Wednesday, 25 December 2013

Aruna

Standard

1.
Tong di matanya kembali pecah. Air suci jatuh membanjiri sudut mata Aruna. Mata yang kini mematung, menatap jasad suaminya diangkat menuju liang lahat. Di sampingnya, Rama mencoba menenangkan Aruna sambil memandang sekitar. Wajah-wajah penuh kesedihan peninggalan mendiang. Di dalam hati mereka hujan turun, sementara di hati Rama dan Aruna pelangi baru saja lahir. 

2.
Malam pertama setelah pemakaman.
Di luar, keluarga besar Aruna masih berkumpul. Memanjatkan doa dan tahlil untuk mendiang suami Aruna. Di kamar, Aruna duduk menghadap kaca meja rias sambil melepaskan kerudung merah yang menutupi kepalanya. Ya, merah. Bukan hitam seperti pakaian orang berkabung kebanyakan. Merah adalah warna kesukaannya. Sesuai arti namanya dalam bahasa sansekerta. Rambut panjang Aruna kini terurai. Hitam bergelombang. Seperti saat mata menatap jauh aspal baru daerah perbukitan. Mahkota di kepalanya itu kemudian ia sisir. Perlahan. Penuh kehati-hatian.
Aruna memalingkan wajah, kemudian menjatuhkannya kembali ke tempat tidur. Tempat tidur besar yang sebagian ditutupi selimut bermotif zebra. Dengan dua buah bantal dan satu guling bermotif sama. Lalu tersenyum lega.

3.
Hari kedua setelah pemakaman.
Aruna baru saja melewati malam perdananya menjanda. Sendiri di kamar tidur sebesar ruang tamu rumah tipe 60. Satria Birama, mendiang suaminya adalah seorang pengusaha kaya. Anak pertama dari dua bersaudara yang sudah tidak memiliki orang tua itu bergerak di bisnis properti dan telah memiliki beberapa anak perusahaan di kota berkembang sebagian provinsi. Pertemuan pertama mereka pun tidak jauh dari urusan bisnis ini. Dulu, Aruna adalah sekretaris salah satu rekan bisnis Satria. Meeting yang seringkali harus mempertemukan mereka, membuat Satria jatuh hati pada Aruna. Gadis berambut panjang yang sangat suka memadukan pakaiannya dengan warna merah. Ya, dulu Aruna tidak mengenakan kerudung. Kerudung mulai lekat pada diri Aruna semenjak pernikahannya dengan Satria, tiga tahun empat hari lalu.
Setelah mandi dan berganti pakaian, Aruna berjalan menuju meja rias sambil mengeringkan rambut panjangnya dengan handuk. Tiba-tiba, langkah Aruna terhenti, tepat dua meter di depan tujuannya. Aruna terdiam. Bergidik. Kemudian memandang sekeliling. Ia melangkah ragu menuju meja rias. Di hadapannya, tergeletak setangkai mawar merah dan sebuah tulisan berwarna serupa di bawahnya. PEMBUNUH!

4.
Hari ketiga setelah pemakaman.
Mata Aruna membengkak. Semalaman indranya itu tak bisa terpejam. Yang bisa ia lakukan hanya duduk berselimut di tempat tidur. Seluruh tubuhnya dipenuhi ketakutan. Bahkan seekor nyamuk pun tak berani menggigit tubuh putih mulus Aruna. Badannya pucat, darah dalam dirinya seakan hilang. Berganti kegamangan. Kemarin sore, ia sudah menghubungi Rama, bercerita kejadian kemarin pagi dan meminta Rama untuk menemaninya malam ini. Tapi apa mau dikata, mantan bosnya itu baru saja tiba di luar kota, mengurusi bisnisnya.
Aruna memberanikan diri menuju kamar mandi. Kemihnya sudah tak tahan menahan kencing semalaman. Celananya ia pelorotkan, lalu menduduki closet. Tak lama, tergambar lega pada parasnya. Kemudian kembali takut. Was-was pada sekitar. Selesai melepas sisa-sisa metabolismenya, Aruna segera menekan tombol flush. Seketika cairan berwarna merah memenuhi kloset. Pekat dan anyir. Darah.

5.
Hari pertama, kedua, dan ketiga setelah pemakaman.
Setiap malam, semua keluarga dan tetangga berkumpul. Membaca yasin, mengumandangkan tahlil. Aruna tetap di dalam kamar. Tidak keluar. Bukannya tidak kemana-mana. Kamar Aruna cukup luas untuk dapat kemana-mana. Bila tiba waktu makan, terpaksa harus diantarkan sampai ke depan pintu kamar, kemudian diambilnya sendiri setelah sepi. Mereka semua khawatir. Terkadang, terdengar suara barang dibanting. Sudah sering membujuk, namun tidak juga membuahkan hasil. Mereka takut, jiwa Aruna terguncang akibat kematian suaminya.

6.
Hari keempat setelah pemakaman.
Aruna kembali menghubungi Rama. Memintanya hadir malam ini. Menemani rasa takutnya yang menjadi-jadi.
“Darah Rama, darah! Aku yakin itu darah. Entah apa lagi yang akan muncul hari ini. Pulanglah, temani aku malam ini saja. Mana janji yang kau ucapkan dulu? Aku sudah melakukan semua ini untukmu. Untuk kita!”
Aruna membanting handphone-nya. Berderai. Berantakan. Ia hendak berteriak, tapi takut terdengar ke luar. Batinnya sesak. Rambut panjangnya yang bergelombang, tidak luput dari pelampiasan. Dijambaknya sendiri. Acak-acakan. Kepalanya ia benturkan ke dinding. Berulang-ulang. Jarinya menggaruk-garuk lengan. Kuat. Berdarah. Depresi. Ia menangis. Sesenggukan. Tertahan. Terpejam. Ia lelah ketakutan.

7.
Dua hari menjelang pemakaman.
Hari ini hari spesial. Tepat tiga tahun ulang tahun pernikahan Aruna dan Satria. Malam nanti, Aruna merencanakan makan malam dengan suaminya. Di rumah, dengan makanan kesukaan Satria, masakan dirinya.

8.
30 menit menjelang makan malam.
Aruna berjalan menuju dapur untuk mengambil makanan sambil menggenggam mawar merah yang baru saja diberikan suaminya sebagai hadiah. Sebelum mambawa makanan itu ke meja makan, ia menuangkan cairan dari dalam botol. Di sudut dapur, seseorang memperhatikan Aruna. Singgih, adik Satria, seorang difabel.

9.
Satu hari sebelum makan malam.
“Ayolah! Lakukan saja. Kau yang bilang, ini tidak akan berlangsung lama. Sudah hampir tiga tahun Aruna. Tiga tahun! Aku membiarkan kalian. Ini. Pakai ini. Setelah ini aku tidak akan melepasmu lagi, dari pelukku”, kata Rama sambil memberikan sebuah botol kecil kepada Aruna.

Tuesday, 24 December 2013

Pagi yang Lain

Standard

Dia memeluk tubuhku dari belakang, kemudian mengecup tengkukku. Hangat menyeruak keseluruh penjuru tubuh.  Aku sedikit bergelinjang dibuatnya. Tangannya aku biarkan melingkar di perutku. Membuat rasa hangat ini kian menyengat. Jantungku berdebar cepat, selalu begitu, seperti baru pertama kali. Aku coba untuk menikmatinya dalam diam. Sebentar lagi masakan ini siap dihidangkan. Hingga tiba-tiba ia memutar tubuhku. 
“Selamat pagi, sayang. I love you,” dia menyapaku sebelum akhirnya mendaratkan bibirnya di bibirku. Aku rasa, aku tak perlu membalas sapaannya dengan kata-kata. Bibirku sudah cukup mewakilinya.
“Tumben udah bangun? Ini aku buatin kamu nasi goreng.”  
Pagi ini senyumnya masih seperti biasa, mempesona. Senyum yang aku kenal sebagai pagi, walau seringnya aku yang bangun lebih dulu. Aku akan selalu menjadi seekor ayam jantan yang membangunkan dunianya. Meski nyatanya aku seorang betina.
“Ini sudah jadi, makan dulu, gih.” 
Aku meletakkan sepiring nasi goreng, lengkap dengan telur mata sapi setengah matang dan irisan mentimun, tidak lupa kerupuk mamang kesukaannya. Pula segelas air putih dingin. Ya, dia berbeda dari lelaki kebanyakan. Jika lelaki umumnya menyenangi kopi, dia malah menyukai air putih. Lebih lezat katanya. Belum lagi kebiasaan-kebiasaannya yang lain. Selalu meneguk air putih setiap bangun tidur, sebelum melakukan kegiatan apapun, kecuali mencium keningku. Itu pun kalau memang dia bangun lebih cepat daripada aku. Terkadang, ketika aku hendak bangun, kemudian melihat dia bergerak lebih dulu. Aku akan berpura-pura tidur, hanya untuk menikmati kasih sayang yang turun dari ujung bibirnya pada bening keningku.
Selain itu dia juga tidak merokok. Sejak aku mengenalnya hingga kami berumah tangga, tak pernah sekalipun aku melihatnya membakar benda mematikan itu. “Aku menyayangi dirimu, diriku, juga masa depan kita. Aku tidak ingin mati karena digerogoti penyakit, kemudian meninggalkan keluarga kita bersama penyesalanku. Aku tidak ingin itu. Aku lebih ingin mati karena usia, karena menghabiskan waktu bersamamu dengan bahagia.” Begitu katanya, ketika aku iseng menanyakan alasan kenapa dia tidak merokok di malam pertama pernikahan kami.
Ia mengunyah sambil sesekali melirikku yang sedang merapikan alat memasakku tadi. Biasanya, dia akan menyuruhku duduk di sampingnya, memintaku untuk menemaninya makan. Dan, tentu saja aku akan siap sedia melakukan itu untuknya. Pada kunyahan pertama dia pasti akan bertingkah layaknya Pak Bondan, menyuap perlahan nasi goreng di sendoknya ke dalam mulut, kemudian mengecap dan memuji masakanku.
“Selalu enak, rasa yang pas, suasana yang pas. Ada kamu, ada sarapan. Pagi ini aku hidup”, katanya sambil tersenyum dalam topangan rahangnya yang tegas. Bila sudah begitu, aku akan kembali menghidangkannya sepotong senyum senang dengan taburan rona merah di pipiku yang berisi.
Walaupun pagi ini sedikit berbeda, dia tetap menjalankan kebiasaan lucunya yang lain. Selalu menyisihkan kuning telur setengah matang untuk dia nikmati paling akhir. Bagian putih telur akan dia makan lebih dulu untuk menemani nasi goreng menari di mulutnya. Juga mentimun, yang bagiku hanya sebagai hiasan pendukung penampilan sebuah makanan, dijadikannya teman kunyahan. Aku teringat. Bila kami sedang makan di luar, aku pasti selalu memindahkan potongan mentimun yang ada di piringku ke piringnya. Sambil kemudian dia mulai mengomeli aku yang tidak suka makan sayur, bahkan sepotong mentimun. Wajahnya yang mengomel sambil menguyah pasti membuat aku tertawa. Sewotnya sama seperti ibuku, yang seringkali memarahiku karena tidak menghabiskan sayur yang sengaja dituangnya di piring saat aku kecil. 
Satu yang tidak pernah lepas darinya saat makan. Kerupuk. Apalagi kerupuk mamang, kerupuk favoritnya. Pernah, suatu ketika di warung bakso, saat kami baru-baru pacaran. Dia menggombali aku dengan kerupuk. “Aku kalau makan sukanya sama kerupuk. Tapi kalau jatuh cinta, sukanya sama kamu.” Gombalan yang aneh. Atau mungkin aku yang aneh, karena begitu menyenanginya. Spontanitas yang mengejutkan. Sepotong senyum ranum dengan rona merah di pipiku yang berisi kembali aku hidangkan.
“Sayang, terima kasih untuk sarapan lezatnya pagi ini,” katanya menyudahi kunyahan terakhir kuning telur setengah matang itu. Aku menghampirinya. Memintanya menggeser kursi kemudian duduk di pangkuannya.
“Sama-sama sayang. Terima kasih juga telah menjadikan aku pendampingmu. Sekarang, aku di sini untuk berbakti kepadamu, di tiap hariku, di setiap tarikan napasku”, jawabku sambil mengalungkan lenganku pada lehernya. Aku merasakan napasnya mengalun di pipiku, begitu dekat. Hangat. Semakin dekat. Aku memejamkan mata. Sedikit memiringkan kepala. Mulai menempelkan bibirku pada bibirnya.
“YUR.. SAYUUUURR.. SAYUURNYAA BUU SSAAYUUUURRR!!”
Aku terkejut, lalu membuka mata, dan mendapati tubuhku tengah duduk di kursi meja makan, bersama album-album foto pernikahan kami yang berserakan.
“Ah, aku kembali memimpikannya. Di hari ke-18 setelah ia meninggal. Pasti karena menikmati album foto ini semalaman.”
Aku menyeka air mataku di sudut pipi, kemudian bangkit mengambil gelas menuju dispenser. Aku meneguk segelas air putih sesaat setelah bangun, sama seperti kebiasaan mendiang suamiku.

Wednesday, 18 December 2013

“Wijaya yang Tak Berjaya”

Standard

Dimuat di E-Magz Nouvalitera edisi Maret 2014


Perkenalkan namaku Wijaya Kusuma. Aku adalah salah satu peliharaannya. Tidak banyak yang tahu kalau aku ini peliharaannya. Selain karena aku berbeda, aku juga tidak terlalu dikenal orang. Aku tinggal di rumahnya. Tepatnya, di rumah bagian depan. Ia yang di sana itu tuanku. Dialah orang yang merawatku sedari kecil hingga aku dewasa seperti sekarang. Setiap pagi dia pasti mengurusiku. Memperlakukanku layaknya anak sendiri. Tapi entahlah, kasih sayang yang dia berikan padaku, justru membuatku tidak hanya sekedar sayang. Aku jatuh cinta. Bukan cinta anak pada orang tuanya, aku jatuh cinta untuk menjadi kekasihnya.

Pagi ini seperti biasa sebelum berangkat bekerja, terlebih dahulu ia menyapaku. Memberi aku makan, memandikan, juga terkadang memotong bagian-bagian tubuhku yang mulai panjang dan tidak rapi. Ia akan melantunkan lagu-lagu lawas, atau bersiul ketika sedang memanjakan aku. Memperhatikan tubuhku senti demi senti. Tak boleh ada keriput atau kuning yang timbul sebelum waktunya.

Oh, ya. Aku lupa memperkenalkannya kepada kalian. Walau sebenarnya dia yang akan aku kenalkan ini tidak begitu penting juga dalam kisah cinta kami. Dia itu pengganggu. Wanita cantik yang selalu saja membuatku cemburu. Apalagi jika sore tiba. Dia akan bertingkah manja pada tuanku sambil menikmati secangkir teh hangat tepat di hadapanku. Itu dia yang sedang berjalan menghampiri kami. Si orang ketiga. Istri tuanku yang tengah hamil delapan bulan.

“Ayo sayang, udah jam setengah tujuh. Nanti kamu terlambat pergi ke kantor.”

Ah, mengganggu saja. Kau tidak lihat, dia sedang senang menghabiskan waktu denganku?

“Iya, tunggu sebentar.”

Hahaha. Kau dengar, kan? Dia masih ingin bersamaku.
***

Beberapa hari lagi, saat-saat indahku akan tiba. Aku akan melahirkan salah satu sisi feminin Tuhan, setelah penantianku selama kurang lebih setahun. Bukan hanya aku, tuanku juga begitu bahagia. Sampai-sampai dia mengambil cuti untuk merawatku, aku benar-benar beruntung ditakdirkan Tuhan bertemu dengannya. Kini, aku tengah menunggu buah hasil kisah cinta kami berdua. Bungaku.

Meski tinggal di kota yang cukup panas, aku tetap bisa melahirkan bungaku. Bunga misteri kata orang. Ya, aku hanya bisa melahirkan setahun sekali dan selalu di malam hari. Itupun jikalau didukung dengan cuaca, kelembaban dan tetek-bengek ilmu pengetahuan alam memusingkan yang cocok untukku. Tidak, aku bukan makhluk super ribet layaknya wanita. Wanita seperti istri tuanku misalnya. Sekarang saja, dia selalu minta ditemani kemana-mana, ingin ini itu dan harus ditepati segera. Bila salah sedikit saja pasti akan marah. Lalu seketika bisa berubah manja. Aneh.

Entah kenapa tuanku begitu sabar menghadapinya. Kenapa tidak dia ceraikan saja wanita itu, kemudian menikah denganku. Toh, di sini aku selalu menunggunya. Aku yang selalu pertama kali dia lihat ketika sampai di rumah, aku pula yang setiap pagi menggambar senyum di bibir tipisnya.
***

Ah, hidup memang tidak adil. Seminggu ini, tidak ada satu pagi pun yang aku lalui bersama tuanku. Tidak ada satupun sentuhan jemarinya pada tubuhku. Tidak ada suapan air segar ataupun siraman surga Tuhan menerpa gerahku. Dia terlalu sibuk mengurusi si orang ketiga. Istrinya yang akan melahirkan, atau sudah melahirkan. Entahlah. Tidak penting bagiku. Padahal di sini, malam ini, aku akan melahirkan bunga pertamaku. Buah cintaku dengannya setahun belakangan ini. Tentu aku berharap akan ada dia di sampingku. Mendampingiku melewati detik-detik mendebarkan, menuntaskan tugas yang diberikan Tuhan.
***

Semalam, aku mendengar suara bayi. Tepat ketika aku melahirkan bunga pertamaku. Sempat aku berpikir, itu adalah suara anakku. Tapi sejak kecil hingga seusia ini, aku belum pernah mendengar ada bunga wijaya kusuma yang lahir dengan mengoek. Mungkin aku sedang berhalusinasi karena proses kelahiran bungaku, atau mungkin rumah ini memang memiliki penghuni baru?

Terserah. Lagi-lagi itu tidak penting bagiku. Yang penting sekarang adalah tuanku kembali menghampiriku, melukis pagi indah lagi untukku dan bunga pertamaku yang mulai layu. Ya, buah cintaku itu kini layu, bertopang pada batang tubuhku. Memang beginilah kami, penuh misteri. Melahirkan di malam hari, kemudian layu di paginya. Jangan tanyakan perasaanku sekarang. Aku hanya perlu tuanku, dan sentuhan jemarinya. Apa?  Apa menurut kalian aku bodoh untuk bertahan?

Hei, lihat. Dia berjalan keluar. Benarkan perkiraanku, dia pasti menghampiriku untuk melihat anak kami, tapi kenapa membawa dua koper besar? Wanita pengganggu itu pun berjalan tepat di belakangnya sambil menggendong seorang bayi. Jadi, yang semalam aku dengar itu...

“Tuan!! Lihat!! Ini anak kita!!”

“Tuan!!”

“Ah, kenapa kau masuk ke dalam mobil itu, tuan?? Lihat ini, aku bersama buah cinta kita!!”

“Tuan!!!”

“Kenapa pergi?? Tuan!!”

“Hah, plang apa itu?? RUMAH INI DIKONTRAKKAN!!”

“TUAN!!!!!”

Pontianak, Desember 2013


Friday, 29 November 2013

Dialog Hari Kemerdekaan

Standard


“Lihatlah teman. Tatapan, senyum juga gestur mereka. Mereka begitu menghormatimu.”
“Aku memang dihormati. Pada hari ini, setiap tahun mereka selalu menjunjung aku. Tinggi, tinggi sekali. Tentu dengan bantuanmu. Bahkan, tak jarang mereka membawaku ke tempat paling dalam. Penghormatan padaku, kata mereka.”
“Lalu, kenapa kau tampak muram? Bukankah ini yang selalu diinginkan banyak orang? Bahkan sejak sebelum kau ada.”
“Dulu, ketika Ibu Fatmawati menjahit aku. Aku merasakan cinta, haru dan bangga disaat yang sama. Tiap benang yang menyatukan aku terasa begitu dalam, benang-benang dari tetesan keringat, darah yang tumpah, tangis yang pecah. Mengikat kuat seperti tekat para pejuang, membebaskan tanah tempat kau berpijak sekarang. Dulu, ketika pertama kali aku dikibarkan. Aku melihat wajah-wajah pemimpin sumringah, suara bahagia rakyat terjajah, sorak-sorai kemenangan bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia yang aku wakili bersama teriak, “MERDEKA!!”. Hatiku bergetar kawan, getar yang berbeda dengan sekarang. Dulu tangisku bangga, kini tangisku duka. Benar kata Soekarno, perjuangan mereka akan lebih berat karena mereka melawan bangsanya sendiri.”
“Mereka butuh waktu teman, tidak mudah untuk menjadi satu di antara segala perbedaan.”
“Kita tidak perlu menjadi satu, kita diciptakan berbeda agar kita saling mengenal, saling menghargai, bertoleransi. Keberagaman itu warisan, kita cukup bersatu bukan menjadi satu. Biarkan kita tetap kaya dengan warisan, atau hancur atas nama perbedaan.”
“Hmmm..kau benar teman. Sudah lama aku berdiri di tanah yang katanya surga ini, surganya Tuhan segala manusia. Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian atas nama Tuhan mereka saling membunuh. Mungkin mereka lupa arti “ketuhanan” sesungguhnya.”
“Aku memang tidak pernah berdiri langsung di tanah ini. Jika bukan atas bantuanmu aku tidak mungkin bisa melihat mereka. Rakyat Indonesia telah merdeka, merdeka dari bangsa lain, kemudian dijajah bangsanya sendiri.”

Sang saka Merah Putih berkibar di depan  ratusan ribu pasang mata rakyatnya, berpegang pada tiang bercat putih ia memandang jauh keseluruh pelosok negeri. Kemerdekaan yang mati suri.

Sunday, 20 October 2013

Lebaranku, Berulang

Standard

1.
Lebaran Idul Adha memang tidak semeriah Idul Fitri. Tapi tidak bagi mereka yang telah atau sedang berhaji. Akan selalu ada perayaan yang lebih khusyuk di sana.

2.
Mereka pulang. Setiap tahun dua kali. Selalu begitu, selalu berulang. Saat Idul Fitri dan Idul Adha. Kakak-kakakku, bersama keluarganya. Keluargaku juga.

3.
Di waktu sore, aku terbiasa untuk bersepeda mengelilingi kota. Minimal satu jam. Di beberapa jalan, tidak seperti ketika menyambut Idul Fitri, di mana banyak kios-kios dadakan penjual manisan, ta’jil, pakaian atau ketupat tumpah. Kali ini pinggir jalan bak kebun binatang, lengkap dengan bau prengus khas kambing dagangan. Selalu begitu, selalu berulang. Pinggir jalan, ladang rezeki banyak orang.

4.
Paman Yadi, seorang tukang jagal. Sehari sebelum Idul Adha dirayakan. Ia akan berjongkok di tepi sumur, berbekal batu asah, parang dan pisau dapur. Batu asah di tangan kiri, parang atau pisau di tangan kanan. Dengan bantuan sedikit air, ia akan menggesekkan keduanya, berulang-ulang, sampai dipikirnya tajam.

Paman Yadi tidak menyembelih kurban di tempat lain. Selalu di masjid kami. Masjid yang dulunya surau, kemudian berdasarkan sepakatan warga dijadikanlah masjid. Tiga bulan setelahnya di gang yang berbeda, masih di RW yang sama, dibangun lagi sebuah masjid baru. Sekarang, RW kami punya dua masjid. “Kita sering berlomba-lomba membangun rumah Allah, tapi jarang ada yang berlomba-lomba untuk mengisinya”, kata Paman Yadi di suatu petang, sepulang kami sholat magrib di masjid lama.

5.
Lain yang dikerjakan Paman Yadi, lain pula yang dikerjakan Pak Kosim, tetanggaku yang lain, seorang anggota dewan kota. Sejak pemilihan yang lalu ia menduduki jabatan itu. Dan, sejak saat itu pula, ketika hendak menjelang hari raya, wajahnya pasti akan hadir di sudut halaman masjid. Lengkap dengan ucapan selamat juga permohonan maaf. Kemarin saat hendak mendirikan tenda untuk memayungi jamaah sholat idul adha, aku tidak hanya melihat wajahnya, tapi juga bendera partai yang mengusungnya. Entahlah, mungkin sudah jadi hal lumrah di negaraku, dimana politisi mempolitisasi agama. Apa saja yang dibungkus dengan agama, akan terlihat baik, bukan? Setidaknya itu yang aku tahu sejak dulu, selalu berulang, apalagi menjelang pemilu.

6.
Bagiku televisi tidak lebih baik daripada buku. Terlalu banyak berita yang dilebih-lebihkan, terlalu banyak sensasi yang disajikan. Semuanya menghamba pada rating. Menjelang idul adha, di infotaiment apa saja, akan ada liputan tentang artis yang membeli hewan kurban, kemudian membagikannya. Akan ada liputan tentang persiapan, atau dandanan mereka ketika hendak melaksanakan sholat keesokan harinya. Selalu begitu, selalu berulang, setiap tahunnya. Tapi belakangan ini agak beda, ada beberapa ustadz yang turut serta.

7.
Idul adha datang, akan ada banyak kesenangan berulang. Pak Bagio yang berkali-kali merayakan idul adha di tanah suci, Mbah Surti yang akhirnya bisa makan daging lagi.

8.
Selepas magrib, kumandang takbir menggema di penjuru udara. Dari toa-toa masjid di puncak menara yang menantang langit. Dari suara anak-anak kecil yang memegang mic di dalam masjid. Dari kepingan vcd berisi puja-puji yang sengaja diputar untuk memecah sunyi, mengikuti tradisi. Dari sana, idul adha mencoba menunjukkan taji. Mencoba mengimbangi suara bising knalpot racing, mencoba menetralisir udara dari deru asap orang berkendara, mencoba memberi tanda, esok hari raya. Selalu begitu, selalu berulang. Sejak remaja masjidnya lebih senang bertakbir di jalanan, berdua bersama pacar.

9.
Pagi tiba, aku datang agak terlambat, keluargaku sudah pergi lebih dulu. Masjid penuh, gema takbir meriuh. Di tanah lapang seberang jalan, beberapa ekor sapi dan kambing memandang lirih. Mungkin mereka tahu, ajalnya akan tiba sebentar lagi.

Beberapa menit berselang, dua rakaat sholat sunah kami tuntaskan. Khotib mulai naik ke atas mimbar, lengkap dengan sorban, pakaian putih-putih panjang serta sejadah yang dikalungkan. Di sampingku, duduk seseorang yang aku kenal, Bang Dayat. Anak kedua sang khotib. Dulu, aku sempat berpikir ada yang lucu. Bang Dayat dikenal gemar mengoleksi tato di tubuhnya. Aku pernah mengira dia adalah seorang preman. Tapi, berpikir setiap orang yang bertato sebagai preman, sama saja dengan berpikir setiap orang yang bersorban itu beriman, bukan?

Ah, sudahlah, aku enggan menerka-nerka lagi sekarang, apalagi harus memikirkan bagaimana hubungan sang khotib dengan anaknya itu. Lebih baik aku mendengar khutbah tentang haji dan cerita penyembelihan Nabi Ismail oleh ayahnya, Nabi Ibrahim. Tema khutbah yang selalu berulang tiap tahunnya.

10.
Khutbah selesai, doa telah dipanjatkan, setiap tangan kanan saling menjabat saudaranya. Umat-umat Nabi Muhammad kembali ke rumahnya masing-masing. Ada pula yang masih berkemas di masjid, membereskan sajadah, menggulung kembali tikar-tikar, membersihkan koran yang berserakan. Bekas-bekas perayaan bersama Tuhan.

Di rumah, aku dan keluarga besarku berkumpul di ruang tengah. Bersalaman, meminta maaf setengah menengadah. Di meja makan, ketupat, opor ayam, dan sayur nangka siap kami lahap. Menu yang selalu sama tiap tahunnya, khas lebaran. Semoga saja selalu berulang, tanpa ada yang berkurang.

Thursday, 17 October 2013

Is That You?

Standard

NET


Setelah tiga kali bolak-balik sambil mengintip ke arahnya, aku mencoba berbuat nekat. Kesempatan tidak pernah datang kedua kali, bukan? Aku pun melangkahkan kaki dengan cepat.
            “Hey, tegurku padanya. Ia mengangkat kepalanya, memandangiku dengan bingung. Aku tetap mempertahankan senyuman di wajahku seraya berkata, “Ini Alexa. Masih ingat nggak? Lupa ya?”
Pria di hadapanku ini memandangiku dengan ekspresi bingung. Mungkin seharusnya aku tidak memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi sehingga melupakan kemungkinan bahwa ia tidak mengingatku lagi.
            Oh, C’mon brain, think about something that we should say to break this awkward stupid moment. Aku benar-benar tidak menyukai ekspresi bingung yang tercetak jelas di wajah rupawannya. Membuatku merasa dua kali lipat lebih malu dari sebelumnya. Seolah menimbang-nimbang sesuatu, ia meletakan buku yang ia pegang kembali pada raknya.
            “Aku punya ingatan yang cukup buruk,” katanya dengan ragu. Ia mengerutkan alis yang melengkung sempurna membingkai mata hitamnya. Dulu aku pernah jatuh cinta dengan mata hitam ini. Sepasang bola mata yang mampu menatapmu tajam, mampu menghipnotismu dan membuatmu tenggelam di dalamnya.
            Senyumku yang awalnya memudar menjadi melengkung kembali mendengar suaranya. “Nggak apa-apa. Alexa? SMP 10?” kataku. “Ngg… yang pernah nembak abang waktu acara perpisahan. Remember?”

 *****

            Apa yang lebih menyenangkan dari berkenalan dengan seorang wanita cantik tanpa harus menyodorkan tangan terlebih dahulu? Jawabannya TIDAK ADA. Tanpa harus menabrak, kemudian membantunya merapikan buku seperti dalam FTV yang biasa aku lihat. Kali ini, aku yang pegang kendali.
Wajahnya lucu. Wanita berjilbab orange dengan bola mata hitam sedikit cokelat. Hidung mancungnya membuat pandanganku yang semula menatap indah kedua bola mata itu terpeleset, menuju bibir tipisnya. Sapaannya mengejutkan aku yang sedang asik melihat-lihat judul novel terbaru. Ia memperkenalkan namanya sebagai Alexa, dan dari yang dia katakan, sepertinya dia mengenalku. Sementara, aku sama sekali tidak mengenalnya. Tapi, entahlah, dia tampak begitu antusias meyakinkan aku bahwa kami saling kenal.
“Aku punya ingatan yang cukup buruk,” kataku terbata. Hanya sebagai alasan, karena tentu saja aku tidak akan melewatkan kesempatan untuk bisa mengenalnya lebih jauh lagi. Bak gayung bersambut, dia mencoba mengingatkan aku lagi tentang dirinya di masa lalu, seseorang yang pernah menembak aku, katanya.

*****

            Pria di hadapanku ini malah seolah menahan tawanya. Oh crap! What did I said? Oh my God, I’m really idiot. Rasanya aku mau kabur saja dari hadapannya atau memutar kembali waktu untuk mencegah aku mengucapkan kalimat memalukan tadi.
            “Eh, Lexa pergi dulu ya bang. Sampai jumpa,kataku tersenyum dengan pedenya padahal orang di hadapanku ini telah melupakanku. Aku membalikan badan kemudian melambaikan tanganku yang sedang memegang novel ke arahnya sebagai tanda perpisahan.
            “Lexa tunggu!” ia berjalan mendekat ke arahku. Kedua matanya memandangi novel yang sedang kupegang. “Itu novel yang seri kedua lho, bukan yang pertama.”
            Aku termenung sesaat, kemudian memperhatikan novel yang kupegang ini. Tadi ketika mengambilnya dari rak, aku yakin sekali tidak ada novel yang berjudul sama dengan tanda seri pertama atau apalah di sampulnya. Aku membalikan novel ini, membaca sekilas sinopsis yang ada di belakangnya. Tidak ada juga keterangan bahwa ini adalah novel berseri.
            “Masa’ sih?”
            “Iya, banyak yang nggak tahu kalau novel itu berseri. Seri pertamanya lagi habis stok. Tapi kalau kamu mau tetap baca, nggak masalah sih, soalnya nggak terlalu berkaitan juga kok,” katanya sambil tersenyum padaku.
            “Sejak kapan abang suka baca novel?” aku mengernyitkan alisku dengan bingung. Sebagai “teman” -ya teman dalam tanda kutip karena aku tidak tahu pasti hubungan kami dulu. Mantan gebetan mungkin? -aku cukup tahu bahwa seorang Andre Wihana tidak pernah menyukai bacaan apapun itu, walaupun sebuah komik cowok. Bahkan tadi, ia mampu berkata panjang lebar mengenai novel ini yang menunjukkan dengan jelas bahwa ia telah membaca novel berseri ini.
            Ia terlihat bingung kembali. Ah, sudah berapa kali hari ini aku membuatnya bingung. Kasian dia.
            “Waktu bisa mengubah seseorang, kan?” tanyanya dengan senyum ranum.
            Well, benar juga sih. Aku saja yang dulunya suka membaca komik-komik korea kini beralih menjadi penggemar novel. Walaupun aku masih menyukai membaca komik, namun rasanya berbeda jika aku membaca novel. Alhasil koleksi novelku sekarang telah melampaui jumlah koleksi komik.
            “Mau aku tunjukin novel yang pertamanya?” tanyanya memecah lamunanku. Tawarannya terdengar hati-hati seolah pertanyaannya itu bisa menyingung perasaanku.
            “Lah, katanya stok di sini udah habis?” tanyaku balik. Tumben sekali ia menyebut dirinya dengan kata aku.
            “Aku ada bawa, sih, kebetulan tadi baru aja dibalikin sama teman,” katanya.
            “Boleh deh. Eh, kalau Lexa baca yang ini dulu nggak masalah, kan? Lexa tetap bisa ngerti ceritanya, kan?” tanyaku sambil mengangkat novel yang aku pegang.
            Nggak masalah kok. Percaya, deh, kamu bakal jatuh cinta dengan ceritanya.”
            Menilai dari nadanya yang bersemangat aku dapat menebak bahwa ini adalah novel favoritnya. Mendadak rasa penasaran akan apa saja yang menjadi kesukaannya sekarang muncul. Oh, Alexa kamu bukan kamu yang dulu. Yang terus mencari tahu semua tentang dia. Time change right?
            Well, Lexa bayar ini dulu ya, bang?” izinku padanya.
            Okay then, aku tunggu di depan meja penitipan barang ya?”

*****

            Aku hanya bisa diam dan menutup novel yang aku pegang ini. Tadi setelah kami menyelesaikan urusan masing-masing, kami sepakat untuk mencari sebuah tempat yang enak untuk ngobrol. Pilihan kami jatuh kepada J.CO. Ternyata ia masih saja pecinta kopi sejati.
            “Gimana?” tanyanya. Tadi ia menyuruhku atau lebih tepatnya memaksaku untuk membaca satu bab dari novel seri pertama miliknya.
            “Abang benar! Aku jatuh cinta sama novel ini.”
            “Tuh, kan, udah kubilang,” katanya lalu tertawa. Tawanya sedikit berubah. Bahunya tidak lagi menunduk ketika ia tertawa. Sekarang bahunya tetap tegap dan bibirnya tertarik lebar sehingga memamerkan giginya yang rapi. Yang pasti kulitnya terlihat menggelap dari sebelumnya. Namun, hal tersebut malah menambah maskulin pada dirinya. Dalam hati aku mensyukuri tindakan nekat menegurnya tadi, jika aku tidak berani mana mungkin kami bisa duduk ngobrol seperti ini.
            “Eh, bang, kamu masih ingat dengan Kak Arista? Kemarin aku ada ketemu dia lho,” kataku sedikit mengorek masa lalunya dengan menyebutkan nama pacarnya semasa SMP.
            “Oh, ya? Di mana?” jawabnya sedikit kikuk. Aku pun dengan cepat dapat menyimpulkan bahwa mantannya yang satu ini memang belum ia lupakan. Aku masih ingat ketika aku SMA, aku mendengar kabar bahwa mereka harus putus setelah berpacaran selama empat tahun.
            “Di dekat Dunkin Donuts kemarin,” kataku sambil memperhatikan wajahnya mencari sebuah informasi apapun itu yang bisa membuatku mengetahui perasaannya. Rasanya tetap saja nihil dan ia masih tetap dengan gerak-geriknya yang kikuk.
Nggak kangen, bang? Nggak ada ketemu gitu? Kan, kemarin LDR-an nggak bisa ketemu,” pancingku lagi. Dalam hati aku berdoa semoga saja ia tidak tersinggung dengan kata-kataku barusan.
            “Udah ketemu kok,” jawabnya yang memancing rasa penasaranku semakin jadi.
“Ciyeeee. Di mana?”
“Umm… Makan siang aja,” jawabnya lagi dengan nada sangat tidak enak dan wajah yang seperti enggan membahas masalah ini. Aku juga jadi merasa tidak enak menanyakan hal seperti itu hanya untuk mengenyangkan rasa penasaranku. Jadi selanjutnya aku hanya diam sambil menyeruput Avocado Capucinnoku kemudian memainkan sedotannya demi pencitraan bahwa aku baik-baik saja dengan situasi awakward ini.
             Kulihat dia pun sedang asyik memainkan Blackberry-nya, entah bermain game atau malah sedang berchat-ria dengan pacarnya. Semoga saja kemungkinan yang terakhir itu salah.

     *****

            “Oh, ya, lanjutan dari novel itu sebentar lagi mau terbit lho,” kataku sambil menaruh Blackberry milikku di atas meja. Lalu mengambil satu buah donat yang terletak di meja bulat kecil yang memisahkan kami, dan mengigitnya.
            “Lexa nggak terlalu suka novel berseri nih, bang,” katanya dengan raut sedikit menyesal.
            “Yang ini beda, kamu bakalan suka,” kataku mencoba memecah hening akibat pertanyaan yang sulit untuk aku jawab tadi. Arista, siapa lagi dia? Tampaknya dia memang benar-benar mengenal aku, lebih tepatnya mengenal laki-laki yang pernah dia tembak dulu.
            “Abang kayak sales aja nih,”
            “Aku terlalu ganteng buat jadi sales,”candaku. Wanita suka diajak bercanda, selain bisa mencairkan suasana, canda juga baik untuk kesan pertama. Semoga candaku, jadi candunya. “Idiiih, pedeeee banget,” katanya sewot.
Sebelumnya, aku tidak pernah berada dalam kondisi seperti ini. Menjadi orang lain. Apalagi dihadapkan langsung dengan orang yang tahu seluk-beluk masa lalunya. Tapi apa mau dikata, wanita yang ada di depanku sekarang sudah terlanjur mempesona semua indera yang aku punya. Aku bisa apa selain berpura dan mengikuti alur ceritanya?

*****

Kantin Belakang Perpustakaan Universitas Tanjung Pura, pukul 10.15 WIB
“Mbak, sotonya satu sama es teh manis satu.
Aku baru saja selesai mencari bahan tambahan untuk skripsiku. Sudah semester 9, sudah waktunya aku keluar dari belantara kampus sekarang. Kedua orang tuaku di rumah mulai sering menanyakan kapan aku wisuda, dan selalu aku jawab sekenanya, “paling lambat, secepatnya.
Siang itu kantin lumayan ramai, ada sekumpulan mahasiswa yang entah dari fakultas mana, duduk semeja membicarakan hal yang entah apa, tapi sepertinya sesuatu yang menyenangkan. Mungkin liburan, karena dalam samar aku mendengar mereka menyebut pulau Lemukutan. Sebuah pulau yang masih asri dengan air lautnya yang biru, dimana katanya, kita bisa melihat batuan karang dan ikan-ikan dengan mata telanjang. Ya, katanya, karena aku belum pernah ke sana.
Aku membuka tas ranselku, kemudian mengambil beberapa lembar kertas fotokopian dari perpustakaan tadi. Tetiba, mataku tertuju pada novel yang beberapa hari lalu sempat aku tunjukkan kepada Lexa. Ya, Alexa. Gadis yang aku temui, atau lebih tepatnya tidak sengaja menemui aku di Gramedia kemarin. Pertemuan yang aneh, dia mengira aku adalah abang kelasnya sewaktu SMP dulu, entah siapa nama laki-laki yang dia maksud. Yang aku lakukan kemarin hanya mengiyakan saja setiap perkataannya, dan sampai sekarang ia hanya mengenalku sebagai abang kelasnya sewaktu SMP dulu.
Seporsi soto telah berpindah dari atas mangkuk ke dalam perut. Es teh yang sedari tadi keringatan pun telah habis memenuhi dahaga, memecah pedas kuah soto bercampur suiran daging ayam dan setengah potong telur rebus. Ketika aku hendak membayar semua makananku, dari jauh aku melihat Lexa yang sepertinya menuju ke arah kantin ini juga. Aku mempercepat langkahku, setelah sebelumnya meletakkan beberapa lembar uang lima ribuan di atas meja. Semoga saja ia tidak sempat melihat aku. Bukannya aku tidak ingin bertemu dengan Lexa lagi, tapi kali ini aku memang harus menghindar, karena Lexa datang berdua dengan temannya, Dera.

*****

Aku memicingkan mataku melihat sosok yang berada sekitar kantin favoritku ini karena sotonya yang menurutku enak. Tak salah lagi. Sosok tersebut benar-benar Bang Andre yang minggu lalu aku temui di Gramedia. Tapi sedang apa dia ke sini?
“Ra, kamu ingat aku kemarin cerita ketemu Bang Andre di Gramedia, kan? Itu Bang Andre, Ra!” seruku lalu menarik tangannya agar ia berjalan lebih cepat.
            “Yang mana, sih? Aduh, Lex, jalannya pelan-pelan dong,” keluh Dera, sahabatku dari zaman SMP. Saksi hidup perjuangan cintaku kepada Bang Andre.
“Itu tuh, Ra, kamu jalannya cepatan dong,” kataku semakin panik menarik tangannya tapi tetap saja ia berjalan dengan lambat, padahal Bang Andre terlihat seperti buru-buru sekali.
Kulepaskan pegangan tanganku pada Dera lalu berjalan dengan cepat sembari berusaha menarik tepian pashminaku dengan pelan. Semoga saja bentuknya tetap rapi seperti tadi pagi.
“Bang Andre! panggilku. Berusaha mencegah kemungkinan langkahnya semakin jauh dariku. Tetapi ia malah tetap memperpanjang jarak di antara kami.
“Bang Andre!” panggilku lebih keras lagi. Jika kamu bertemu dengan orang yang pernah mengisi hatimu secara tidak sengaja dan sudah kedua kalinya mungkin kamu akan mengerti excited-nya aku saat ini. Yah, aku tidak menyangkal bahwa aku sedikit berharap maybe this is our second chance.
“Bang Andre!” aku kembali memanggilnya lagi tepat ketika aku berada beberapa langkah di belakangnya. Bang Andre menoleh padaku dan tersenyum dengan kikuknya. Mendadak aku merasa dalam sebuah drama dimana aku memergoki pacarku berselingkuh.
“Eh, hai Lexa,” katanya dengan canggung.
“Kok kamu bisa di sini bang?” tanyaku dengan penasaran sekaligus berharap bahwa ia belum makan dan kami akan makan bersama. Padahal sudah jelas kemungkinan tersebut nihil.
Bang Andre terlihat hendak menjawab pertanyaanku, hanya saja terpotong setelah seseorang menepuk pundakku dari belakang.
“Cepat amat sih Lex jalannya. Bang Andrenya mana?” tanyanya dengan sewot.
            “Nih, Bang Andre, Ra. Bang Andre masih ingat dengan Dera?” tanyaku padanya yang langsung disambut dengan wajah kikuknya kembali. Apa Bang Andre lupa dengan Dera? Padahalkan Dera termasuk salah satu anak yang cukup aktif dalam pramuka sewaktu SMP, tidak seperti aku yang ikut hanya karena ada Bang Andre.
“Eh, kamu mimpi ya, Lex? Ini bukan Bang Andre,” kata Dera yang langsung membuatku ingin ketawa. Mereka berdua lupa kok bisa barengan?
“Ra, ini Bang Andre yang aku kemarin cerita ketemu dia di Gramedia,” bisikku padanya. Berusaha terlihat santai. Malu dong, kalau ternyata aku sampai sekarang masih ngarep dengan dia.
Dera terlihat memperhatikan Bang Andre dengan seksama. “Hmm..Iya sih, bang, kamu memang mirip dengan Bang Andre, tapi kok, aku baru sadar ya?”
Aku diam menatap Dera. Berusaha mengirim telepati padanya bahwa aku menuntut sebuah penjelasan. Kemudian aku menatap ke arah Bang Andre.
Well, ini bukan Bang Andre, Lex. Yah, wajahnya memang mirip banget, sih,” kata Dera sedikit meringis.
“Terus, kok kamu yakin banget gitu?” protesku tak percaya.
“Karena aku temannya Abang Dera,” kata Bang Andre yang akhirnya berbicara. Telak sudah. Bang Andre yang ada di hadapanku ini bukanlah Andre Wiguna, abang kelasku sewaktu SMP dulu. Oh my God, ini menjelaskan kenapa ia selalu memasang wajah bingungnya ketika bertemu denganku.

*****

Mampus. Aku mempercepat langkahku. Di belakang, aku mendengar Lexa terus-menerus meneriakkan namaku. Kenapa harus dengan Dera? Ya Tuhan, bisa hancur semua penyamaran dadakanku kemarin. Aku takut Lexa marah karena merasa telah aku bohongi, tapi toh, pertemuan waktu itu pasti bukan sebuah kebetulan, Tuhan pasti sudah merencanakannya. Tapi, kenapa harus secepat ini Tuhan? Aku bahkan belum mempersiapkannya, sebuah penyangkalan atau pengakuan.
 “Karena aku temannya Abang Dera,” akhirnya sebuah pengakuan yang keluar dari mulutku. Aku sudah mati kutu, skak mat kalau dalam istilah catur. Aku tidak mungkin menyangkal kata-kata adik temanku itu. Ah, andai aku tahu Lexa temannya Dera, pasti aku bisa sedikit mengatur tuturnya.
Aku tidak bisa berkata-kata lagi setelahnya. Sekarang, giliran Lexa yang menggunakan wajah bingung, sebagaimana yang aku gunakan ketika dijejalinya pertanyaan waktu itu.
“Hehe. Jadi aku yang salah, ya, pantesan muka abang kelihatan aneh kemarin,” Lexa memecah hening sambil mencoba menyimpul senyum di ujung bibirnya. “Bahkan, dengan senyum yang sekenanya itu, dia terlihat begitu manis,” batinku.
“Maaf ya, Lexa. Bukannya aku nggak mau jujur. Cuma kamu kayaknya seneng banget waktu kita ketemu kemarin. Aku jadi nggak enak mau bilang kalau aku bukan abang kelas kamu sewaktu SMP dulu. Dan, sejujurnya aku nggak mau ngelewatin kesempatan itu, buat kenal sama kamu.
Lexa hanya diam mendengar perkataanku yang lebih mengarah pada permohonan maaf itu. Kali ini aku kembali bingung, bukan karena pertanyaanya, tapi karena kata-kataku sendiri.
“Tadi abang udah sarapan?”

*****

“Terus ma?” desaknya ketika aku tak melanjutkan ceritaku.
“Hari ini sampai disini dulu, kamu harus tidur sekarang,” kataku sambil menunjukan ke arah jam dinding berwarna merah muda itu. Sudah jam sepuluh malam. Seketika gadis kecilku ini memasang wajah cemberutnya. Aku pun membalasnya dengan air muka tegas menandakan bahwa perkataanku tidak bisa dibantah olehnya.
“Iyadeh, ma,” katanya. Lalu aku bangun, merapikan selimut yang menutupi badannya sampai ke bahu, kemudian berjalan menuju pintu kamarnya.
“Selamat tidur Nesya,” kataku sambil menutup pintu. Setelah itu, aku pergi menuju sisi kanan yang mengarah ke dapur untuk mengambil air minum.
“Eh, kamu belum tidur sayang?” tanyaku ketika menemukan seorang pria sedang mencurahkan air sirup yang sengaja aku simpan di dapur tadi sore ke dalam mugnya.
“Belum. Kamu tadi cerita apa ke Nesya?”
“Tentang seorang cewek yang salah menyapa orang di mol,” kataku dengan nada bercanda. Aku menarik kursi dan mendudukinya.
            “Udah sampai mana?”
            “Sampai di kantin kampus.”
            “Kalau gitu selanjutnya giliran aku yang cerita ke Nesya ya,” katanya sambil menarikku berdiri dari kursi.
            “Lho, kok?” tanyaku bingung.
            “Soalnya aku mau cerita ke Nesya gimana akhirnya aku berhasil mendapatkan hati mamanya ini,” katanya sambil menarikku dalam pelukannnya. Aku tertawa. Dasar Bang Andre gadungan.