Wednesday, 24 December 2014

Patah Hati adalah Cara Terbaik untuk Hidup Kembali

Standard
Hatinya patah lagi. Entah masih berbentuk atau tidak kali ini. Yang jelas, di sini ia kembali meratap. Aku tidak asal menebak. Aku tahu kisah-kisahnya berawal. Aku tahu bagaimana kisah-kisahnya berakhir.

Dan, datanglah ia menemuiku. Meminjam pundak, bersiap mendongeng hikayat.

“Aku tak tahu ia sebrengsek itu.”

Kau juga tak tahu aku secinta ini. Kalimat itu lantang dalam hati. Hati yang tak pernah ia singgahi.

“Ini bukan kali pertama kau patah hati. Seingatku, tujuh atau delapan kali. Harusnya kau cukup terlatih.”

“Kau tak tahu rasanya patah hati!”

Aku memicing. Mataku menusuk tepat bibirnya. Semudah itu bibir tipisnya berucap. Bibir tipis yang selalu ingin aku lumat.

“Aku pernah patah hati. Berkali-kali malah.”

“Kau tak pernah ceritakan itu.”

“Kau tak perlu tahu.”

Ia mengeratkan pelukannya. Dadaku berdetak cepat. Makin cepat hingga bunyinya terdengar jelas. Beruntung kesedihannya menutupi suara itu. Jika tidak, aku pasti mati kutu.

“Kau baik-baik saja?” tanyanya mengejutkan.
*

Yang tak aku sukai dari persahabatan, ialah akhir yang berujung cinta. Apalagi jika hanya satu hati yang merasakannya. Ingin menyatakan, tapi takut merusak semua yang terbangun bertahun-tahun. Tetap diam, ah, terlalu pedih ketika hanya bisa jadi pendengar.

Satu hal yang aku suka, saat ia kembali jatuh cinta; senyumnya, dan alasan untuk aku berhenti berharap. Sialnya, dua hal itu ada di tempat yang berbeda. Senyum itu lekat di kepala, sedangkan harapan bersemayam dalam dada. Dua kubu musuh abadi dalam peperangan cinta sejati.

Saat ia jatuh cinta dan aku berhenti berharap. Senyumnya seperti waktu, berputar tanpa henti. Begitu pun ketika ia patah hati. Senyumnya hilang, dan harapku datang. Sampai sekarang aku masih berpikir, bagaimana membuat dua kubu itu berdamai. Setidaknya, mereka bisa sejalan bagiku.
*

“Kau cantik sekali, Sayang.”

Aku tak mampu menahannya. Kata-kata itu keluar begitu saja. Tiba-tiba. Tanpa rencana.

“Dari dulu ke mana saja kau?” ledeknya manja. Matanya ia palingkan. Wajahnya kemerahan. Lesung pipinya membuat aku terjebak dalam senyum itu.

“Ayo, mempelai pria sudah menunggumu!”

Ini hari bahagianya. Sebentar lagi, ia akan menjadi milik seseorang yang sah di bawah panji agama. Akhirnya semua menjadi sejalan; senyumnya, dan harapku. Ia akan tersenyum dan mematikan asaku. Selamanya. Perang telah berhenti; kedamaian yang aku nanti.


Aku mengekor di ujung gaun panjangnya. Memeganginya agar jalannya tak kepayahan. Ia tampak anggun. Lebih dari sekadar cantik. Mungkin aku juga akan terlihat cantik bila mengenakan gaun itu. Mungkin, ini memang waktunya melepasmu, dan berganti harapan baru.**

Wednesday, 3 December 2014

Hutang dan Kenangan

Standard
Saya baru saja selesai menyaksikan Mocking Jay bersama pacar dan merasa masih memiliki hutang. Jika kau berpikir menikmati film ini sekarang adalah sebuah keterlambatan, saya pun mengiyakan. Sepuluh hari lalu, saat masih di Pontianak, kami merencanakan kencan terjauh ini. Saya melanglang jauh sampai ibu kota negara untuk dapat menuntaskannya. Bukan berarti di Pontianak tak ada bioskop, kami hanya sedang sibuk dan baru bisa bertemu di sini.

Kurang lebih sembilan jam waktu saya kemarin habis di jalan dengan menumpang kereta dari Yogyakarta. Ditambah satu jam mengilhami kemacetan Jakarta untuk sampai di tempat saya menulis sekarang. Tidak, saya tidak sedang menjadi pejuang LDR.

Jika kau ingat, di atas saya mengatakan bahwa masih merasa memiliki hutang dan itulah yang ingin saya bayar lewat tulisan ini. Saya tidak akan menceritakan bagaimana akhirnya saya melakukan perjalanan dari Pontianak, Jogja hingga Jakarta, walau sudah saya singgung di depan. Dua paragraf itu hanya sebuah kesombongan belaka, dramatisasi seseorang yang jarang keluar kandang.

Tempat itu bernama Kampus Fiksi, sebuah negeri yang menghidupi dua puluh warga barunya dengan kata-kata, ingatan, dan pengalaman menulis fiksi setiap dua bulan sekali selama dua hari penuh. Di sana, tak satu pun warganya harus mengeluarkan uang, baik dalam bentuk pajak atau retribusi dari apa yang mereka nikmati. Mungkin bila kau ingin mengandaikannya menjadi sesuatu yang lebih kecil, kau bisa membayangkan sebuah keluarga.

Kau akan memiliki orang tua, kakak, adik dan juga saudara. Kau akan tinggal serumah dengan mereka, tidur di kamar yang sama, makan apa yang mereka makan, bahkan mandi di kamar mandi yang sama. Untuk datang ke negeri itu, ke sebuah keluarga baru, saya harus menunggu satu tahun lamanya. Rasanya memang tidak seperti menanti kekasih yang sudah terpisah selama dua belas purnama. Tapi, mungkin lebih serupa Rangga yang pada akhirnya bertemu Cinta, dalam penantian yang entah dengan debar yang terpelihara dan membuncah pada waktunya.

Kaki saya menjejak tempat itu di Jumat malam, satu jam setengah sebelum hari berganti, dan embun baru turun ingin dikenali. Beberapa anak tangga menyambut saya lebih dahulu, berujung pada pintu kayu tempat keluarga sekaligus keasingan baru tinggal dan hidup. Mata saya terperanjat saat kaki kanan melangkah ke dalam dan melihat sejumlah kasur dengan sprei bergambar logo Manchester United terhampar di tengah ruangan. Semoga tempat ini bukan salah satu bentuk manchunianisasi, pikir saya.

Seseorang mengantarkan saya ke salah satu kamar dan mempersilahkan saya menyimpan barang bawaan. Kamar itu berada tepat di tepi ruang utama, tempat saya dan sembilan belas orang lainnya nanti akan lebih banyak bercengkrama. Saya tidak tahu pasti berapa ukurannya, tapi empat buah kasur dengan sprei berlogo Manchester United sudah terhampar dan telah penuh digagahi. Lima tas hitam berisi pakaian pun bersandar manja pada dinding tepi pintu. Gantungan baju belakang pintu hampir semuanya dihinggapi kaos dan jaket. Sebuah kaca terpasang menghadap jendela dengan dua buah kaca mata di depannya. Dan, sebuah terminal dengan lima buah colokan penuh rebutan listrik. Sepertinya, saya datang terlambat untuk jadi penguasa kamar ini.

Barang saya tinggal, kemudian kembali keluar dan menyalami beberapa orang di sana. Sebagian dari mereka sedang sibuk dengan obrolannya dan ponsel, saat saya ganggu dengan uluran tangan dan basa-basi perkenalan. Kami saling bertukar nama, dan pada saat itu juga saya pastikan saya tidak dapat menghafal semua nama mereka. Toh, besok pasti akan ada sesi perkenalan, pikir saya. Malam itu saya tertidur di ruang utama bersama beberapa lelaki yang baru saya kenal, beralas kasur upaya manchunianisasi.

Saya bangun terlalu pagi untuk kemudian antri mandi dan sarapan nasi goreng bersama keluarga baru. Kami mencoba saling mendekatkan diri pada orang di kursi sebelah dengan bertanya nama dan kota asal. Perlu kau ketahui, enam belas orang dari keluarga baru saya, yang selanjutnya dikenal sebagai ‘anak kampus fiksi angkatan sepuluh’ adalah wanita. Empat orang sisanya lelaki. Jelas ini menjadikan kami—kaum lelaki—sebagai minoritas. Serupa fakta dunia dimana wanita berjumlah lebih banyak. Tidak, saya tidak akan membawa masalah ini sampai pada urusan poligami. Saya hanya ingin kau tahu bahwa hal itu bikin saya kikuk.

Di Kampus Fiksi kali ini, sebagaimana kampus fiksi angkatan sebelumnya, tidak hanya ramai oleh peserta saja. Ada alumni-alumni yang datang, juga panitia dari Diva Press, penerbit penyelenggara event ini. Mereka bilang, tempat ini serupa rumah. Ibu segala rindu dan ayah penggagas temu. Kau tak akan mengenal jarak orang asing di sini, walau kau datang dari ujung Indonesia, atau bahkan tak pernah membayangkan sebuah pertemuan sekali pun.

Saya tidak akan menceritakan bagaimana dua hari tiga malam sempurna itu saya lewati tiap jamnya. Sebab, sebagaimana kelas-kelas menulis atau seminar-seminar yang telah kau ikuti, materi yang diberikan kurang lebih sama. Hanya saja, ada beberapa hal yang terpaku di kepala dan ingin saya sampaikan.

Pertama, saya ingin mengucapkan terimakasih pada keluarga besar Kampus Fiksi dan DivaPress yang menerima kami dengan tangan terbuka dan pelukan hangat. Mengurusi dua puluh orang mulai dari menjemput dan mengantar kembali pulang. Menjaga asupan makan, tempat tinggal dan ilmu yang bermanfaat. Semoga ini menjadi amal jariyah tanpa kering dan membuat tugas Raqib menumpuk. Sebagaimana Pak Edi, kepala keluarga Kampus FIksi bilang, kenangan indah akan bikin hidup lebih bergairah, seperti itu juga Bapak dan keluarga lainnya, akan hidup di kepala dan hati saya. Terima kasih untuk gairah ini. Saya berharap suatu saat bisa membalasnya.

Kedua, ikhwal kesan dan hal-hal baru yang saya dapat. Di sini, bukan hanya perkara skill dan teknik yang ditekannya, juga pada pola pikir dan bagaimana menjalin kerjasama yang baik antara penulis dan penerbit. Tak ada guna pintar ilmu yang kau miliki bila tak bisa menjaga tingkah dan tutur kata. Kau akan diajari filsafat dengan asik dan yang paling utama, tidak digurui. Melihat sesuatu dari banyak sudut dan kaca mata yang berbeda, akan membuatmu belajar menghargai dan menerima. Reza Nufa, salah satu alumni Kampus Fiksi menemparkan sebuah pertanyaan, perihal kaki yang menginjak kitab suci. Ruangan menggaduh dengan masing-masing pendapat, mesti tak sampai ada meja atau kursi yang terbalik seperti di sidang wakil rakyat. Ah, saya berlebihan kali ini.

Mas Aconk, dalam sesi pasar buku Indonesia membikin saya sadar, bahwa penerbitan adalah sebuah industri. Sama seperti musik, dan industri lainnya, butuh strategi untuk hidup di pasar, baik itu penerbit juga penulis, dimana profit menjadi orientasinya. Sialnya, hal ini juga yang membuat saya geleng-geleng kepala kenapa Pak Edi mengadakan Kampus Fiksi selama dua hari penuh dengan gratis. Mungkin bahagia memang bukan hanya perkara mendapatkan, tapi juga memberi.

Saya, dan sembilan belas teman lainnya mendapat bimbingan langsung dari editor-editor Diva Press, juga alumni Kampus Fiksi, mulai dari hal dasar menulis hingga bagaimana melahirkan sebuah novel. Tak ada yang lebih baik dari hangat ilmu mereka yang memeluk dingin mimpi kami. Sampai di kata ke seribu delapan puluh tiga ini, saya masih bingung bagaimana menggambarkan kegembiraan dan kenangan dua hari tiga malam di sana. Terlalu istimewa untuk diwakili dengan kata-kata. Terlalu merugi, jika kau punya kesempatan menjadi bagian mereka dan kau menyiakannya.

Kau tahu, saat saya menulis cerita ini, pandangan saya seringkali teralihkan oleh lima puluh lebih buku dalam sebuah kardus coklat, oleh-oleh nyata dari keluarga baru saya. Tak sabar rasanya untuk melahap mereka. Melepas baju plastik itu kemudian mencium wangi buku baru. Menjelajah tiap lembarnya, membiarkan mereka hidup di kepala. Tunggu sampai saya membayar lunas hutang ini.

Tak ada yang dengan baik merawat mimpimu selain keluarga. Kau tak harus mengeluarkan biaya, tapi kau bisa terus tumbuh dan menjadi lebih dan lebih. Kau bisa memelihara apa saja di dalamnya, mengembangbiakkannya dengan pujian juga kritikan. Apalagi untuk sebuah proses kreatif menulis. Saya merasakannya sejak pertama kali bertemu beberapa teman sehobi di KopdarFiksi Pontianak, dan menemukannya kembali di Kampus Fiksi 10 ini. Keluargamu, adalah lingkungan pemacumu.

Tak sia-sia rasanya datang dari Kalimantan, menempuh hampir dua jam perjalanan udara untuk bertemu sebuah keluarga. Terima kasih untuk semuanya Pak Edi. Terima kasih untuk semuanya Diva Press. Terima kasih untuk semuanya Kampus Fiksi. Terima kasih untuk semuanya teman-teman angkatan sepuluh. Terima kasih untuk kenangan indah dan gairah ini. Terima kasih.



Satu lagi, terima kasih untuk orang-orang yang saya temui dan mengira Pontianak ada di Sumatera. Sesungguhnya, banyak yang belum kita kenal dari Indonesia.


Tabik! 

Sunday, 23 November 2014

Pada Sebuah Cermin

Standard
Sekarang kau tak bisa lagi menghindar. Ia sudah berada tepat di hadapanmu. Semua gerak-gerikmu dalam penglihatannya. Bahkan, jika sehelai bulu hidung kesayanganmu mendadak offside keluar goanya pun, ia pasti tahu. Kau sudah tak mungkin ke mana-mana.

Alasan kedatangannya hanya untuk satu hal. Selalu itu, sejak dua tahun lalu; perkara janji yang urung kau tepati. Kau bisa memandang dari sorot matanya yang penuh harap. Seperti seorang bocah yang melihat coklat di tangan ibunya. Apa kau ingin membunuhnya lagi? Bibir yang ada di hadapanmu memang tak pernah mengatakan apa yang ia inginkan. Tapi dalam hatinya, suara itu lantang.

Tentu kau ingat, sebuah pesan singkat dari seorang wanita yang akhirnya membuat orang di hadapanmu kembali datang.

“Memang lebih baik jika kau tak hadir. Aku tak ingin dicekoki pertanyaan-pertanyaan tentang dirimu yang pasti membuatku malu.”

Ia merasakannya, sama sepertimu. Apa kau  ingin membunuhnya lagi?

Ia menunduk saat kau menunduk. Ia tak sedikit pun memejamkan matanya saat kau menatapnya tajam. Ia menantangmu. Sekali lagi.

“Cepat sarjana!” katanya.

Kau bergeming.

“Urus skripsimu!” seru kalian kompak.


Sunday, 16 November 2014

Menunggu

Standard
Aku baru saja keluar. Di dalam, air bah tumpah dari ceruk mata empat kepala. Sesuatu yang aneh bin langka. Biasanya, keluarga pasien yang akan melakukannya. Entah kenapa kini mereka yang justru ambil bagian. Dua orang dokter saling memeluk sambil sesenggukan. Erat sekali. Seperti sepasang kekasih yang sudah ratusan purnama tak bertemu. Atau mungkin seperti Malin Kundang yang diberi waktu sedikit lebih lama oleh kutukan ibunya untuk mengadu. Seorang asisten perawat berdiri mematung. Layaknya sosok yang ia tatap. Seorang lainnya menggenggam tangannya kuat-kuat.

Meski sudah lima tahun aku mengabdi, pemandangan ini tetap saja terasa ganjil. Tidak, bukan berarti kami –dokter dan perawat di sini—bisa menyampaikan kabar buruk dengan perasaan biasa saja. Malah menurutku, tugas kami lebih berat daripada Jibril yang diutus Tuhan membawa wahyu. Aku tidak bohong. Tak pernah ada cara baik untuk menyampaikan berita kematian.

Sebenarnya, semua ini ada hubungannya dengan dinding-dinding rumah sakit yang seringkali bercat putih. Warna itu dipilih semata-mata agar tempat ini terlihat seperti surga. Terang. Bercahaya. Tak ada tempat lebih baik untuk menunda mati selain tempat ini.

“Sebelum ke surga, lebih baik kau singgah ke tempat yang seperti surga,” kata temanku saat kami baru pulang dari rumah bordir.

“Sehari-hari kita sudah di sana,” jawabku.

“Rumah sakit? Itu neraka!”

“Suatu malam aku pernah melihat beberapa teman kita merentangkan sayap dan terbang menuju kamar pasien. Mereka bercahaya. Tak mungkin itu terjadi di neraka!”

“Kau terlalu banyak minum.”

Jika kau berpikir seperti temanku juga, kau salah besar. Sejak aku keluar dan jalan-jalan sekarang, aku kembali melihat sayap di punggung mereka. Memang tidak semuanya. Beberapa di antaranya berekor bahkan bertanduk. Tapi tak jauh lebih banyak dari mereka yang bersayap dan terbang ke kamar-kamar pasien.

Saat aku menuju ke luar, hendak mencari udara segar, di ujung lorong, aku berjumpa seorang renta yang sedang duduk di kursi dekat tangga darurat. Wajahnya kusut. Rambut putihnya menjalar dari dalam kopiah hitam yang ia kenakan. Baju batik korpri dan sarung kotak-kotak biru hitamnya, seperti tak pernah menyentuh setrikaan. Baunya benar-benar tak tertolong dan bisa saja merontokkan paru-paru jika aku terlalu dalam menarik napas.

“Maaf, Kek, sedang apa di sini?” tanyaku ramah.

“Menunggu,” ucapnya singkat.

“Keluarga?”

“Bukan.”

“Lantas?”

“Seseorang yang akan mengajakku pulang.”

“Keluarga?”

“Bukan.”

“Kapan ia datang?”

“Aku tak tahu.”

“Sudah berapa lama Kakek menunggu?”

“Dua puluh tahun.”

Aku tercengang. Selama ini, aku tak pernah melihatnya di sini. Sudah hampir setahun aku menjadi dokter jaga di lantai ini. Mungkin ia pasien baru yang mengalami depresi, batinku.

“Apa kau lihat malaikat-malaikat itu?” katanya sambil menunjuk ke arah dua orang perawat yang baru saja keluar kamar pasien.

“Ya, aku melihatnya,” jawabku terbata. Ternyata, bukan cuma aku yang melihatnya, pikirku. Aku merasa bertemu seorang teman.

“Kau yakin mereka malaikat? Kau pernah bertemu malaikat?”

“Mereka!”

“Tempat ini adalah surga,” katanya. Aku heran, tiba-tiba saja kakek berkata demikian. “Terkadang Izrail juga datang ke mari. Beberapa orang yang kutemui mengatakannya. Izrail yang mengajak mereka keluar. Tak jarang ada pula yang langsung diajaknya pulang. Ke rumah Tuhan, katanya.”

Aku mendengarkan setiap ucapan kakek itu dengan takzim. Paling tidak, ia sudah dua kali membenarkan keyakinanku selama ini; perkara malaikat bersayap dan surga.

“Kenapa ada yang tak langsung pulang?”

“Mereka masih punya utang di sini.”

“Maksudmu?”

 “Urusan mereka belum selesai.”

“Ah, ….”

Saat kakek itu membuka mulutnya, dan akan mengeluarkan dalil-dalil keyakinanya, suara tangis yang ramai dan langkah kaki yang cepat mengambil semua perhatianku. Seseorang yang tadi sempat kulihat di ruang operasi –lelaki yang wajahnya rusak penuh luka bakar seperti besi karatan—dibawa terbang dua orang malaikat menyusuri lorong menuju pintu belakang. Dari depan pintu masuk, ibu dan istriku berlari ke arahnya.

Aku masih diam. Pandanganku tetap memaku mereka. Kakek itu tak lagi aku pedulikan. Ibu menyetop kedua malaikat itu, sambil berteriak menyebut namaku. Sementara istriku langsung memeluk lelaki yang terbaring di hadapannya. Malaikat itu melarang dua orang manusia yang sedang histeris untuk membuka kain yang menutupi wajah lelaki itu. Nanti saja, setelah dibersihkan, katanya sendu.

Aku tetap bergeming. Sementara ibu dan istriku terus-menerus meneriakkan namaku. Ketika aku hendak menghampiri mereka, yang hanya berjarak beberapa langkah di depanku, kakek itu menarik tanganku dan kembali bersuara.

“Mari kutemani kau menunggu,” katanya sambil tersenyum.***



Pontianak, 16 November 2014

Sunday, 2 November 2014

Perihal Jodoh

Standard
“Ceritakan padaku perihal jodoh,” kata gadis itu sambil memainkan jari tangan kekasihnya di bangku taman kota.

Maka, diceritakanlah padanya sebuah kisah yang sudah lama hidup dalam tubuhnya: sewaktu mereka pertama kali bertemu, sang lelaki tak melepaskan pandangannya barang sedetik pada perempuan itu. Mereka hanya berjarak kurang lebih lima meter. Dibatasi jejeran teman-temannya yang sedang membaca kolom-kolom di mading sekolah. Tentu itu bukan rentang yang jauh untuk menikmati degub jantung yang melaju dan waktu yang berjalan lambat. Lamat-lamat, tanpa lelaki itu sadari, ia melangkah menghampiri perempuan yang sejak tadi mengalihkan netranya.

“Namaku Asa, Angkasa Dirga. Kelas XI B,” katanya sambil menyodorkan tangan kanannya dan senyum yang merekah. Perempuan yang ada di depannya bingung. Badannya mematung. Bergeming. Lelaki di hadapannya kembali tersenyum dan segera mengambil tangan perempuan itu dan menyalaminya.

“Ale. Alena Admaja. Murid pindahan baru,” ucapnya gagap.

Sejak pertemuan itu mereka menjadi dekat. Ruang kelas mereka yang bersebelahan memberi kesempatan untuk saling curi pandang. Bila sedang istirahat atau pelajaran tengah kosong, akan ada saja alasan bagi keduanya untuk saling mengunjungi. Pun bila salah satu di antara mereka izin keluar meninggalkan kelas, mata mereka akan sibuk mencari sosok idaman hati, menelusup di pintu dan saling melempar senyum saat tak sengaja mata keduanya bertemu.

Di bulan kedua, setelah pertemuan pertama mereka, keduanya memutuskan untuk menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih.

“Sejak kapan kau menyukaiku?” Tanya Ale saat mereka sedang belajar bersama untuk ujian akhir semester.

“Aku cinta, bukan suka.”

“Iya, sejak kapan?”

“Sejak pertama aku melihatmu, dan aku mengajakmu kenalan. Kata orang, begitu jodoh dipertemukan”

Pipi keduanya tertarik ke atas. Namun, dengan tiba-tiba, Ale yang berada di samping menyondongkan kepalanya tepat di depan mata Asa.

“Kau percaya cinta pada pandangan pertama?”

“Bapak dan ibu saling cinta di pertemuan pertama mereka. Pacaran dari SMA hingga menikah. Ada alasan untuk tidak percaya?”
***

Hubungan kedua pasangan itu sempat mengalami pasang surut. Apalagi semenjak mereka lulus SMA dan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi yang berbeda. Menjadi mahasiswa ternyata tidak seperti apa yang mereka pikirkan selama ini. Tugas yang menumpuk dan rentetan kegiatan kampus membuat keduanya jarang memiliki waktu bersama.

“Aku merasa kita semakin jauh,” ucap Ale di teras depan rumahnya saat Asa mengunjunginya di akhir pekan. Matanya menerawang ke sekitar, memandangi pot-pot bunga besar yang sebenarnya tak butuh perhatian.

“Aku juga merasa begitu. Bahkan saat berdua denganmu sekarang pun aku merasakannya.”

“Bagaimana menurutmu? Aku sempat berpikir, mungkin kita harus mulai jalan sendiri-sendiri. Kita sama-sama sibuk dengan urusan masing-masing.”

Asa tersenyum getir. “Belakangan ini kita hanya kurang komunikasi. Itu saja,” ujarnya dalam.

“Bagaimana kalau kita tidak jodoh? Bagaimana kalau cinta pada pandangan pertama yang pernah kau ucap itu tak ada?”

“Buktinya aku ada! Bapak ibuku contohnya! Sudahlah, ini hanya perkara komunikasi. Kita saling sayang. Saling cinta. Kenapa harus repot cari alasan untuk pisah?”

Asa uring-uringan. Ale tersenyum. Dadanya terasa hangat. Lilin di hatinya yang selama ini redup kini terang benderang. Cahayanya menempus pipinya; merona. “Sayang dan cinta itu beda?” tanyanya manja.

Mendengar pertanyaan itu, dan melihat senyum kekasihnya, Asa seperti melihat pelangi cekung di wajah Ale. Pelangi yang lahir dari gerimis kecil, yang bisa saja berubah menjadi hujan lebat disertai petir bila angin keduanya berubah kencang. Asa merangkul Ale, kemudian mengacak-acak rambutnya pelan.
***

Hari ini seharusnya adalah tahun ketujuh mereka memadu kasih. Setahun lalu, saat merayakan ulang tahun hari jadi mereka yang keenam, Asa sempat menyampaikan maksudnya untuk melamar Ale di waktu dekat. Ale sumringah. Taman bunga di kepalanya warna-warni, penuh kupu-kupu dan kumbang yang beradu merdu.

“Sungguh?” tanyanya tak percaya.

“Ya.”

“Kau yakin kita jodoh?”

“Kenapa tidak?”

“Kau yakin aku cinta sejatimu?”

Asa diam sejenak. Tangannya menggenggam tangan Ale. Mata kekasihnya, ditatapnya dalam. “Perkara jodoh di tangan Tuhan, aku hanya bisa mengupayakan dan telah kulakukan bersamamu selama enam tahun ini. Aku yakin kau cinta sejatiku. Ah, mungkin tidak begitu. Bukannya aku tak yakin atau tak berani berjanji. Aku hanya tak ingin berlebihan. Aku mencintaimu sekarang dan semoga, di setiap hari esok.”

Ale memeluknya. Tiba-tiba. Begitu saja. Tanpa rencana. Air matanya menetes. Bahagia. Asa tak sadar apa yang baru saja ia katakan. Kalimat itu tak pernah ia persiapkan. Bahkan, sempat ia pikirkan saja tidak. Beberapa saat dunia terasa diam. Keduanya tengah terbang. Tinggi. Melayang.

Tiga bulan setelah niat itu diikrarkan, orang tua Asa datang berkunjung ke rumah Ale. Mempererat silaturahmi sekaligus menyampaikan niat untuk meminang anak gadis semata wayang di rumah itu. Tuan rumah menyambut baik maksud kedatangan tamunya. Disuguhkannya berbagai macam kue dan diberinya kopi sebagai penghangat suasana. Pagi harinya, ruang tempat mereka menjamu tamunya itu dirapikan. Guci-guci besar diberi hiasan bunga pada atasnya. Taplak meja kaca mereka ganti. Figura-figura di dinding pun tak lupa dibersihkan.

Semua merasa hangat dan hikmat. Sesekali tawa pecah saat dua keluarga itu saling menceritakan tingkah anaknya. Seisi ruangan sudah tahu kisah cinta keduanya yang dirajut sejak SMA. Sampai pada akhirnya, di jeda yang tak begitu lama, orang tua Ale, terutama ibunya, mulai angkat suara.

“Begini, ada satu hal lagi, perkara uang mahar.”

“O, ya. Maaf, kira-kira berapa?”

“Tiga puluh lima juta.”

“Tapi…”

Kedua belah pihak berbicara panjang lebar. Menegosiasikan sejumlah uang yang diminta keluarga Ale. Bagi mereka, jumlah itu pantas mengingat jabatan yang dipunya kepala keluarga mereka dan Ale yang merupakan anak satu-satunya. Bagi keluarga Asa, uang itu terlalu banyak, belum lagi untuk acara resepsi pernikahan nanti. Tak ada kata sepakat yang dibuat. Keduanya teguh pada kemauan masing-masing.

Tiga minggu berselang, kedua keluarga kembali bertemu. Lagi-lagi, sepakat, bukan hal yang dicapai. Sejak saat itu, Bapak Asa melarang anaknya kembali menjalin kasih dengan Ale. Begitu juga sebaliknya.

“Sudah dua kali Bapak ke sana. Cukup! Jangan bikin malu lagi!”

Asa tak berani melawan. Walau masih tetap percaya pada cintanya, perintah orang tua bukan hal yang harus dilanggar. Ia hanya mencoba berpikir, jodoh ada di tangan Tuhan dan ia telah mengupayakan, begitu yang ia katakan untuk menabahkan diri.
***

“Lalu bagaimana dengan Ale?” Tanya gadis itu pada kekasihnya.

“Ia akhirnya menikah dengan anak kenalan ayahnya,” jawab lelaki yang duduk di sampingnya itu.

Gadis itu mengangguk pelan. Membenarkan duduknya dan menarik lengan lelaki di sebelahnya dan mengalungkannya di lehernya.

“Menurutmu kita jodoh?” tanyanya tiba-tiba.**

Pontianak, 2 November 2014




**Cerpen ini berjumlah seribu kata. Dibuat untuk tantangan #ProsaNadimu @KampusFiksi. Temanya berasal dari pacar saya. Dan, semoga bukan kita.

Tuesday, 23 September 2014

Ayah dan Penghuni Pohon-Pohon Tinggi

Standard
Dimuat di Suara Merdeka edisi 14 Desember 2014

Air yang masuk membangunkanku. Awalnya kupikir sedang bermimpi, namun dingin yang tiba-tiba menyentuh tanganku yang menggantung di bibir kasur membuat aku sadar. Aku segera mengidupkan lampu, menuju ruang tamu dan berteriak memanggil ibu. Barang-barang elektronik aku larikan ke lantai dua. Ibu masih linglung di pintu kamarnya.

“Air pasang lagi, Bu!”

Kami berlari naik-turun tangga, menyelamatkan perabot di lantai bawah.

Malam itu aku dan para tetangga dibuat sibuk oleh air pasang. Kemarin, hujan hanya sekali mengetuk atap rumah kami. Bahkan, airnya tak sempat pindah dan bermukim di tempayan-tempayan samping rumah. Tapi, air sungai Kapuas tiba-tiba saja meninggi. Kiriman nikmat Tuhan itu datang berbondong-bondong, menyapa tanpa pertanda.

“Hujan di hulu pasti deras sekali. Sudah dua kali tahun ini,” kataku pada ibu.

“Doakan saja air surut dan ayahmu segera pulang.”

Aku diam. Belakangan, air pasang memang membawa serta ayah pulang. “Kalau ayah merasa punya rumah, ia pasti pulang.” Aku bersuara, kemudian meninggalkan ibu naik ke lantai dua.

Di tepi jendela, mataku leluasa memandang hamparan coklat air sungai Kapuas. Dengan jembatan Kapuas 1 yang gagah mengangkanginya. Gertak[1] tempat kami biasa berlalu-lalang hilang terendam. Beberapa sandal pun ikut hanyut ke tengah sungai. Perlahan, gerimis mulai turun, ribut beramai-ramai bersama angin, mengepak-ngepakkan atap seng tetangga yang lepas pakunya. Langit gulita. Jendela aku tutup, berlindung dari tusukan sejuk.

Aku kembali memikirkan kata-kata ibu. Ayah pergi dari rumah saat aku berusia sepuluh tahun. Tiga bulan setelah kakek wafat. Sebenarnya, sudah lama ayah ingin pergi ke hulu. Ke kampung halamannya. Namun selalu saja dilarang kakek. Entah karena apa. Seperti ada rahasia di antara mereka berdua.

“Itu cerita lalu, lupakan saja. Sekarang kita sudah tinggal di sini,” kata kakek sekali waktu saat bertengkar perihal ayah yang ingin kembali ke hulu.

“Aku mau bertemu ibu,” pekik ayah.

Aku tak tahu apa yang mereka ributkan. Ibu selalu saja diam saat aku tanya tentang ayah dan kakek. Pun, ketika aku menanyakan nenek. Ibu hanya berkata bahwa nenek sudah meninggal. Sementara ayah dan kakek tak pernah menanggapi. Aku bingung kenapa ayah ingin menemuinya.

Yang aku tahu dari keluarga kami: awalnya, kakek dan ayah merantau ke mari. Hanya berdua tanpa keluarga lain. Ayah, anak kakek satu-satunya. Mereka pindah ke Pontianak saat ayah berumur lima tahun. Kemudian kakek bekerja sebagai kuli angkut pelabuhan, dan saat usia belasan ayah sudah mulai membawa sampan untuk mengangkut orang-orang dari seberang ke pusat kota. Ayah dan ibu bertemu di sana, mereka jatuh cinta, menikah dan melahirkan aku seorang. Ibu anak yatim piatu yang besar di panti asuhan. Jadilah kami keluarga pendatang, saudara-saudara kami hanya ada hulu saja.

Kakek orang yang menyenangkan. Entah apa yang membuat ia dan putranya bertengkar. Setiap malam kakek sering mendongeng. Satu yang paling aku ingat, cerita tentang Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie saat pertama kali membuka kota ini. Beliau diganggu kuntilanak. Penghuni pohon-pohon tinggi. Kata kakek, hantu wanita itu senang tertawa atau kadang merintih tiba-tiba. Suaranya selalu membuat bulu kuduk merinding. Rambut panjangnya seperti akar-akar beringin. Wajahnya rusak tak beraturan. Beruntung aku tak pernah melihatnya langsung.

Mengenai kuntilanak, temanku juga pernah bercerita. Ia suka mengganggu ibu yang tengah hamil tua dan menculik bayinya. Selain itu, saat hujan panas tiba, biasanya mereka akan muncul. Duduk di dahan pohon tempat mereka tinggal.

“Pantas ibu melarangku bermain saat hujan panas, nanti dikencingi kuntilanak,” kataku menjelaskan padanya waktu itu.

“Kau hanya perlu menyelipkan rumput muda di telinga sebagai penangkalnya.” Aku ingat betul nasehat temanku. Hingga kini pun, saat hujan panas turun, aku masih melakukannya.

Temanku yang satu itu sudah meninggal lima tahun lalu. Mayatnya tak pernah ditemukan sejak dinyatakan hilang dan berhari-hari dalam pencarian. Kata sebagian orang, itu bulan-bulan puake[2] meminta korban. Jika aku tidak salah, pada malam sebelum ia hilang, aku melihatnya mengayuh sampan ke tepi jembatan Kapuas, sambil menenteng gulungan benang. Kupikir ia pergi memancing. Tapi, kata ibu –mendengar cerita dari para tetangga, ia hilang saat magrib menjelang. Sejak saat itu, ibu semakin sering mengingatkan aku untuk tidak ke tepi sungai saat azan berkumandang. Nanti kau dimakan puake dan hilang, katanya.

Aku tidak serta-merta percaya kata-kata ibu. Pernah sekali waktu, aku mangkir sholat magrib dan duduk di bantaran sungai. Ibu berjalan lebih dulu di depanku menuju surau di ujung gertak. Aku sengaja memperlambat langkah dan pergi ke bawah jembatan Kapuas. Kepulangan matahari membuat tempat itu remang. Hanya lampu-lampu kuning lima watt di sepanjang gertak yang menjadi sumber terang. Tak ada yang aku perbuat. Duduk dan menunggu waktu sholat selesai. Terkadang, kupikir, temanku tak pernah pergi. Siapa tahu ia hanya jalan-jalan dan lupa pulang.

Tiba-tiba sepotong tangan menjewer telingaku.

“Apa yang kau lakukan di sini?” suara ibu memekik.

“Aku hanya mau lihat puake itu!” kataku dengan kepala mengikuti tarikan tangannya.

Bodo bale[3]!”

Ibu menarikku pulang. Sepanjang jalan ia mengoceh. Panjang lebar. Bahkan gertak itu pun masih kurang luas. Ia melanjutkannya di ruang tamu.

“Jangan takabur! Kau pikir kenapa temanmu itu tenggelam? Di hulu sana, banyak pohon ditebang. Banyak tambang yang bikin air jadi coklat seperti sekarang. Belum lagi pabrik di tepi sungai itu. Kemarin, satu kampung di seberang gatal-gatal. Kalau bukan puake yang jadi penjaga. Hancur sungai kita, Nak!”

Aku hanya diam. Tak melawan, juga tak berani menatap wajah ibu. Kupikir, puake sedang ada di hadapanku.
*

Ibu datang menghampiriku. Guratan keriput di pipinya tampak jelas di bawah sinar lampu. Matanya merah. Telapak kakinya pun masih basah. Meninggalkan jejak-jejak hitam di lantai kayu rumah kami. Ibu duduk sebentar di sampingku, kemudian berjalan menuju kamarnya.

Aku kasihan melihat ibu. Terkadang aku juga mengutuk ayah. Ia semakin jarang pulang. Hanya kiriman uangnyalah yang sampai di rumah. Sesekali juga ada oleh-oleh yang ia titipkan pada temannya untuk kami. Dulu, satu dua tahun pertama ia kembali ke hulu, tiap dua bulan sekali ia pulang. Meski hanya dua atau tiga hari saja. Itu pun dengan satu hari yang ia khususkan untuk ke seberang. Ke rumah touke cukong kayu, bos besar tempat ia bekerja.

Ayah hampir tak pernah menanyakan bagaimana sekolahku. Tidak seperti saat kakek masih ada dan ia tinggal di sini bersama kami. Waktu itu, setiap malam ayah menemani aku belajar. “Kau harus pintar dan tak boleh jadi orang tertinggal,” katanya. “Biar ayah ibumu saja yang seperti ini.” Jika sudah begitu, semangatku berlipat-lipat.

Suatu hari aku pernah bertanya pada ibu, saat ayah baru saja kembali pergi. Kedatangannya semakin singkat kali ini. Hanya menginap semalam. Aku bahkan tak sempat bicara padanya. Ia hanya menyapaku dua kali; saat datang dan hendak pergi.

“Kenapa ayah cepat sekali pergi, Bu?”

“Di seberang, truk, parang dan chain saw[4] telah menunggu ayah untuk kembali ke hulu.”

“Memangnya apa pekerjaan ayah?”

“Memburu pembunuh nenek.”

Aku tidak mengerti maksud perkataan ibu. Aku hanya melihat wajahnya merah padam. Matanya penuh kaca. Lidahku mendadak kelu saat mendengar kata-katanya. Mungkin ini alasan kenapa ayah dan kakek tak pernah menanggapi pertanyaanku perihal nenek. Jika nenek benar dibunuh, bukankah itu sudah belasan tahun lamanya. Kenapa baru sekarang ayah mencari? Dan, bukankah sebagian besar daerah hulu adalah hutan dengan pohon-pohon tinggi?

Sekarang umurku sudah belasan dan masih saja tak mengerti yang dikatakan ibu. Yang aku tahu, ayah hanyalah seorang penebang pohon biasa. Bekerja di perusahaan kayu besar milik seorang tionghoa.

Malam itu aku tertidur di dipan samping jendela. Tiba-tiba, aku mendengar suara tawa cekikikan seorang wanita. Semilir angin berputar di tengkukku. Bulu kudukku merinding. Tak lama, suara itu berubah menjadi tangis. Tampak sedih dan dalam. Semua luka di bumi seakan sedang dijabarkan. Aku bergeming. Tak aku gerakkan sedikit pun tubuhku. Lebih tepatnya, aku beku dalam takut. Aku berusaha membaca doa-doa yang aku hapal. Suara itu meninggi rendah. Seperti tertiup angin. Datang dan pergi. Aku tak berani membuka mata. Wajahku kututupi tangan. Tak boleh ada sedikit pun lubang untuk aku melihat. Tak boleh ada sedikit pun celah untuk cahaya masuk. Kemudian suara itu menghilang, berganti denyit langkah kaki seseorang. Ada yang datang menghampiriku.

Mendadak, mataku silau. Seperti ada lampu neon terang tepat di depan bola mata. Remang kemudian datang. Tawa cekikikan wanita itu mengikutinya. Aku melihat ayah sedang menenteng chain saw dan mengarahkannya pada sebuah pohon besar. Di salah satu rantingnya, seseorang bergaun putih panjang dengan rambut hitam menggantung hingga pantat, duduk sambil menggendong bayi. Wajahnya tertutup rambut setengah. Setengahnya lagi hancur. Bola matanya terlalu ke samping. Hanya tertahan di ujung kelopak sebelum jatuh. Pipinya penuh koreng, berwarna rongsokan besi tua. Dari lubang hidungnya menetes darah. Tepat di bibirnya, belatung bergantung.

“Kau harus mati!” teriak ayah. Entah kenapa aku bisa mendengar suaranya. Lantang. Suara mesin chain saw dan cekikikan kuntilanak itu padam.

Aku memekik memanggil ayah. Namun, suaraku tak keluar. Tertahan di ujung lidah. Malah tawa wanita itu yang semakin kencang. Kakinya ia ayun-ayunkan. Kemudian terbang dari atas dahan. Turun menuju ayah. Ayah tak melihat ke atas. Matanya menembak tepat batang pohon itu. Aku berkali-kali memanggilnya. Tetap saja tak bersuara. Sial. Kakiku pun tak bisa melangkah. Memaku tanah. Seperti ada akar pohon yang membelit. Aku mencoba teriak berulang-ulang. Sia-sia. Kuntilanak itu tepat berdiri di depan ayah. Ayah terkejut. Gergaji chain saw berusaha ia hunuskan ke wanita itu. Namun, terjepit di batang pohon. Ayah jatuh terduduk. Bayi di gendongan wanita itu entah kemana. Tangannya menjalar ke depan. Hendak mencekik leher ayah. Aku berteriak sekuat tenaga. Kakiku aku paksa melangkah. Keras. Tak bisa bergerak. Jantungku berdegup cepat. Seluruh tubuhku meronta. Hingga aku tersungkur di tanah.

Aku terbangun. Kemudian duduk. Napasku tergesa. Entah memburu apa. Ibu sudah ada di depanku, berdua dengan ayah.

“Kau baik-baik saja?” tanya ayah. Aku diam, tak menjawab. Segera kurobohkan tubuhku di peluknya.

“Ayahmu kembali pulang disurutnya air pasang, kan?” tanya ibu minta disetujui.

“Tak usah pergi lagi. Biar air tak pernah pasang. Biar tak ada kuntilanak datang,” kataku terisak.

Kulihat ayah dan ibu saling pandang. “Aku pulang untuk tinggal,” kata ayah lantang.**


Pontianak, 7 Juli 2014




[1] Gertak: jalan atau jembatan dari kayu di tepian sungai Kapuas.
[2] Puake: hantu, setan, penjaga sungai, biasa berwujud buaya, ular atau ikan besar.
[3] Bodo bale: bodoh sekali.
[4] Chain Saw: merek mesin gergaji kayu