Kita
ada di pagi yang sama hari ini, sinar mentari yang kita rasakan pun sama. Hanya
saja aku masih takut. Aku masih takut akan sinar mentari yang ku pikir bisa
membuatku terbakar seperti dahulu. Aku tahu sinar mentari ini penuh keindahan,
penuh kasih sayang, dan penuh kehangatan, tapi aku belum berani beranjak dari
tempat tidurku, aku belum berani keluar dari kamarku yang sempit. Pernah sekali
ku coba keluar dan merasakan sinar mentari. Aku senang, aku segar, aku merasa
jauh lebih baik karena itu, sampai akhirnya datang burung gereja kecil
menghampiriku dan berbisik, mengatakan ini bukan diriku, aku menjadi orang lain
dalam ragaku, jiwaku tahu, ia tidak membisu, tapi sesuatu menulikanku. Meski
aku menikmati kehangatan sinar mentari itu, aku harus kembali ke kamarku,
karena itu bukan aku.
Di
pagi yang lain, dari sudut jendela kamar, ku lihat burung-burung gereja kecil
yang bercengkrama satu sama lain, bernyanyi dengan kicaun merdu, di bawah sinar
mentari yang aku rindu. Terbang dari satu dahan ke dahan lain, kadang mereka
hinggap dan saling menatap. Indah, seakan ada nada untuk setiap kicaun dan
gerakan. Aku tersenyum, mereka bisa begitu karena mereka bebas, tidak dalam
tempat sempit walau itu sangkar emas. Aku terdiam dan bertanya, haruskah aku
kembali keluar, bermain dengan sinar mentari, menikmati setiap keindahannya,
merasakan hangat pelukannya ?
Pagi
berikutnya. Kini sinar-sinar mentari yang menghampiriku, aku pun bersiap,
mungkin ini waktunya aku keluar, kembali bermain seperti burung-burung gereja
kecil yang terkadang membuatku iri dikala pagi. Aku coba, aku sambut dengan
tangan terbuka, ku biarkan setiap jengkal tubuhku merasakan kehangatan,
menikmati keindahan, namun entah mengapa, aku pun bimbang. Inikah yang aku mau,
inikah yang aku butuhkan, inikah jawaban dari semua pertanyaan. Lalu siapa,
mentari memang hanya satu, namun sinarnya lebih dari satu. Kembali pada logika,
aku dilema. Pilihan memang memudahkan, tapi memilih itu menyulitkan. Hingga
akhirnya aku yang membuat pilihan, aku tetap pada masaku.
Banyak
pagi yang terlewat, banyak pagi tanpa sinar mentari, juga banyak pagi untuk
gereja kecil tetap bernyanyi. Seperti biasa tetap saja ku nikmati pagi-pagi
yang aku miliki, walau dari kamar sempitku. Dari kamar dengan satu jendela dan
satu pintu. Dan dari kamar itu aku mengunggu. Menunggu pagi seperti waktu dulu,
menunggu pagi dengan sinar mentari yang menghangatkanku, menunggu pagi yang aku
rindu.
Akhirnya
pagi itu datang, pagi yang aku rindu. Ya, pagi ini. Pagi dengan sinar yang
menjadi pelukis senyumanku, pagi dengan sinar seorang seniman hati bagiku. Pagi
ini, pagiku.
09.54 PM ; 21 Mei 2011
040515; 12:59 PM
ReplyDelete