Tuesday, 8 November 2011

Belajar Melihat

Standard

Tanganku patah, gerakan pena kiriku pun goyah, kata yang aku rangkai dalam kalimat bersenandung rima, bimbang untuk berbunyi sama. Jemariku kaku, keypad laptop terasa seperti lantai beku, tarian balerina yang terbiasa luwes itu mati kutu di depan layar terpaku.

Hilang sudah rangkaian bait-bait indah, tertelan kelam awan gelap hitam, meratap, melamuni nasib dalam sudut sempit indra yang lenyap. Terpenjara aku di sana, terkurung dalam besi ketakutan, dibalik tembok keputusasaan. Seraya malam tanpa pagi, gelap pekat tanpa matahari. Hingga setitik cahaya datang menghampiri, membuat raga yang duduk beranjak berdiri, menyilaukan. . tak kuasa mataku memandang, hingga kaki ini melangkah tanpa sabar. Inilah mereka, kumpulan imajinasiku, buah dari pohon pikiran, akar dari dalamnya perasaan. Aku terpana, dalam gelap aku bertanya, “kenapa aku hanya berdiri di sini bila di sana ada mereka, bagian diriku yang menawarkan cahaya terang, yang mungkin saja mampu menerangi setiap orang ?”

Tanpa pikir panjang, kulewati besi ketakutan, kupanjat tembok keputusasaan, dengan bantuan pohon itu, aku raih satu demi satu ranting pikiranku, aku percaya pohon ini akan kuat menahanku, karena dalamnya akar perasaan menyakini aku mampu. Dan, puncak pun aku miliki, aku petik satu buah pikiranku. Kini di hadapanku terbentang lautan luas dengan sinar mentari yang menyilaukan, ternyata itulah tepi pantai kebahagiaan, terpisah tipis dibalik tembok keputusasaan, tersembunyi dari sudut sempit gelap hitam kesedihan. Mata yang menyelamatkanku, lewat setitik cahaya, pandangan buah pikiran akar perasaan.

Kini aku belajar, ketika Ia mengurangi satu milikku, maka Ia akan menambahkan yang lain untukku.

1 comment: