Tanganku
patah, gerakan pena kiriku pun goyah, kata yang aku rangkai dalam kalimat
bersenandung rima, bimbang untuk berbunyi sama. Jemariku kaku, keypad laptop terasa
seperti lantai beku, tarian balerina yang terbiasa luwes itu mati kutu di depan
layar terpaku.
Hilang
sudah rangkaian bait-bait indah, tertelan kelam awan gelap hitam, meratap,
melamuni nasib dalam sudut sempit indra yang lenyap. Terpenjara aku di sana,
terkurung dalam besi ketakutan, dibalik tembok keputusasaan. Seraya malam tanpa
pagi, gelap pekat tanpa matahari. Hingga setitik cahaya datang menghampiri,
membuat raga yang duduk beranjak berdiri, menyilaukan. . tak kuasa mataku
memandang, hingga kaki ini melangkah tanpa sabar. Inilah mereka, kumpulan
imajinasiku, buah dari pohon pikiran, akar dari dalamnya perasaan. Aku terpana,
dalam gelap aku bertanya, “kenapa aku hanya berdiri di sini bila di sana ada
mereka, bagian diriku yang menawarkan cahaya terang, yang mungkin saja mampu
menerangi setiap orang ?”
Tanpa
pikir panjang, kulewati besi ketakutan, kupanjat tembok keputusasaan, dengan
bantuan pohon itu, aku raih satu demi satu ranting pikiranku, aku percaya pohon
ini akan kuat menahanku, karena dalamnya akar perasaan menyakini aku mampu. Dan,
puncak pun aku miliki, aku petik satu buah pikiranku. Kini di hadapanku
terbentang lautan luas dengan sinar mentari yang menyilaukan, ternyata itulah
tepi pantai kebahagiaan, terpisah tipis dibalik tembok keputusasaan,
tersembunyi dari sudut sempit gelap hitam kesedihan. Mata yang menyelamatkanku,
lewat setitik cahaya, pandangan buah pikiran akar perasaan.
Kini
aku belajar, ketika Ia mengurangi satu milikku, maka Ia akan menambahkan yang
lain untukku.
040515; 02:24 PM
ReplyDelete