Dimuat di Suara Merdeka edisi 14 Desember 2014
Air
yang masuk membangunkanku. Awalnya kupikir sedang bermimpi, namun dingin yang
tiba-tiba menyentuh tanganku yang menggantung di bibir kasur membuat aku sadar.
Aku segera mengidupkan lampu, menuju ruang tamu dan berteriak memanggil ibu.
Barang-barang elektronik aku larikan ke lantai dua. Ibu masih linglung di pintu
kamarnya.
“Air
pasang lagi, Bu!”
Kami
berlari naik-turun tangga, menyelamatkan perabot di lantai bawah.
Malam
itu aku dan para tetangga dibuat sibuk oleh air pasang. Kemarin, hujan hanya sekali
mengetuk atap rumah kami. Bahkan, airnya tak sempat pindah dan bermukim di tempayan-tempayan
samping rumah. Tapi, air sungai Kapuas tiba-tiba saja meninggi. Kiriman nikmat
Tuhan itu datang berbondong-bondong, menyapa tanpa pertanda.
“Hujan
di hulu pasti deras sekali. Sudah dua kali tahun ini,” kataku pada ibu.
“Doakan
saja air surut dan ayahmu segera pulang.”
Aku
diam. Belakangan, air pasang memang membawa serta ayah pulang. “Kalau ayah
merasa punya rumah, ia pasti pulang.” Aku bersuara, kemudian meninggalkan ibu
naik ke lantai dua.
Di
tepi jendela, mataku leluasa memandang hamparan coklat air sungai Kapuas. Dengan
jembatan Kapuas 1 yang gagah mengangkanginya. Gertak
tempat kami biasa berlalu-lalang hilang terendam. Beberapa sandal pun ikut
hanyut ke tengah sungai. Perlahan, gerimis mulai turun, ribut beramai-ramai
bersama angin, mengepak-ngepakkan atap seng tetangga yang lepas pakunya. Langit
gulita. Jendela aku tutup, berlindung dari tusukan sejuk.
Aku
kembali memikirkan kata-kata ibu. Ayah pergi dari rumah saat aku berusia
sepuluh tahun. Tiga bulan setelah kakek wafat. Sebenarnya, sudah lama ayah
ingin pergi ke hulu. Ke kampung halamannya. Namun selalu saja dilarang kakek. Entah
karena apa. Seperti ada rahasia di antara mereka berdua.
“Itu
cerita lalu, lupakan saja. Sekarang kita sudah tinggal di sini,” kata kakek
sekali waktu saat bertengkar perihal ayah yang ingin kembali ke hulu.
“Aku
mau bertemu ibu,” pekik ayah.
Aku
tak tahu apa yang mereka ributkan. Ibu selalu saja diam saat aku tanya tentang
ayah dan kakek. Pun, ketika aku menanyakan nenek. Ibu hanya berkata bahwa nenek
sudah meninggal. Sementara ayah dan kakek tak pernah menanggapi. Aku bingung
kenapa ayah ingin menemuinya.
Yang
aku tahu dari keluarga kami: awalnya, kakek dan ayah merantau ke mari. Hanya
berdua tanpa keluarga lain. Ayah, anak kakek satu-satunya. Mereka pindah ke
Pontianak saat ayah berumur lima tahun. Kemudian kakek bekerja sebagai kuli
angkut pelabuhan, dan saat usia belasan ayah sudah mulai membawa sampan untuk
mengangkut orang-orang dari seberang ke pusat kota. Ayah dan ibu bertemu di
sana, mereka jatuh cinta, menikah dan melahirkan aku seorang. Ibu anak yatim
piatu yang besar di panti asuhan. Jadilah kami keluarga pendatang,
saudara-saudara kami hanya ada hulu saja.
Kakek
orang yang menyenangkan. Entah apa yang membuat ia dan putranya bertengkar.
Setiap malam kakek sering mendongeng. Satu yang paling aku ingat, cerita
tentang Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie saat pertama kali membuka kota ini.
Beliau diganggu kuntilanak. Penghuni pohon-pohon tinggi. Kata kakek, hantu
wanita itu senang tertawa atau kadang merintih tiba-tiba. Suaranya selalu
membuat bulu kuduk merinding. Rambut panjangnya seperti akar-akar beringin. Wajahnya
rusak tak beraturan. Beruntung aku tak pernah melihatnya langsung.
Mengenai
kuntilanak, temanku juga pernah bercerita. Ia suka mengganggu ibu yang tengah
hamil tua dan menculik bayinya. Selain itu, saat hujan panas tiba, biasanya
mereka akan muncul. Duduk di dahan pohon tempat mereka tinggal.
“Pantas
ibu melarangku bermain saat hujan panas, nanti dikencingi kuntilanak,” kataku
menjelaskan padanya waktu itu.
“Kau
hanya perlu menyelipkan rumput muda di telinga sebagai penangkalnya.” Aku ingat
betul nasehat temanku. Hingga kini pun, saat hujan panas turun, aku masih
melakukannya.
Temanku
yang satu itu sudah meninggal lima tahun lalu. Mayatnya tak pernah ditemukan
sejak dinyatakan hilang dan berhari-hari dalam pencarian. Kata sebagian orang,
itu bulan-bulan puake
meminta korban. Jika aku tidak salah, pada malam sebelum ia hilang, aku
melihatnya mengayuh sampan ke tepi jembatan Kapuas, sambil menenteng gulungan
benang. Kupikir ia pergi memancing. Tapi, kata ibu –mendengar cerita dari para
tetangga, ia hilang saat magrib menjelang. Sejak saat itu, ibu semakin sering mengingatkan
aku untuk tidak ke tepi sungai saat azan berkumandang. Nanti kau dimakan puake dan hilang, katanya.
Aku
tidak serta-merta percaya kata-kata ibu. Pernah sekali waktu, aku mangkir
sholat magrib dan duduk di bantaran sungai. Ibu berjalan lebih dulu di depanku
menuju surau di ujung gertak. Aku
sengaja memperlambat langkah dan pergi ke bawah jembatan Kapuas. Kepulangan
matahari membuat tempat itu remang. Hanya lampu-lampu kuning lima watt di
sepanjang gertak yang menjadi sumber
terang. Tak ada yang aku perbuat. Duduk dan menunggu waktu sholat selesai.
Terkadang, kupikir, temanku tak pernah pergi. Siapa tahu ia hanya jalan-jalan
dan lupa pulang.
Tiba-tiba
sepotong tangan menjewer telingaku.
“Apa
yang kau lakukan di sini?” suara ibu memekik.
“Aku
hanya mau lihat puake itu!” kataku
dengan kepala mengikuti tarikan tangannya.
Ibu
menarikku pulang. Sepanjang jalan ia mengoceh. Panjang lebar. Bahkan gertak itu
pun masih kurang luas. Ia melanjutkannya di ruang tamu.
“Jangan
takabur! Kau pikir kenapa temanmu itu tenggelam? Di hulu sana, banyak pohon
ditebang. Banyak tambang yang bikin air jadi coklat seperti sekarang. Belum
lagi pabrik di tepi sungai itu. Kemarin, satu kampung di seberang gatal-gatal.
Kalau bukan puake yang jadi penjaga.
Hancur sungai kita, Nak!”
Aku
hanya diam. Tak melawan, juga tak berani menatap wajah ibu. Kupikir, puake sedang ada di hadapanku.
*
Ibu
datang menghampiriku. Guratan keriput di pipinya tampak jelas di bawah sinar
lampu. Matanya merah. Telapak kakinya pun masih basah. Meninggalkan jejak-jejak
hitam di lantai kayu rumah kami. Ibu duduk sebentar di sampingku, kemudian
berjalan menuju kamarnya.
Aku
kasihan melihat ibu. Terkadang aku juga mengutuk ayah. Ia semakin jarang
pulang. Hanya kiriman uangnyalah yang sampai di rumah. Sesekali juga ada
oleh-oleh yang ia titipkan pada temannya untuk kami. Dulu, satu dua tahun
pertama ia kembali ke hulu, tiap dua bulan sekali ia pulang. Meski hanya dua
atau tiga hari saja. Itu pun dengan satu hari yang ia khususkan untuk ke
seberang. Ke rumah touke cukong kayu, bos besar tempat ia bekerja.
Ayah
hampir tak pernah menanyakan bagaimana sekolahku. Tidak seperti saat kakek
masih ada dan ia tinggal di sini bersama kami. Waktu itu, setiap malam ayah
menemani aku belajar. “Kau harus pintar dan tak boleh jadi orang tertinggal,”
katanya. “Biar ayah ibumu saja yang seperti ini.” Jika sudah begitu, semangatku
berlipat-lipat.
Suatu
hari aku pernah bertanya pada ibu, saat ayah baru saja kembali pergi.
Kedatangannya semakin singkat kali ini. Hanya menginap semalam. Aku bahkan tak
sempat bicara padanya. Ia hanya menyapaku dua kali; saat datang dan hendak
pergi.
“Kenapa
ayah cepat sekali pergi, Bu?”
“Di
seberang, truk, parang dan chain saw
telah menunggu ayah untuk kembali ke hulu.”
“Memangnya
apa pekerjaan ayah?”
“Memburu
pembunuh nenek.”
Aku
tidak mengerti maksud perkataan ibu. Aku hanya melihat wajahnya merah padam.
Matanya penuh kaca. Lidahku mendadak kelu saat mendengar kata-katanya. Mungkin
ini alasan kenapa ayah dan kakek tak pernah menanggapi pertanyaanku perihal
nenek. Jika nenek benar dibunuh, bukankah itu sudah belasan tahun lamanya. Kenapa
baru sekarang ayah mencari? Dan, bukankah sebagian besar daerah hulu adalah
hutan dengan pohon-pohon tinggi?
Sekarang
umurku sudah belasan dan masih saja tak mengerti yang dikatakan ibu. Yang aku
tahu, ayah hanyalah seorang penebang pohon biasa. Bekerja di perusahaan kayu besar
milik seorang tionghoa.
Malam
itu aku tertidur di dipan samping jendela. Tiba-tiba, aku mendengar suara tawa
cekikikan seorang wanita. Semilir angin berputar di tengkukku. Bulu kudukku
merinding. Tak lama, suara itu berubah menjadi tangis. Tampak sedih dan dalam. Semua
luka di bumi seakan sedang dijabarkan. Aku bergeming. Tak aku gerakkan sedikit
pun tubuhku. Lebih tepatnya, aku beku dalam takut. Aku berusaha membaca doa-doa
yang aku hapal. Suara itu meninggi rendah. Seperti tertiup angin. Datang dan
pergi. Aku tak berani membuka mata. Wajahku kututupi tangan. Tak boleh ada
sedikit pun lubang untuk aku melihat. Tak boleh ada sedikit pun celah untuk
cahaya masuk. Kemudian suara itu menghilang, berganti denyit langkah kaki
seseorang. Ada yang datang menghampiriku.
Mendadak,
mataku silau. Seperti ada lampu neon terang tepat di depan bola mata. Remang
kemudian datang. Tawa cekikikan wanita itu mengikutinya. Aku melihat ayah
sedang menenteng chain saw dan
mengarahkannya pada sebuah pohon besar. Di salah satu rantingnya, seseorang
bergaun putih panjang dengan rambut hitam menggantung hingga pantat, duduk
sambil menggendong bayi. Wajahnya tertutup rambut setengah. Setengahnya lagi
hancur. Bola matanya terlalu ke samping. Hanya tertahan di ujung kelopak
sebelum jatuh. Pipinya penuh koreng, berwarna rongsokan besi tua. Dari lubang
hidungnya menetes darah. Tepat di bibirnya, belatung bergantung.
“Kau
harus mati!” teriak ayah. Entah kenapa aku bisa mendengar suaranya. Lantang.
Suara mesin chain saw dan cekikikan
kuntilanak itu padam.
Aku
memekik memanggil ayah. Namun, suaraku tak keluar. Tertahan di ujung lidah.
Malah tawa wanita itu yang semakin kencang. Kakinya ia ayun-ayunkan. Kemudian terbang
dari atas dahan. Turun menuju ayah. Ayah tak melihat ke atas. Matanya menembak
tepat batang pohon itu. Aku berkali-kali memanggilnya. Tetap saja tak bersuara.
Sial. Kakiku pun tak bisa melangkah. Memaku tanah. Seperti ada akar pohon yang
membelit. Aku mencoba teriak berulang-ulang. Sia-sia. Kuntilanak itu tepat
berdiri di depan ayah. Ayah terkejut. Gergaji chain saw berusaha ia hunuskan ke wanita itu. Namun, terjepit di
batang pohon. Ayah jatuh terduduk. Bayi di gendongan wanita itu entah kemana.
Tangannya menjalar ke depan. Hendak mencekik leher ayah. Aku berteriak sekuat
tenaga. Kakiku aku paksa melangkah. Keras. Tak bisa bergerak. Jantungku
berdegup cepat. Seluruh tubuhku meronta. Hingga aku tersungkur di tanah.
Aku
terbangun. Kemudian duduk. Napasku tergesa. Entah memburu apa. Ibu sudah ada di
depanku, berdua dengan ayah.
“Kau
baik-baik saja?” tanya ayah. Aku diam, tak menjawab. Segera kurobohkan tubuhku
di peluknya.
“Ayahmu
kembali pulang disurutnya air pasang, kan?” tanya ibu minta disetujui.
“Tak
usah pergi lagi. Biar air tak pernah pasang. Biar tak ada kuntilanak datang,” kataku
terisak.
Kulihat
ayah dan ibu saling pandang. “Aku pulang untuk tinggal,” kata ayah lantang.**
Pontianak,
7 Juli 2014