ngedumel terus ngetwit ngeluh mulu tiap hari di TL”, Ambot tetap berusaha menjelaskan sebijak mungkin.
“Ya, tapi entar kalau ketahuan gimana? Parah juga ide lo Mbot”, gue ikutan ngomong sambil cengengesan. Di satu sisi ini emang ide yang agak kelewatan, di sisi lain gue juga pengen dosen itu dikerjaian. Gue kesal sama itu dosen, tiap mata kuliah dia yang gue ambil nilainya selalu C. Ambot juga begitu, mungkin ini salah satu caranya melampiaskan kekesalan lewat orang lain. Ide yang kampret.
“Nih, pakai nomor hape gue, kalau lo takut ketahuan”, gue mencoba memberikan bantuan tanpa pikir panjang. Gue memang punya dua nomor hape, yang satu sebagai nomor tetap, yang satu lagi akan selalu gonta-ganti tergantung provider hape pacar atau gebetan gue. Mitosnya, nelpon ke sesama operator itu murah. Dan ini jadi salah satu strategi pacaran yang selalu gue terapkan.
“Tapi lo tahu alamat rumah dosen pembimbing lo itu kan?”, seruduk Acong sambil menyodorkan nomor telpon sedot WC yang tanpa kami sadari sudah dia renggut dari tiang listrik belia itu.
Jawe mengangguk pelan. Dengan pasti dia mulai mengetik nomor telpon biro jasa sedot WC. Gue, Acong dan Ambot tersenyum senang.
Saat telpon terhubung dan Jawe mulai dengan pasti berbicara layaknya orang dengan safety tank kembung di rumahnya bertanya-tanya kepada abang sedot WC yang bersuara cempreng, gue, Acong dan Ambot cuma bisa cengar-cengir sambil menahan tawa. Untung ada gigi, bibir dan tangan sebagai tembok penghalang tawa kami.
Sampai pada akhirnya Jawe menyebutkan nama dan alamat rumah dosen pembimbingnya itu, tiba-tiba tawa kami pecah. Dengan segera kami berlari ke luar rumah supaya gak kedengaran abang sedot WC.
Jawe keluar rumah sambil tersenyum lega kepada kami, sementara kami masih sibuk dengan kotak tertawa kami yang tiba-tiba pecah sampai membuat perut keram. Mungkin lebih keram dari wanita yang lagi PMS. Begitulah lelaki, memang harus sok tahu urusan wanita.
“Puas kalian?”, wajah Jawe tampak puas namun kesal.
“Hahaha. Puas pake banget!”, jawab kami serentak. Entahlah kenapa kami bisa menjawab dengan sama dan senada, mungkin kami bertiga memang berjodoh.
Kami kembali masuk kemudian duduk bersila membentuk segi empat, karena membentuk lingkaran sudah terlalu mainstream. Botol kembali diputar, kali ini Jawe yang mengambil giliran memutar botol. Sengaja diputarnya pelan, mungkin dia melakukannya supaya dia yang mendapat kesempatan untuk menunjuk korban. Aura balas dendam terpancar keluar dari ubun-ubunnya.
Tutup botol itu hampir berhenti tepat dihadapan jempol gue, gue mulai sumringah. Tapi tiba-tiba botol berputar pelan kemudian berhenti mengarah ke Acong.
“Hahaha, giliran gue. Jempol kaki lo bau sih, makanya botolnya gak mau berhenti di situ. Hahaha.”
“Kampret !”, gue protes. Gue kembali tegang. Maklum, kami berempat ini adalah sahabat kental, saking kentalnya persahabatan kami, orang-orang yang keracunan bisa meminum kami demi kesembuhan. Seperti susu memang. Manis, menyehatkan. Apa sih.
“Tegang bener lo, biasa aja kali”, kata Acong sambil menunjuk hidung pesek gue. Matanya begitu bercahaya, seperti sedang melihat masa depan di dalam ketegangan gue. “Gue pilih elo”, Acong kembali menunjuk hidung pesek gue.
“Jangan tunjuk ke sini juga kali, mentang-mentang mancung. Hidung gue ini pesek gegara gue gak pernah bohong”, gue sewot. “Gue pilih Dare aja.”
Belum Acong bertanya, gue udah keburu menetapkan pilihan. Udah jadi kebiasaan gue untuk selalu menetapkan pilihan bahkan sebelum diminta. Dunia percintaan membuat gue banyak belajar akan itu.
“Pas, sekarang gue cuma mau elo mencatat doang kok, catat di hape elo kalau nanti setelah buka puasa lo harus makan udang. Simpel, kan?”
DEG. “Gue alergi udang monyet!”
“Ah, paling cuma gatal-gatal jam 3 pagi, sekalian sahurkan? Jadi lo gak susah buat dibangunin”, Ambot kembali bicara dengan ringan.
Gue pasrah. Yang ada dipikiran gue sekarang cuma bagaimana caranya untuk tetap makan udang tanpa harus alergi. Apa gue harus minum persahabatan kami yang kental itu?
Tantangan itu gak gue catat, karena sudah pasti mereka bertiga akan ingat. Mencatat rencana bunuh diri bukan suatu hal yang menyenangkan, kecuali gue korban cuci otak para teroris.
Botol kembali diputar dan beruntungnya Acong kembali mendapat kesempatan untuk menunjuk korban. Sekarang gue agak tenang, barusan gue udah jadi korban. Walaupun korban bisa ditunjuk dua kali berurutan tapi gue merasa yakin gue akan bebas kali ini. Kalau gue dua kali beruntun kena jadi korban gak seru dong? Atau justru itu yang seru? Seketika, tenang menjadi tegang.
“Ue, gue pilih lo lagi”, kata Acong mantap. Tapi dengan nada bicara dan sorot mata yang berbeda.
“Gue lagi, gue lagi”, gue menghela nafas panjang, saking panjangnya ujung nafas gue gak bisa dilihat dengan kasat mata. Cuma Allah dan malaikat Izrail yang tahu. “Gue pilih Truth aja sekarang, entar malah disuruh yang aneh-aneh lagi. Gue trauma.”
Acong tersenyum aneh. Senyum yang biasa gue lihat kalau dia udah mulai membahas hal-hal serius. Sepertinya gue memberi jawaban pilihan yang salah. Dengan nada suara yang dipelankan, Acong melemparkan pertanyaan, “Bener, sekarang lo lagi deket sama Naya?”
JEGGER!
Lemparan pertanyaan dari Acong gue tangkap dengan kaget. Naya adalah salah satu junior gue yang pernah dideketin Acong, namun tanpa alasan pasti akhirnya Naya menjauhi Acong. Yang gue tahu mereka gak sempat jadian, hanya saja Acong sepertinya begitu tertarik dengan Naya, sempat beberapa kali waktu itu, Acong menggunakan foto Naya sebagai display picture BBM-nya. Dimana saat itu gue juga berpikir kalau mereka sudah jadian. Ternyata tidak, Naya sendiri yang cerita ke gue. Memang, sejak Naya menjauhi Acong dan kini Acong sudah pacaran dengan Dela, gue dan Naya jadi sering BBM-an, dia selalu curhat tentang apapun ke gue.
“Hmmm...”. Kamera di zoom in ke muka gue, tahi lalat gue mempertunjukkan pesonanya.
Gue masih tercengang dengan pertanyaan Acong, bibir gue beku, lidah terasa kaku. Ada rasa gak enak dalam hati gue. Naya dan Acong memang gak sempat pacaran, tapi Acong adalah sahabat gue dan suka sama dia. Gue sudah memikirkan ini sejak awal gue dan Naya BBM-an, tapi seringnya malah tersapu oleh rasa nyaman. Satu hal yang gue takutkan, Acong akan berpikir bahwa gue lah penyebab Naya menjauhinya. Dicap menusuk dari belakang bukanlah hal yang bisa dibanggakan, kecuali gue Rambo di perang Vietnam.
“Iii..iya”, gue jawab dengan terbata. Acong tersenyum kecut. Belum sempat dia bicara, gue buru-buru menempelkan telunjuk gue tepat ke bibirnya.
“Astagfirullah”, gue tersadar.
“...gue memang lagi dekat dengan Naya, tapi itu setelah lo udah gak dekat dengan dia dan lo udah pacaran sama Dela. Bukan gue yang buat Naya jauhin elo. Naya pernah bilang ke gue kalau yang buat dia ngejauhin lo itu karena....”, tiba-tiba gue diam. “Gue udah janji sama Naya kalau gue gak akan cerita ini ke elo. Sorry... seperti kata elo, lelaki sejati selalu pegang janji.”
Acong kembali tersenyum, senyum yang berbeda, sedikit ngehek.
“Santai aja kali, gugup amat jawabnya. Hahaha.. Gue gak marah kok, cuma ngetes lo doang, ternyata lo mikirin perasaan gue juga ya, gue terharu. Cini cini peyuk!”
“Hehehe”, gue cuma bisa nyengir kuda. “Kampret, gue dikerjain”, teriak gue dalam hati. Malu bercampur senang. Jawe dan Ambot hanya diam menonton kami berdrama seperti di film-film Korea.
Tiba-tiba Ambot dan Jawe bertepuk tangan serempak. “Orang sahabatan mesti gini, harus saling jujur dan memaafkan. Kalau gak ada yang ditutupin, kan enak. Lebih isis kalau kata orang Jawa”, Ambot bijak.
“Udah cukup dramanya? Udahan, yuk, mainnya. Udah mau ashar, entar mau bukber lagi, pulang dulu siap-siap”, sambung Jawe sambil memperhatikan jam tangannya.
Sementara mereka mulai berkemas, gue masih diam dengan perasaan kurang nyaman. Gue menghampiri Acong yang sedang di dapur mengisi air di botol yang tadi kami gunakan untuk bermain Truth or Dare.
“Sekali lagi maaf ye Cong”
“Hahaha.. Iye santai, asal lu gak lupa satu hal!”
“HAH ! Apaan?”
“Lo mesti makan udang kalau udah buka puasa entar”, katanya sambil tersenyum simpul. Senyumnya anak pramuka.

“IYE”, jawab gue bete.

1 comment: