“Yang
buang sampah di sini ANJING!!”
Tertulis
jelas di papan bercat putih dengan pilok hitam. Aku kembali berjalan dan
mengurungkan niat. Aku bukan anjing, dan bukan pula binatang. Aku manusia sama
seperti kau. Sebenarnya, aku tidak begitu risih kalau pun ada yang memanggilku
demikian. Bertahun-tahun Ibu memanggilku dengan nama itu. Terutama saat marah
pada orang yang kupikir Ayah.
“Kau
bawa saja Anjing sialan ini pergi dari rumahku. Aku menyesal melahirkannya!” begitu
kira-kira yang biasa aku dengar dari Ibu,
sambil ia melempar sebotol bir
ke arah pintu.
Walau
sering menyebutku Anjing, Ibu tak pernah menyuruhku makan di lantai, atau
memberi aku makan tulang. Aku makan apa yang ia makan. Meski kadang hanya satu
bungkus nasi yang dibagi dua. Ibu sayang padaku.
Ia
sering menyuapiku makan. Tangannya manis. Aku bisa merasakannya setiap kali
tangan itu masuk ke mulut. Di saat itu, ia akan kembali menyebutku Anjing
sambil meringis. Aku tersenyum.
Jalan
makin sepi. Temaram lampu jalan dan dingin angin malam menemani langkahku
menggendong Ibu. Tubuhnya tak seberat dulu. Sudah kurus. Hampir seperti tulang terbungkus
kulit. Kulit lengannya sudah serupa rumbai-rumbai gorden; bergelambir. Namun,
tangan yang sering ia pakai untuk menyuapiku masih terasa manis.
Ibu
tidak pernah memanggilku Anjing sekarang. Kurasa ia kapok. Karena, di terakhir
kali ia menyebutku seperti itu, saat marah pada orang yang kupikir Ayah, aku lantas membuat lehernya
berdarah.
Tidak,
aku tidak marah karena dipanggil begitu.
Aku hanya penasaran. Orang yang kupikir Ayah itu, seringkali menggigit leher Ibu.
Aku melihatnya dari celah pintu kamar. Saat terbangun mendengar suara erangan.
Padahal sebelumnya aku tidur di ranjang, entah kenapa tiba-tiba saja sudah ada
di kursi depan.
“Anjing!
Anak kurang ajar!”
Ibu
menamparku berkali-kali dengan tangan manisnya. Aku sempat menghindar, namun
kalah cepat oleh telapak tangan ibu. Aku menyenangi tangannya. Oleh karena itu,
saat ia mulai ingin kembali menamparku, aku membuka mulutku lebar-lebar. Tangan
itu berhenti di geligiku. Rasanya masih sama. Manis.
Pernah
di suatu malam, beberapa bulan lalu, lelaki yang kupikir Ayah kembali
berkunjung ke rumah. Tidak sendiri, kali ini bersama tiga temannya. Semuanya
lelaki. Sebenarnya, aku bisa saja mengira orang lain sebagai Ayahku, bukan
lelaki itu. Hampir setiap malam, ada lelaki yang datang ke rumah. Mereka semua
tamu Ibu. Tak ada satu pun yang mencariku. Hanya lelaki yang kukira Ayah itulah
yang datang untuk bertemu Ibu dan terkadang menanyakan kabarku. Sejak saat itu,
aku ingin memanggilnya Ayah.
“Apa
dia Ayahku?” tanyaku pada Ibu, di pertama kalinya lelaki itu datang dan
menanyakan aku.
“Kau
tak perlu tahu siapa Ayahmu.”
“Tapi
aku ingin punya Ayah!”
“Kau
sudah punya aku, dan kelak akan jadi seorang ayah. Itu cukup.”
Sejak
saat itu, aku tak pernah lagi bertanya perihal ayah pada Ibu. Dan dengan
sendirinya mengira lelaki itu sebagai Ayahku.
Mengenai
malam ketika lelaki itu datang bersama tiga temannya, aku tak bisa banyak bercerita.
Aku hanya melihat Ibu mengalungkan tangannya ke leher lelaki itu. Mesra dengan
banyak kata sayang. Kemudian berpindah pada leher lelaki lainnya. Saat
tahu aku melihatnya, Ibu segera menyuruhku tidur. Bukan di kamar, melainkan di
dapur. Waktu itu azan isya belum lama berkumandang, dan jelas belum masuk
jadwal tidurku.
Tak
ada lagi yang aku tahu apa yang terjadi malam itu. Hanya ada suara Ibu dan
lelaki yang terengah-engah seperti dikejar hantu. Hingga akhirnya, aku tertidur
di depan pintu dapur, dengan alas keset dan berselimut
serbet
bau.
Keesokan
harinya, ketika aku terbangun, pintu sudah bisa aku buka. Tak lagi terkunci
seperti semalam. Aku segera mencari Ibu ke kamar karena lapar. Ibu terbaring
pulas di sudut kasur kami yang apek. Sendirian. Entah ke mana para lelaki itu.
Aku
menggoyang-goyangkan tubuhnya. Ibu bergeming. Aku mengambil botol bir di atas
meja rias. Kemudian kusiram tepat di wajahnya. Mata ibu berkedip. Kurang ajar! serunya.
Sebulan
setelahnya, rumahku terasa sepi. Tak ada lagi tamu Ibu. Tak ada lagi suara
napas orang berkejaran di tengah malam. Setiap hari Ibu hanya terbaring di
kasur. Jika lapar, ia menyuruhku ke warung makan di ujung gang. Sebungkus nasi
dan sekantong air putih kami bagi berdua.
Aku
menyayangi Ibu. Maka, aku tak pernah protes saat ia lupa tidak menyisakan
makanan untukku. Aku juga tak marah ketika dulu, saat sedang belajar di
sekolah, ia datang dan menarikku pulang.
“Kau
bantu aku di rumah. Sekolah tak membuatmu kenyang!” katanya. Sejak itu, aku tak
ia perbolehkan sekolah. Bahkan, keluar rumah pun harus dengan izinnya. Aku taat
dan tak melawan. Aku percaya kata guruku di sekolah dulu, surga ada di bawah
telapak kaki ibu.
“Aku
tak ingin masuk neraka.”
“Kau
harus menuruti Ibumu.”
***
Saat
lelaki yang kupikir Ayah itu datang, aku tengah menyuapi Ibu makan. Ia tak
mengetuk pintu, langsung masuk ke kamar. Ini pertama kalinya aku melihat wajah
lelaki itu dari dekat.
Wajahnya
berantakan. Kumis dan janggutnya rimbun. Sebuah giginya berkilau keemasan. Dadaku
bergejolak. Ada ledakan di dalam yang membuat tubuhku ingin menghempaskan diri
memeluk lelaki itu. Sekuat tenaga aku menahan kaki agar tak bergeser sedikit pun.
Aku ingat pesan ibu, aku tak membutuhkan seorang ayah.
Ibu
menggerakkan kepala. Tanda agar aku pergi ke belakang. Gerakannya pelan.
Seperti ada benda besar yang jadi pemberat. Aku keluar menuruti perintahnya.
Sengaja melangkah kecil agar mendengar percakapan mereka berdua. Suara Ibu
berat. Suara lelaki itu tak kalah berat. Tak jelas apa yang mereka bicarakan.
Dari
dalam, aku mendengar suara barang-barang dibanting. Kaca-kaca pecah. Sumpah
serapah muntah. Dan teriakan panjang
Ibu menjadi tanda pemisah. Lelaki itu berjalan meninggalkan kamar. Ada benda
berkilau dan segepok uang yang ia bawa pergi.
Aku hanya diam. Tak tahu harus berbuat apa. Aku sayang
Ibuku. Tapi aku juga merasa lelaki itu Ayahku. Dan, pertengkaran mereka adalah
kebiasaan. Lelaki itu berhenti di depan pintu, kemudian menatapku.
“Besok, kalian harus pergi!”
Suaranya besar dan menggelegar. Beberapa tetangga
kulihat menonton kami dari luar. Aku segera menghampiri Ibu di kamar. Ia
menangis sesenggukan. Tubuhnya bersandar di pintu. Pandangannya kosong dengan
air mata berlinang. Sambil mengusap-usap punggung Ibu, sebagaimana ia dulu
menghentikan tangisku, aku memandang orang-orang di luar. Mereka menatap kami
tajam. Tusukan mata mereka menembus batinku. Aku merasakan pisau benci tengah
mengepung kami.
Ini bukan kali pertama mereka bertingkah demikian.
Mungkin itu alasan Ibu tidak mengizinkanku keluar rumah.
“Mata mereka itu singa. Salah sedikit, kau akan
diterkam dengan lidahnya,” ucap Ibu menasihatiku. Terkadang, saat aku pergi
membeli makan di ujung gang, aku mendengar mereka menyebut Ibu ‘sampah’. Selain
itu, mereka juga sering menggelariku ‘Anak Anjing’. Aku tak marah. Begitulah Ibu
memanggilku. Aku tak pernah mengadukannya pada Ibu. Aku tak suka jadi pemanjang
lidah mata singa.
Perkara para tetangga yang menyebut Ibu ‘sampah’,
masih menggema dalam kepala. Mungkin itu panggilan kesayangan mereka pada Ibu,
sebagaimana Ibu memanggilku Anjing. Aku masih ingat nasihat Ibu agar tak suka
berburuk sangka. Ia mengatakannya saat lelaki yang aku pikir Ayah itu mengusir
kami kemarin sore.
“Ia bukan Ayah yang baik,” ujarku sambil memapah Ibu.
“Ia bukan Ayahmu.”
“Ia bukan orang baik.”
“Kau tak boleh berburuk sangka.”
Aku dan Ibu terus berjalan melewati gang-gang sempit
menuju pasar. Kata Ibu, di sana kami bisa tinggal. Aku memang tidak terlalu
besar, tapi cukup tinggi untuk membawa Ibu. Apalagi tubuh Ibu yang semakin
mengecil sejak ia hanya bisa terbaring. Aku rasa, dietnya kali ini berhasil.
Lepas isya kami tiba. Pasar sepi. Hanya gelak tawa beberapa
lelaki pemain kartu yang kami dengar. Padahal, jika siang, tempat ini hingar-bingar.
Karena lelah, aku dan Ibu terlelap tanpa sadar. Tak peduli suara bising perut
kami masing-masing. Aku terbangun saat merasakan seseorang menendang bokongku.
Keras. Tubuhku berguncang.
“Bangun Anak Anjing! Pergi dari sini! Sampah!”
Aku hanya menatapnya. Matanya tak kalah tajam dari
singa-singa di sekitar rumah kami. Aku terbiasa mengalah, tapi ketika ia mulai mengayunkan
kakinya ke arah Ibu, aku segera menangkapnya. Geligiku mencengkram paha, bagai
anjing kelaparan. Kepalaku dipukulnya berkali-kali. Paha itu kulepas. Kemudian
menarik Ibu dan menggendongnya dan membawanya pergi.
“Sial! Sampah!” orang itu geram.
Ibu masih terlelap dalam gendonganku. Mungkin ia
terlalu lelah semalam, hingga tak terbangun mendengar keributan barusan. Ucapan
‘sampah’ kembali lumer di kepala. Bagaimana ia tahu panggilan kesayangan Ibu?
Mungkin ia kenalan Ibu, atau mungkin salah satu singa yang tinggal di sekitar
rumah kami. Tapi, bukankah Ibu bilang di pasar kita bisa tinggal? Atau
jangan-jangan, ‘sampah’ itu petunjuk, arah ke mana kami bisa saling memeluk?
Aku terus berjalan dan berjalan. Dari satu gang ke
gang lain. Dari pasar Minggu hingga Senin. Ibu tetap dalam gendongan dan tak
bersuara sedikit pun. Ia tak mengeluh lapar juga haus. Ia tak pernah pula
memanggilku Anjing. Ia damai dalam punggungku.
Sebagai anak yang baik, aku tak ingin mengganggu tidur
Ibu. Ia tak pernah aku turunkan sejak aku menggendongnya di pasar. Ibu pasti
tentram dalam punggungku, sebagaimana aku tenang dalam peluknya.
Tapi semua mahluk butuh tempat. Semua yang bernyawa
butuh makan. Aku pernah sekali mencoba datang pada sebuah warung makan, tapi
malah dikira pengemis dan diusir. Aku tak pernah suka pengusiran. Hal itu
membuatku teringat pada orang yang kupikir ayah yang tidak baik.
Aku kembali berjalan dan berhenti di sebuah tong
sampah. Ada banyak nasi bungkus yang tak habis dimakan. Ada apel dan pisang
yang baru digigit setengah. Ada juga beberapa minuman kaleng yang masih berisi.
Aku membangunkan Ibu yang masih terlelap dan mengajaknya makan. Ibu aku dudukkan.
Ia bersandar pada dinding tong tersebut. Ia tetap bergeming walau badannya aku
goyang. Mungkin ia masih lelah dan butuh tidur panjang.
Aku menarik tangan kanan Ibu, menggunakannya sebagai
sendok dan menyuapkan makanan itu ke mulutku. Aku selalu ingin disuap dengan
tangan itu. Tangan kanan Ibu masih terasa sama. Manis. Aku terus makan hingga
habis. Kulihat Ibu tersenyum.
Kupikir, tak ada tempat sebaik tong sampah. Makanan
yang berlimpah dan tempat yang bisa melindungi kami dari dingin. Apalagi, ketika
teringat panggilan kesayangan para mata singa pada Ibu, rasanya seperti pulang
ke rumah. Tapi, tidak setiap hari makanan itu ada dan tong sampah yang kami
ditinggali mampu menahan kesah. Bila sudah begini, aku akan menggendong Ibu dan
membawanya ke tong sampah lain. Tapi aku tak akan pernah singgah pada tempat
yang bertuliskan Anjing. Ibu sudah tak memanggilku seperti itu sekarang. Ibu
sudah menganggapku anaknya seorang.
Menurutku, rumah hanyalah tempat di mana kenyang dan
kesah tertumpah. Dan, rumah tak harus satu. Pulang mengajarkanku hanya pada
seorang. Ibu adalah tempat aku pulang dan ia damai dalam punggungku sekarang.
Aku terus berjalan dan berjalan. Dari satu gang ke gang lain. Dari satu rumah
ke rumah lain.
Pontianak, Mei-November 2014